Meski Gejala Ringan, Subvarian Omicron BA.4 & BA.5 Tetap Perlu Diwaspadai
17 June 2022 |
22:03 WIB
Angka kasus positif virus corona meningkat dalam beberapa sepekan terakhir. Peningkatan ini tidak lepas dari hadirnya subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 yang menular lebih cepat dan efektif menghindari kekebalan tubuh, serta efikasi vaksin termasuk suntikan dosis ketiga alias booster.
Per Jumat (17/6/2022) jumlah kasus aktif Covid-19 tercatat 7.326, meningkat 658 kasus dari Kamis (16/6/2022). Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman tidak menampik peningkatan kasus di Indonesia ini memang disebabkan oleh subvarian Omicron BA.4 dan BA.5.
Turunan Covid-19 varian Omicron ini memang bisa mereinfeksi orang-orang yang sebelumnya terkena Covid-19 atau yang sudah menerima dua hingga tiga dosis vaksin. Namun, gejalanya cukup ringan bahkan tanpa gejala bagi mereka yang sudah menerima vaksin dosis ketiga. Begitu pula orang yang menerima dua dosis vaksin ditambah terinfeksi Covid-19 setelahnya.
"Itu yang cukup bisa menjadi barrier. Kasus infeksi yang menimpa mereka, terutama anak muda umumnya tidak bergejala atau bergejala ringan," ujarnya kepada Hypeabis.id. Jumat (17/6/2022).
Baca juga: Begini Perkiraan Gelombang Kasus dan Keparahan Omicron BA.4 dan BA.5
Namun demikian, perlu disadari bahwa golongan pembawa virus tanpa gejala atau gejala ringan ini bisa menyebabkan orang di sekitarnya tertular. Terutama ketika mereka tidak menerapkan pola perilaku yang mengurangi potensi penyebaran Covid-19 seperti tidak memakai masker, menjalani aktivitas atau mobilitas tinggi tanpa memperdulikan keramaian, dan lama di dalam ruang tertutup.
"Dtambah lagi ketika upaya pemerintah tidak memadai dalam deteksi, mengurangi potensi penyebaran, juga pelonggaran berlebihan. Ini bisa menyebabkan jumlah kasus Covid meningkat akibat penyebaran BA.4 dan BA.5," tutur Dicky.
Dia menjelaskan angka reproduksi subvarian Omicron ini bisa dua kali lipat dan peningkatan kasus sebanyak 25 persen pada kelompok rawan atau wilayah yang abai pencegahan. Oleh karena itu, Dicky berpandangan masih pentingnya mempertahankan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Penerapan protokol kesehatan juga tetap dijaga.
"Pelanggarannya jangan kebablasan karena situasi global berpengaruh pada kita. PPKM jangan dulu dicabut karena akan merugikan kita. Di dalam ruangan termasuk di tempat ibadah, rumah sakit, apalagi sarana transportasi, wajib memakai masker, selain peningkatan kualitas sirkulasi udara dan ventilasi," tegasnya.
Sementara itu, peneliti ini memprediksi bahwa gelombang kasus subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 ini kemungkinan terjadi akhir Juli atau Agustus. Kasusnya bisa mencapati puluhan ribu dengan modal demografi banyaknya usia muda.
Walaupun Indonesia diuntungkan dengan imunitas kelompok yang terbentuk karena vaksin, Dicky mengingatkan bahwa ada kelompok komorbid yang tetap harus dijaga dan diperhatikan.
Puncak gelombang parah menurutnya bisa ditekan dengan perubahan strategi seperti deteksi dini secara aktif, pengetatan prokes. "Tapi sulit sepertinya. Yang harus kita antisipasi keparahan, perawatan rumah sakit, dan kematian," sebutnya.
Editor: Dika Irawan
Per Jumat (17/6/2022) jumlah kasus aktif Covid-19 tercatat 7.326, meningkat 658 kasus dari Kamis (16/6/2022). Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman tidak menampik peningkatan kasus di Indonesia ini memang disebabkan oleh subvarian Omicron BA.4 dan BA.5.
Turunan Covid-19 varian Omicron ini memang bisa mereinfeksi orang-orang yang sebelumnya terkena Covid-19 atau yang sudah menerima dua hingga tiga dosis vaksin. Namun, gejalanya cukup ringan bahkan tanpa gejala bagi mereka yang sudah menerima vaksin dosis ketiga. Begitu pula orang yang menerima dua dosis vaksin ditambah terinfeksi Covid-19 setelahnya.
"Itu yang cukup bisa menjadi barrier. Kasus infeksi yang menimpa mereka, terutama anak muda umumnya tidak bergejala atau bergejala ringan," ujarnya kepada Hypeabis.id. Jumat (17/6/2022).
Baca juga: Begini Perkiraan Gelombang Kasus dan Keparahan Omicron BA.4 dan BA.5
Namun demikian, perlu disadari bahwa golongan pembawa virus tanpa gejala atau gejala ringan ini bisa menyebabkan orang di sekitarnya tertular. Terutama ketika mereka tidak menerapkan pola perilaku yang mengurangi potensi penyebaran Covid-19 seperti tidak memakai masker, menjalani aktivitas atau mobilitas tinggi tanpa memperdulikan keramaian, dan lama di dalam ruang tertutup.
"Dtambah lagi ketika upaya pemerintah tidak memadai dalam deteksi, mengurangi potensi penyebaran, juga pelonggaran berlebihan. Ini bisa menyebabkan jumlah kasus Covid meningkat akibat penyebaran BA.4 dan BA.5," tutur Dicky.
Dia menjelaskan angka reproduksi subvarian Omicron ini bisa dua kali lipat dan peningkatan kasus sebanyak 25 persen pada kelompok rawan atau wilayah yang abai pencegahan. Oleh karena itu, Dicky berpandangan masih pentingnya mempertahankan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Penerapan protokol kesehatan juga tetap dijaga.
"Pelanggarannya jangan kebablasan karena situasi global berpengaruh pada kita. PPKM jangan dulu dicabut karena akan merugikan kita. Di dalam ruangan termasuk di tempat ibadah, rumah sakit, apalagi sarana transportasi, wajib memakai masker, selain peningkatan kualitas sirkulasi udara dan ventilasi," tegasnya.
Sementara itu, peneliti ini memprediksi bahwa gelombang kasus subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 ini kemungkinan terjadi akhir Juli atau Agustus. Kasusnya bisa mencapati puluhan ribu dengan modal demografi banyaknya usia muda.
Walaupun Indonesia diuntungkan dengan imunitas kelompok yang terbentuk karena vaksin, Dicky mengingatkan bahwa ada kelompok komorbid yang tetap harus dijaga dan diperhatikan.
Puncak gelombang parah menurutnya bisa ditekan dengan perubahan strategi seperti deteksi dini secara aktif, pengetatan prokes. "Tapi sulit sepertinya. Yang harus kita antisipasi keparahan, perawatan rumah sakit, dan kematian," sebutnya.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.