Peneliti Indonesia Berhasil Buktikan Terapi Stem Cell Mampu Tangani Pasien Kritis Covid-19
13 June 2021 |
16:27 WIB
Para peneliti Indonesia berhasil membuktikan manfaat terapi stem cell atau sel punca masenkimal atau mysenchymal sem cells (MSC) untuk memperbaiki kondisi pasien Covid-19 yang kritis.
Adapun sel punca adalah sel induk yang mempunyai kemampuan untuk memperbanyak diri dan berubah menjadi berbagai jenis sel. Sementara SMC merupakan sel punca Multi potensi yang dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang, otot, ligamen, tendon, dan lemak.
Penelitian yang dipimpin oleh Guru Besar Ortopedi dan Traumatologi FKUI-RSCM Profesor Ismail Hadisoebroto Dilogo ini melibatkan 40 pasien Covid-19 berusia 18-85 tahun dengan kondisi kritis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), RS. Persahabatan, dan RS Sulianti Saroso.
Rata-rata pasien mengalami penurunan kesadaran (terintubasi), pneumonia, memakai alat bantu nafas (ventilator), dan mengalami syok septik atau kondisi kegawatdaruratan yang disebabkan peradangan.
Penelitian yang dilakukan mulai 1 Mei hingga 10 Oktober 2020 ini menggunakan metode pengambilan sampel secara acak dan atas persetujuan keluarga pasien.
Ismail menjelaskan dari 40 subjek, 20 kelompok perlakuan menerima terapi standar ditambah sel punca masenkimal (MSC) dengan dosis 1 juta sel per kilogram berat badan (KgBB) yang diberikan melalui cairan infus (NaCL). Untuk 20 kelompok kontrol hanya mendapatkan terapi standar dan plasebo.
SMC yang digunakan diambil dari tali pusat manusia dan diproduksi oleh Instalasi Pelayanan Terpadu Teknologi Medis Sel Punca, RSCM-FKUI. Ismail membeberkan bahwa SPM dikultur dan dipanen dari pasase 5 atau 6 untuk memastikan kualitas sel terbaik.
Hasilnya 10 pasien dari 20 kelompok dengan terapi MSC mengalami pemulihan secara signifikan dan sisanya meninggal dunia. Sementara pada kelompok kontrol, hanya 4 orang yang pulih dan 16 lainnya meninggal dunia.
“Artinya survival ratenya (kelangsungan hidup pasien dengan) MSC dibandingkan kontrol itu 2,5 kali lipat. Tetapi jika menyertakan semua komorbidnya, maka survival ratenya 4,5 kali lipat,” jelasnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/6/2021).
Lebih lanjut diterangkannya bahwa MSC dapat menekan faktor inflamasi yang hebat akibat Covid-19, meningkatkan faktor antiinflamasi, hingga kemampuan memproduksi dan merangsang regenerasi dari jaringan yang mengalami fibrosis atau pembentukan jaringan parut di paru. “MSC menekan, reparasi, regenerasi,” tegasnya.
Ismail menjelaskan bahwa penelitian terapi sel punca ini sudah dipublikasi di jurnal internasional dan sudah diajukan izin edarnya ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar bisa digunakan secara luas.
Spesialis Penyakit Paru dari RS. Persahabatan dr. Erlina Burhan yang ikut dalam penelitian ini menerangkan pemberian terapi sel punca ini mengubah sitokin jahat menjadi baik. “Sehingga diharapkan inflamasi berat atau badai sitokin ini bisa dikendalikan, tidak menjadi lebih berat,” jelasnya.
Terapi ini katanya juga tidak memiliki efek samping bermakna. Hanya saja para dokter memantau adanya efek alergi karena terapi ini dilakukan melalui intravena ataupun infus.
Dr. Dita Aditianingsih, peneliti lainnya dari FKUI menjelaskan bahwa peran sel punca menstabilkan keseimbangan sitokin yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. “Dia juga bisa mencegah komplikasi jangka panjang seperti fibrosis di paru, mudah-mudahan bisa dicegah,” tambahnya.
Sementara efek samping yang dikhawatirkan menurunnya yakni terjadinya penggumpalan darah. Oleh sebab itu para dokter memberikan pengencer darah agar kondisi tersebut tidak terjadi. “Dari 40 pasien yang diberikan tidak ada efek samping yang kita khawatirkan. Pada penelitian ini relatif aman karena kita pantau 7 hari setelah terapi,” pungkasnya.
