'Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas' Tayang 2 Desember di Bioskop Indonesia
18 November 2021 |
10:00 WIB
Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas akan tayang di seluruh bioskop di Indonesia mulai 2 Desember 2021 di bioskop seluruh Indonesia. Film yang diangkat dari novel karya Eka Kurniawan ini film dikhususkan bagi penonton usia dewasa.
Sutradara Edwin menuturkan, file film yang akan diputar di seluruh bioskop di Indonesia nanti sama dengan yang diputar di festival-festival di luar negeri, dan telah melalui Lembaga Sensor Film (LSF) sebelum diputar di dalam negeri.
Film ini mendapatkan klasifikasi 17+ dari LSF. Namun, Palari Film menghimbau kepada masyarakat yang berusia 18 tahun ke atas yang menonton film yang dibintangi oleh Marthino Lio, Ladya Cheryl, Reza Rahadian, Ratu Felisha, dan Sal Priadi.
Film ini berkisah tentang Ajo Kawir, seorang jagoan yang tidak takut mati. Hasratnya yang besar untuk bertarung didorong oleh suatu rahasia, yakni impoten. Ketika berhadapan dengan seorang bodyguard perempuan bernama Iteung, Ajo babak belur hingga jungkir balik dan pada akhirnya jatuh cinta dengan iteung.
Mengusung tema kisah cinta tragis di dunia yang maskulin, Edwin menuturkan budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah dan masih sangat terpampang di Indonesia pada saat ini.
"Di masyarakat yang seharusnya kini lebih terbuka pikirannya dan demokratis ketimbang pada era 1980-an hingga 1990-an. Saya melihat Indonesia berusaha keras, mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi," katanya.
Tak hanya Ajo Kawir, sang jagoan kampung yang terjebak dengan ekspektasinya sebagai laki-laki di dunia maskulin, ada juga sosok Iteung, yakni karakter cewek yang berhasil mengimbanginya dalam beraksi dan bernyali tinggi.
Iteung yang diperankan oleh Ladya Cheryl tampil berenergi sebagai cewek yang bukan cuma menjadi kekasih bagi Ajo, tapi juga jagoan yang punya kekuatan setara dengan Ajo Kawir. Iteung juga punya traumanya sendiri sebagai perempuan yang harus hidup di dunia yang maskulin. Dia tumbuh untuk berani mengambil risiko dan keputusannya sendiri yang menjadikannya seseorang yang tidak kalah kuat.
Berlatar waktu pada akhir tahun 80an dan awal 90an, film ini berusaha menghadirkan estetika sinema dari era tersebut melalui banyak cara. Salah satunya adalah penggunaan seluloid. Edwin menyatakan keinginannya menggunakan pita seluloid dalam proses syuting film ini perlu didukung oleh para produser yang gigih untuk merealisasikannya.
Pita seluloid, selain harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan medium digital, di Indonesia tidak ada lagi laboratorium dan distributor pita film 16mm.Segala pengerjaan laboratorium harus dikerjakan di Jepang. Satu pilihan yang tidak mudah mengingat segala sesuatunya juga harus dikerjakan selama masa pandemi.
Editor: Roni Yunianto
Sutradara Edwin menuturkan, file film yang akan diputar di seluruh bioskop di Indonesia nanti sama dengan yang diputar di festival-festival di luar negeri, dan telah melalui Lembaga Sensor Film (LSF) sebelum diputar di dalam negeri.
Film ini mendapatkan klasifikasi 17+ dari LSF. Namun, Palari Film menghimbau kepada masyarakat yang berusia 18 tahun ke atas yang menonton film yang dibintangi oleh Marthino Lio, Ladya Cheryl, Reza Rahadian, Ratu Felisha, dan Sal Priadi.
Film ini berkisah tentang Ajo Kawir, seorang jagoan yang tidak takut mati. Hasratnya yang besar untuk bertarung didorong oleh suatu rahasia, yakni impoten. Ketika berhadapan dengan seorang bodyguard perempuan bernama Iteung, Ajo babak belur hingga jungkir balik dan pada akhirnya jatuh cinta dengan iteung.
Mengusung tema kisah cinta tragis di dunia yang maskulin, Edwin menuturkan budaya toxic masculinity memaksa lelaki untuk tidak terlihat lemah dan masih sangat terpampang di Indonesia pada saat ini.
"Di masyarakat yang seharusnya kini lebih terbuka pikirannya dan demokratis ketimbang pada era 1980-an hingga 1990-an. Saya melihat Indonesia berusaha keras, mencoba untuk mengatasi rasa takutnya akan impotensi. Ketakutan yang membawa kita kembali ke budaya kekerasan yang dinormalisasi," katanya.
Tak hanya Ajo Kawir, sang jagoan kampung yang terjebak dengan ekspektasinya sebagai laki-laki di dunia maskulin, ada juga sosok Iteung, yakni karakter cewek yang berhasil mengimbanginya dalam beraksi dan bernyali tinggi.
Iteung yang diperankan oleh Ladya Cheryl tampil berenergi sebagai cewek yang bukan cuma menjadi kekasih bagi Ajo, tapi juga jagoan yang punya kekuatan setara dengan Ajo Kawir. Iteung juga punya traumanya sendiri sebagai perempuan yang harus hidup di dunia yang maskulin. Dia tumbuh untuk berani mengambil risiko dan keputusannya sendiri yang menjadikannya seseorang yang tidak kalah kuat.
Berlatar waktu pada akhir tahun 80an dan awal 90an, film ini berusaha menghadirkan estetika sinema dari era tersebut melalui banyak cara. Salah satunya adalah penggunaan seluloid. Edwin menyatakan keinginannya menggunakan pita seluloid dalam proses syuting film ini perlu didukung oleh para produser yang gigih untuk merealisasikannya.
Pita seluloid, selain harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan medium digital, di Indonesia tidak ada lagi laboratorium dan distributor pita film 16mm.Segala pengerjaan laboratorium harus dikerjakan di Jepang. Satu pilihan yang tidak mudah mengingat segala sesuatunya juga harus dikerjakan selama masa pandemi.
Editor: Roni Yunianto
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.