Begini Cara Meracik Olahan Kakao Jadi Bernilai Tambah
13 March 2022 |
22:14 WIB
Cokelat menjadi salah satu kudapan favorit yang digemari banyak orang mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Bahan pangan ini berasal dari biji kakao yang kemudian diolah menjadi bubuk cokelat, pasta cokelat, hingga lemak cokelat sebagai bahan utama pembuatan aneka olahan cokelat.
Kakao sendiri sebetulnya menjadi salah satu komoditas unggulan di Indonesia karena jumlahnya yang cukup berlimpah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah produksi perkebunan Kakao pada 2020 sebesar 720 ribu ton. Bahkan pada 2022 ini, pemerintah menargetkan produksi perkebunan kakao bisa mencapai 780 ribu ton.
Meski potensi produk kakao terbilang cukup besar dan melimpah, sayangnya di sisi hilirisasi atau pengembangan dan pengolahan kakao yang memiliki nilai tambah secara ekonomi terbilang masih belum maksimal.
Untuk itulah, Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian terus melakukan berbagai upaya dan inovasi sehingga mampu menghasilkan proses pengolahan kakao yang lebih bernilai tambah.
Begitu pula dengan Kementerian Perindustrian yang turut aktif mendorong peningkatan produktivitas biji kakao dan konsumsi produk kakao olahan sehingga mampu meningkatkan daya saing industri pengolahan kakao di kancah global dan menjadi sektor yang berkelanjutan.
Soetanto Abdullah, Penasihat Masyarakat Kakao Indonesia mengatakan untuk meningkatkan produksi kakao dan olahan kakao yang memiliki nilai tambah, maka dia berharap para pelaku industri pengolahan kakao ikut mendampingi dan membantu para petani.
“Pelaku industri bisa membantu dengan memberikan pelatihan, membantu sarana produksi dan lain sebagainya sehingga hasil produksi kakao akan meningkat sehingga industri dapat memperoleh bahan baku biji kakao yang berkualitas,” ujarnya.
Pasalnya, saat ini industri pengolahan kakao masih kekurangan bahan baku biji kakao yang sesuai standar sehingga tak sedikit yang masih mengimpor biji kakao untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Memang saat ini sudah ada beberapa industri besar di beberapa daerah yang telah membantu dan bekerja sama dengan petani tetapi masih terbatas di wilayah sekitar pabriknya. Seperti Mars yang memberikan pelatihan di Sulawesi Selatan atau Mondelez dan Barry Callebaut memberikan pelatihan di Lampung.
Meski demikian hal tersebut menurutnya sudah menjadi salah satu langkah yang cukup baik. Diharapkan pula melalui pendampingan dan pelatihan tersebut, mampu meningkatkan produktivitas biji kakao kering setidaknya setiap pohon mencapai 2 kilogram per tahun.
Pada dasarnya biji kakao di Indonesia banyak yang memiliki kualitas sangat baik. Seperti beberapa waktu lalu, ada yang masuk ke dalam kelas premium dan mendapatkan award pada kontes biji kakao se dunia di Prancis.
Biji-biji kakao dengan kualitas premium tersebut bahkan sudah digunakan sebagai bahan baku coklat oleh pabrik-pabrik artisan di Eropa, Australia, dan Jepang.
“Namun sayangnya, jumlah biji kakao premium ini masih sangat sedikit dihasilkan oleh Indonesia. Mayoritas masih berupa biji asalan yang tanpa fermentasi dan tanpa sortasi,” tutur Soetanto yang juga menjadi Advisor di Cocoa Sustainability Partnership (CSP) dan Tenaga Ahli Dewan Kakao Indonesia ini.
Alasannya karena masih banyak petani yang merasa harga biji kakao fermentasi dengan non fermentasi tidak berbeda signifikan. Selain itu prosesnya pun terbilang cukup lama karena harus menunggu sekitar seminggu atau sepuluh hari.
Ini menyebabkan mereka tidak tertarik melakukan fermentasi sehingga lebih memilih menjualnya dalam bentuk biji kakao non fermentasi yang tentu saja akan mempengaruhi kualitas biji kakao di Indonesia.
Padahal, jika dapat diproses dengan baik saat fermentasi dan pengeringan, akan ada penambahan nilai jual dengan selisih harga minimal Rp5.000 per kg bahkan jika disortir bisa lebih tinggi hampir 2 kali lipat dan dapat masuk dalam premium kakao.