Editor: M R Purboyo
Adapun sel punca adalah sel induk yang mempunyai kemampuan untuk memperbanyak diri dan berubah menjadi berbagai jenis sel. Sementara SMC merupakan sel punca Multi potensi yang dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang, otot, ligamen, tendon, dan lemak.
Penelitian yang dipimpin oleh Guru Besar Ortopedi dan Traumatologi FKUI-RSCM Profesor Ismail Hadisoebroto Dilogo ini melibatkan 40 pasien Covid-19 berusia 18-85 tahun dengan kondisi kritis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), RS. Persahabatan, dan RS Sulianti Saroso.
Rata-rata pasien mengalami penurunan kesadaran (terintubasi), pneumonia, memakai alat bantu nafas (ventilator), dan mengalami syok septik atau kondisi kegawatdaruratan yang disebabkan peradangan.
Penelitian yang dilakukan mulai 1 Mei hingga 10 Oktober 2020 ini menggunakan metode pengambilan sampel secara acak dan atas persetujuan keluarga pasien.
Ismail menjelaskan dari 40 subjek, 20 kelompok perlakuan menerima terapi standar ditambah sel punca masenkimal (MSC) dengan dosis 1 juta sel per kilogram berat badan (KgBB) yang diberikan melalui cairan infus (NaCL). Untuk 20 kelompok kontrol hanya mendapatkan terapi standar dan plasebo.
SMC yang digunakan diambil dari tali pusat manusia dan diproduksi oleh Instalasi Pelayanan Terpadu Teknologi Medis Sel Punca, RSCM-FKUI. Ismail membeberkan bahwa SPM dikultur dan dipanen dari pasase 5 atau 6 untuk memastikan kualitas sel terbaik.
Hasilnya 10 pasien dari 20 kelompok dengan terapi MSC mengalami pemulihan secara signifikan dan sisanya meninggal dunia. Sementara pada kelompok kontrol, hanya 4 orang yang pulih dan 16 lainnya meninggal dunia.
“Artinya survival ratenya (kelangsungan hidup pasien dengan) MSC dibandingkan kontrol itu 2,5 kali lipat. Tetapi jika menyertakan semua komorbidnya, maka survival ratenya 4,5 kali lipat,” jelasnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/6/2021).
Lebih lanjut diterangkannya bahwa MSC dapat menekan faktor inflamasi yang hebat akibat Covid-19, meningkatkan faktor antiinflamasi, hingga kemampuan memproduksi dan merangsang regenerasi dari jaringan yang mengalami fibrosis atau pembentukan jaringan parut di paru. “MSC menekan, reparasi, regenerasi,” tegasnya.
Ismail menjelaskan bahwa penelitian terapi sel punca ini sudah dipublikasi di jurnal internasional dan sudah diajukan izin edarnya ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar bisa digunakan secara luas.
Spesialis Penyakit Paru dari RS. Persahabatan dr. Erlina Burhan yang ikut dalam penelitian ini menerangkan pemberian terapi sel punca ini mengubah sitokin jahat menjadi baik. “Sehingga diharapkan inflamasi berat atau badai sitokin ini bisa dikendalikan, tidak menjadi lebih berat,” jelasnya.
Terapi ini katanya juga tidak memiliki efek samping bermakna. Hanya saja para dokter memantau adanya efek alergi karena terapi ini dilakukan melalui intravena ataupun infus.
Dr. Dita Aditianingsih, peneliti lainnya dari FKUI menjelaskan bahwa peran sel punca menstabilkan keseimbangan sitokin yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. “Dia juga bisa mencegah komplikasi jangka panjang seperti fibrosis di paru, mudah-mudahan bisa dicegah,” tambahnya.
Sementara efek samping yang dikhawatirkan menurunnya yakni terjadinya penggumpalan darah. Oleh sebab itu para dokter memberikan pengencer darah agar kondisi tersebut tidak terjadi. “Dari 40 pasien yang diberikan tidak ada efek samping yang kita khawatirkan. Pada penelitian ini relatif aman karena kita pantau 7 hari setelah terapi,” pungkasnya.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.