Duo Sutradara Ini Tolak Garap Serial Loki, Ingin Ciptakan Multiverse Buatan Sendiri
06 April 2022 |
15:53 WIB
Nirmala Aninda
Manajer Konten Hypeabis.id
Orang lain mungkin berpikir bahwa kesempatan untuk bekerja dengan Marvel dan Disney+ dalam waralaba populer adalah hal yang tidak boleh dilewatkan. Namun, duo sutradara Daniel Kwan dan Daniel Scheinert memiliki pendapat berbeda.
Lebih dikenal sebagai Daniels, keduanya ternyata sudah memiliki proyek sinema ambisius untuk film baru mereka saat tawaran dari Marvel itu datang. Pada sesi panel di SXSW Film Festival bulan lalu, Scheinert dan Kwan membeberkan bahwa mereka mendapatkan tawaran untuk menggarap serial Loki yang tayang di Disney+. Namun, mereka memilih untuk menolaknya.
"Saat itu kami sedang mengembangkan film dengan multiverse kami sendiri. Kami datang ke rapat dan menemui mereka, tapi kami saat itu tengah sibuk dengan film kami sendiri," ujar Kwan seperti dilansir melalui IndieWire.
Proyek yang mereka maksud adalah Everything Everywhere All at Once, film saga fiksi ilmiah yang tayang perdana di SXSW Film Festival 2022 dan merupakan film kedua mereka setelah debut melalui Swiss Army Man (2016).
Everything Everywhere All at Once ini dibintangi oleh Michelle Yeoh yang memerankan Evelyn Wang, seorang wanita yang baru saja mengetahui bahwa dirinya dapat berpindah dari satu dimensi ke dimensi lain tanpa akhir secara bersamaan.
Wang menggunakan kekuatan ini untuk mencoba berdamai dengan putri remajanya, Eleanor, dibintangi oleh Stephanie Hsu.
Diproduksi oleh A24, Everything Everywhere All at Once membuktikan bahwa pembuat film memiliki kemampuan tersendiri untuk menggabungkan sejumlah genre menjadi satu film hebat buatan mereka sendiri.
Duo sutradara ini mengaku tidak menyesal telah melewatkan kesempatan untuk jadi bagian dari waralaba Marvel tersebut, meskipun mereka sendiri tidak yakin dengan masa depan proyek filmnya.
Bagaimana tidak, film ini berhasil menyita perhatian audiens yang hadir di SXSW Film Festival 2022 maupun mereka yang sudah menyaksikannya di bioskop sejak 25 Maret lalu.
Kesempatan yang datang justru jadi wake up call bagi Kwan dan Scheinert untuk mengembangkan naskah epik mereka menjadi proyek film luar biasa.
"Mereka [Marvel] mencoba untuk membuat konsep fiksi ilmiah ala Douglas Adams untuk Loki. Agak ngeri mendengarnya karena itulah yang sedang kami kerjakan!" kata Kwan.
Duo Daniels sudah mulai mengerjakan konsep untuk Everything Everywhere All at Once bahkan saat press tour untuk Swiss Army Man berlangsung, meskipun saat itu keduanya juga sibuk dengan proyek individu.
Selama masa pengembangan yang panjang itu, setiap film yang dirilis dan memiliki beberapa kemiripan plot membuat mereka gugup. Termasuk film-film Marvel lainnya seperti Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings, yang juga mengangkat aspek pertempuran dengan seni bela diri.
Tidak hanya itu, Everything Everywhere All at Once juga berangkat dari kisah protagonis yang menyadari bahwa kenyatan lebih rumit dan dapat diubah sedemikian rupa seperti kisah Neo, di The Matrix (1999).
Kwan dan Scheinert memiliki kecenderungan untuk melihat film-film blockbusters yang mengilhami karya-karya mereka secara kritis dan Everything Everywhere All at Once adalah kritik keduanya terhadap film fiksi ilmiah dengan plot multiverse yang mengganggu bagi mereka.
Multiverse Everything Everywhere All at Once adalah metafora yang sangat fleksibel dan cocok untuk mengekspresikan beberapa kekesalan umum yang mungkin berhubungan dengan audiens tentang film lain berkonsep sama.
Kwan dan Scheinert menggunakan ide sentral dari multiverse dan membiarkan karakter mereka mengubah tubuh, kostum, keterampilan, dan kondisi dengan cepat, dengan cara yang secara visual mempesona.