Selain dapat meningkatkan harga jual, kakao berkualitas yang sudah difermentasi tersebut akan menarik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pelaku industri pengolahan cokelat, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Editor: Fajar Sidik
Kakao sendiri sebetulnya menjadi salah satu komoditas unggulan di Indonesia karena jumlahnya yang cukup berlimpah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah produksi perkebunan Kakao pada 2020 sebesar 720 ribu ton. Bahkan pada 2022 ini, pemerintah menargetkan produksi perkebunan kakao bisa mencapai 780 ribu ton.
Meski potensi produk kakao terbilang cukup besar dan melimpah, sayangnya di sisi hilirisasi atau pengembangan dan pengolahan kakao yang memiliki nilai tambah secara ekonomi terbilang masih belum maksimal.
Untuk itulah, Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian terus melakukan berbagai upaya dan inovasi sehingga mampu menghasilkan proses pengolahan kakao yang lebih bernilai tambah.
Begitu pula dengan Kementerian Perindustrian yang turut aktif mendorong peningkatan produktivitas biji kakao dan konsumsi produk kakao olahan sehingga mampu meningkatkan daya saing industri pengolahan kakao di kancah global dan menjadi sektor yang berkelanjutan.
Soetanto Abdullah, Penasihat Masyarakat Kakao Indonesia mengatakan untuk meningkatkan produksi kakao dan olahan kakao yang memiliki nilai tambah, maka dia berharap para pelaku industri pengolahan kakao ikut mendampingi dan membantu para petani.
“Pelaku industri bisa membantu dengan memberikan pelatihan, membantu sarana produksi dan lain sebagainya sehingga hasil produksi kakao akan meningkat sehingga industri dapat memperoleh bahan baku biji kakao yang berkualitas,” ujarnya.
Pasalnya, saat ini industri pengolahan kakao masih kekurangan bahan baku biji kakao yang sesuai standar sehingga tak sedikit yang masih mengimpor biji kakao untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Memang saat ini sudah ada beberapa industri besar di beberapa daerah yang telah membantu dan bekerja sama dengan petani tetapi masih terbatas di wilayah sekitar pabriknya. Seperti Mars yang memberikan pelatihan di Sulawesi Selatan atau Mondelez dan Barry Callebaut memberikan pelatihan di Lampung.
Meski demikian hal tersebut menurutnya sudah menjadi salah satu langkah yang cukup baik. Diharapkan pula melalui pendampingan dan pelatihan tersebut, mampu meningkatkan produktivitas biji kakao kering setidaknya setiap pohon mencapai 2 kilogram per tahun.
Pada dasarnya biji kakao di Indonesia banyak yang memiliki kualitas sangat baik. Seperti beberapa waktu lalu, ada yang masuk ke dalam kelas premium dan mendapatkan award pada kontes biji kakao se dunia di Prancis.
Biji-biji kakao dengan kualitas premium tersebut bahkan sudah digunakan sebagai bahan baku coklat oleh pabrik-pabrik artisan di Eropa, Australia, dan Jepang.
“Namun sayangnya, jumlah biji kakao premium ini masih sangat sedikit dihasilkan oleh Indonesia. Mayoritas masih berupa biji asalan yang tanpa fermentasi dan tanpa sortasi,” tutur Soetanto yang juga menjadi Advisor di Cocoa Sustainability Partnership (CSP) dan Tenaga Ahli Dewan Kakao Indonesia ini.
Alasannya karena masih banyak petani yang merasa harga biji kakao fermentasi dengan non fermentasi tidak berbeda signifikan. Selain itu prosesnya pun terbilang cukup lama karena harus menunggu sekitar seminggu atau sepuluh hari.
Ini menyebabkan mereka tidak tertarik melakukan fermentasi sehingga lebih memilih menjualnya dalam bentuk biji kakao non fermentasi yang tentu saja akan mempengaruhi kualitas biji kakao di Indonesia.
Padahal, jika dapat diproses dengan baik saat fermentasi dan pengeringan, akan ada penambahan nilai jual dengan selisih harga minimal Rp5.000 per kg bahkan jika disortir bisa lebih tinggi hampir 2 kali lipat dan dapat masuk dalam premium kakao.
Selain dapat meningkatkan harga jual, kakao berkualitas yang sudah difermentasi tersebut akan menarik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pelaku industri pengolahan cokelat, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.