Profil Maria Ressa, Jurnalis Filipina Penerima Hadiah Nobel Perdamaian
09 October 2021 |
18:49 WIB
Wartawan asal Filipina, Maria Ressa meraih anugerah Hadiah Perdamaian dari Komite Nobel Norwegia, Jumat (8/10). Kemenangan ini pun disambut suka cita oleh para jurnalis di Filipina, salah satu negara yang cukup berbahaya bagi wartawan.
Ressa, chief executive officer dan salah satu pendiri organisasi berita daring Rappler, menjadi penerima Nobel individu Filipina pertama. Dia dan Dmitry Muratov dari Rusia dipilih di antara 329 kandidat, dengan penilaian dari komite seleksi yang mengatakan bahwa kedua penerima tersebut mewakili jurnalis yang berdiri di tengah-tengah kondisi yang semakin buruk bagi jurnalis.
Asosiasi Koresponden Asing Filipina mengatakan kemenangannya adalah kemenangan bagi para pendukung kebebasan pers.
“Kami berharap kemenangan Ressa mendorong perhatian internasional pada penderitaan pekerja media lokal Filipina, dan mengirimkan sinyal bahwa pers yang bebas, tidak terkekang dan kritis diperlukan untuk demokrasi yang sehat,” ungkap mereka dalam sebuah unggahan di Twitter.
Sebagai mantan kepala biro CNN Ressa terlibat dalam pertempuran hukum dalam beberapa tahun terakhir. Dia pun menjadi sasaran karena laporan kritis situs beritanya tentang Duterte.
Dilansir oleh Time, jurnalis berusia 58 tahun itu dihukum karena pencemaran nama baik dunia maya tahun lalu dan menghadapi beberapa tantangan hukum sebagai akibat dari pekerjaannya.
Ressa mengatakan kasus-kasus itu bermotif politik—hasil dari pelaporan keras Rappler tentang perang narkoba mematikan yang dilakukan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
"Saya meliput negara ini sejak 1986, saya tidak pernah menjadi berita tetapi satu-satunya alasan saya menjadi berita adalah karena saya menolak untuk dicap, saya menolak untuk berhenti melakukan pekerjaan saya sebagaimana mestinya," kata Ressa kepada CNN.
Sebelum ikut mendirikan Rappler, jurnalis keturunan Filipina-Amerika ini menghabiskan hampir dua dekade sebagai reporter investigasi utama untuk CNN di Asia Tenggara.
Ressa berbagi Hadiah Perdamaian tahun ini dengan jurnalis Rusia Dmitry Muratov, yang mengepalai surat kabar independen Rusia Novaya Gazeta. Ressa adalah wanita pertama yang dianugerahi Hadiah Nobel tahun ini.
"Jurnalisme yang bebas, independen, dan berdasarkan fakta berfungsi untuk melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan, kebohongan, dan propaganda perang," ujar Berit Reiss-Andersen, ketua Komite Nobel Norwegia.
Komite Nobel juga mengatakan Ressa menggunakan kebebasan berekspresi untuk mengekspos penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan dan otoritarianisme yang berkembang di negara asalnya, Filipina.
Komite tersebut juga menambahkan, sebagai seorang jurnalis dan CEO Rappler, Ressa telah menunjukkan dirinya sebagai pembela kebebasan berekspresi yang tak kenal takut.
Rappler telah memusatkan perhatian kritis pada kampanye anti-narkoba yang kontroversial dan mematikan dari rezim Duterte.
Ressa, chief executive officer dan salah satu pendiri organisasi berita daring Rappler, menjadi penerima Nobel individu Filipina pertama. Dia dan Dmitry Muratov dari Rusia dipilih di antara 329 kandidat, dengan penilaian dari komite seleksi yang mengatakan bahwa kedua penerima tersebut mewakili jurnalis yang berdiri di tengah-tengah kondisi yang semakin buruk bagi jurnalis.
Asosiasi Koresponden Asing Filipina mengatakan kemenangannya adalah kemenangan bagi para pendukung kebebasan pers.
“Kami berharap kemenangan Ressa mendorong perhatian internasional pada penderitaan pekerja media lokal Filipina, dan mengirimkan sinyal bahwa pers yang bebas, tidak terkekang dan kritis diperlukan untuk demokrasi yang sehat,” ungkap mereka dalam sebuah unggahan di Twitter.
#NobelPrize laureate Maria Ressa uses freedom of expression to expose abuse of power, use of violence and growing authoritarianism in her native country, the Philippines. In 2012, she co-founded Rappler, @rapplerdotcom, a digital media company for investigative journalism. pic.twitter.com/C8W8NBqY7T
— The Nobel Prize (@NobelPrize) October 8, 2021
Sebagai mantan kepala biro CNN Ressa terlibat dalam pertempuran hukum dalam beberapa tahun terakhir. Dia pun menjadi sasaran karena laporan kritis situs beritanya tentang Duterte.
Dilansir oleh Time, jurnalis berusia 58 tahun itu dihukum karena pencemaran nama baik dunia maya tahun lalu dan menghadapi beberapa tantangan hukum sebagai akibat dari pekerjaannya.
Ressa mengatakan kasus-kasus itu bermotif politik—hasil dari pelaporan keras Rappler tentang perang narkoba mematikan yang dilakukan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
"Saya meliput negara ini sejak 1986, saya tidak pernah menjadi berita tetapi satu-satunya alasan saya menjadi berita adalah karena saya menolak untuk dicap, saya menolak untuk berhenti melakukan pekerjaan saya sebagaimana mestinya," kata Ressa kepada CNN.
Sebelum ikut mendirikan Rappler, jurnalis keturunan Filipina-Amerika ini menghabiskan hampir dua dekade sebagai reporter investigasi utama untuk CNN di Asia Tenggara.
Ressa berbagi Hadiah Perdamaian tahun ini dengan jurnalis Rusia Dmitry Muratov, yang mengepalai surat kabar independen Rusia Novaya Gazeta. Ressa adalah wanita pertama yang dianugerahi Hadiah Nobel tahun ini.
"Jurnalisme yang bebas, independen, dan berdasarkan fakta berfungsi untuk melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan, kebohongan, dan propaganda perang," ujar Berit Reiss-Andersen, ketua Komite Nobel Norwegia.
Komite Nobel juga mengatakan Ressa menggunakan kebebasan berekspresi untuk mengekspos penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan dan otoritarianisme yang berkembang di negara asalnya, Filipina.
Komite tersebut juga menambahkan, sebagai seorang jurnalis dan CEO Rappler, Ressa telah menunjukkan dirinya sebagai pembela kebebasan berekspresi yang tak kenal takut.
Rappler telah memusatkan perhatian kritis pada kampanye anti-narkoba yang kontroversial dan mematikan dari rezim Duterte.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.