Duo Daniels menyusun semuanya dengan kejernihan pikiran dan niat yang membuat Everything Everywhere All at Once sangat mudah dan mendebarkan untuk diikuti.
Editor: Gita Carla
Lebih dikenal sebagai Daniels, keduanya ternyata sudah memiliki proyek sinema ambisius untuk film baru mereka saat tawaran dari Marvel itu datang. Pada sesi panel di SXSW Film Festival bulan lalu, Scheinert dan Kwan membeberkan bahwa mereka mendapatkan tawaran untuk menggarap serial Loki yang tayang di Disney+. Namun, mereka memilih untuk menolaknya.
"Saat itu kami sedang mengembangkan film dengan multiverse kami sendiri. Kami datang ke rapat dan menemui mereka, tapi kami saat itu tengah sibuk dengan film kami sendiri," ujar Kwan seperti dilansir melalui IndieWire.
Proyek yang mereka maksud adalah Everything Everywhere All at Once, film saga fiksi ilmiah yang tayang perdana di SXSW Film Festival 2022 dan merupakan film kedua mereka setelah debut melalui Swiss Army Man (2016).
Everything Everywhere All at Once ini dibintangi oleh Michelle Yeoh yang memerankan Evelyn Wang, seorang wanita yang baru saja mengetahui bahwa dirinya dapat berpindah dari satu dimensi ke dimensi lain tanpa akhir secara bersamaan.
Wang menggunakan kekuatan ini untuk mencoba berdamai dengan putri remajanya, Eleanor, dibintangi oleh Stephanie Hsu.
Diproduksi oleh A24, Everything Everywhere All at Once membuktikan bahwa pembuat film memiliki kemampuan tersendiri untuk menggabungkan sejumlah genre menjadi satu film hebat buatan mereka sendiri.
Duo sutradara ini mengaku tidak menyesal telah melewatkan kesempatan untuk jadi bagian dari waralaba Marvel tersebut, meskipun mereka sendiri tidak yakin dengan masa depan proyek filmnya.
Bagaimana tidak, film ini berhasil menyita perhatian audiens yang hadir di SXSW Film Festival 2022 maupun mereka yang sudah menyaksikannya di bioskop sejak 25 Maret lalu.
Kesempatan yang datang justru jadi wake up call bagi Kwan dan Scheinert untuk mengembangkan naskah epik mereka menjadi proyek film luar biasa.
"Mereka [Marvel] mencoba untuk membuat konsep fiksi ilmiah ala Douglas Adams untuk Loki. Agak ngeri mendengarnya karena itulah yang sedang kami kerjakan!" kata Kwan.
Duo Daniels sudah mulai mengerjakan konsep untuk Everything Everywhere All at Once bahkan saat press tour untuk Swiss Army Man berlangsung, meskipun saat itu keduanya juga sibuk dengan proyek individu.
Selama masa pengembangan yang panjang itu, setiap film yang dirilis dan memiliki beberapa kemiripan plot membuat mereka gugup. Termasuk film-film Marvel lainnya seperti Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings, yang juga mengangkat aspek pertempuran dengan seni bela diri.
Tidak hanya itu, Everything Everywhere All at Once juga berangkat dari kisah protagonis yang menyadari bahwa kenyatan lebih rumit dan dapat diubah sedemikian rupa seperti kisah Neo, di The Matrix (1999).
Kwan dan Scheinert memiliki kecenderungan untuk melihat film-film blockbusters yang mengilhami karya-karya mereka secara kritis dan Everything Everywhere All at Once adalah kritik keduanya terhadap film fiksi ilmiah dengan plot multiverse yang mengganggu bagi mereka.
Multiverse Everything Everywhere All at Once adalah metafora yang sangat fleksibel dan cocok untuk mengekspresikan beberapa kekesalan umum yang mungkin berhubungan dengan audiens tentang film lain berkonsep sama.
Kwan dan Scheinert menggunakan ide sentral dari multiverse dan membiarkan karakter mereka mengubah tubuh, kostum, keterampilan, dan kondisi dengan cepat, dengan cara yang secara visual mempesona.
Duo Daniels menyusun semuanya dengan kejernihan pikiran dan niat yang membuat Everything Everywhere All at Once sangat mudah dan mendebarkan untuk diikuti.
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.