5 Fakta Unik Piring Pelepah Pinang dari Jambi, Bisa Gantikan Styrofoam
03 September 2021 |
08:27 WIB
Bahan styrofoam masih banyak digunakan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan seperti kemasan, bahan kerajinan, dekorasi, dan bahan bangunan. Padahal, styrofoam termasuk ke dalam jenis bahan polystyrene sehingga sama berbahayanya dengan plastik yang sulit terurai. Penanganan limbah styrofoam yang sebatas pembuangan saja tentu akan membebani alam dalam proses penguraiannya.
Namun, sebuah inovasi yang bisa membantu mengatasi permasalahan tersebut dilakukan oleh beberapa warga Desa Sinar Wajo dan Desa Sungai Beras Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, dengan membuat piring pelepah pinang.
Mereka tergabung dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), yaitu KUPS Lojo’ Kleppaa dan KUPS Kodopi Mitra Madani untuk mengembangkan inovasi piring pelepah pinang semenjak usaha menjual pinang yang dilakukan kian menurun semenjak pandemi terjadi di Indonesia.
Selain itu, Komunitas Konservasi Indonesia- Warung Informasi Konservasi (KKI Warsi) juga melakukan pendampingan terhadap pengembangan produk tersebut dan membuka kerja sama dengan Rumah Jambee, salah satu unit usaha piring pelepah pinang di Jambi.
“Kami memberi pelatihan terkait proses pembuatan piring, termasuk cara menggunakan alat untuk mencetak, sehingga masyarakat bisa langsung praktik,” kata Fasilitator Komunitas dan Kabupaten KKI Warsi Ayu Shafira dalam keterangan resmi.
Untuk mengetahui lebih lanjut, simak yuk 5 fakta piring pelepah pinang yang perlu kamu ketahui.
1. Solusi limbah pelepah
Perkebunan pinang memang mendominasi area Desa Sinar Wajo dan Desa Sungai Beras Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, sehingga masyarakat mengandalkan pinang sebagai pendapatan. Meskipun begitu, sampah pelepah pinang yang dihasilkan juga banyak. Jika pelepah itu dibiarkan berserakan di perkebunan dan kemudian mengering, saat musim kemarau sampah pelepah itu jadi mudah terbakar. Hal ini berbahaya karena bisa memicu kebakaran lahan.
“Ketika inovasi piring pelepah pinang dikembangkan, petani diuntungkan. Mereka tidak harus membersihkan area perkebunan dari pelepah yang setiap hari berjatuhan dan mengotori kebun. Perajin boleh mengambil dan memanfaatkan limbah pelepah itu sebagai bahan baku, tanpa harus membayar sedikit pun. Jadi, bahan baku yang begitu berlimpah bisa didapatkan secara gratis,” kata Ayu.
Untuk membuat piring, pelepah pinang yang baru jatuh sekitar satu-dua hari diambil, lalu dicuci dengan sabun pencuci piring yang aman untuk bahan makanan, lalu dijemur selama kurang lebih 3–4 jam. Setelah pelepah kering, piring dicetak dengan alat mesin molding hot press dengan suhu 120 derajat celcius. Satu menit kemudian, piring sudah siap digunakan.
Dalam proses pembuatannya, perajin tidak menggunakan bahan kimia sama sekali. Piringnya pun lebih kokoh daripada piring kertas, karena pelepah pinang memang tebal dan berlapis lilin. Pengeringannya pun mengandalkan sinar matahari.
“Piring ini juga tahan lama. Jika sudah dijemur hingga benar-benar kering, tidak akan berjamur sama sekali, meski disimpan di dalam lemari tertutup. Jika sudah selesai digunakan, piring bisa dibuang seperti membuang daun pisang. Dia akan terurai di alam tanpa merusak lingkungan,” kata Ayu.
2. Bisa dipakai ulang
Konsep piring ini memang bukan satu kali pakai. Artinya, konsumen bisa menggunakannya berulang hingga maksimal 8 kali. Oleh karena itu, piring pelepah pinang dinilai bisa menggeser posisi styrofoam.
“Namun, hal ini juga tergantung pada proses pencucian. Kalau piring direndam, kemungkinan besar serat piring akan melunak, karena air masuk ke celah-celah piring, sehingga tidak lagi kokoh. Lebih baik dibasuh menggunakan air, tanpa direndam dahulu. Juga tidak perlu digosok terlalu keras dengan sabun,” kata Ayu.
Tidak hanya bisa digunakan untuk makanan yang kering, misalnya gorengan, kekuatan piring pelepah pinang juga serupa dengan styrofoam, yaitu bisa untuk menyajikan makanan berkuah .
3. Harga terjangkau
Sejak mulai menekuni usaha piring pelepah pinang pada November 2020, hingga April 2021 kedua desa tersebut sudah berhasil menjual sekitar 400 buah piring. Harga satu buah piring berkisar antara Rp 5.000 – Rp 6.000.
Ayu menjelaskan, jika piring tersebut ingin dibentuk seperti styrofoam yang tertutup, artinya memerlukan dua buah piring pelepah yang kemudian ditangkupkan. Itu berarti harganya bisa menjadi dua kali lipat. Harga ini masih terbilang murah, jika dibandingkan harga piring dengan bahan yang sama yang dipasarkan melalui toko online. Ayu mengaku pernah menemukan piring yang sama dijual seharga Rp16.000 di Bali.
4. Corak cantik yang menarik
Piring yang dipasarkan kini juga tersedia dalam berbagai ukuran dan bentuk. Ada yang persegi panjang dan berbentuk bundar dalam diameter berbeda-beda. Dari segi warna, piring tersebut terbagi menjadi 3 grade, yaitu A, B, dan C. Grade A adalah piring nyaris tanpa corak atau polos, grade B adalah piring setengah bermotif, dan grade C adalah piring dengan banyak motif.
“Secara kualitas tidak ada perbedaan sama sekali di antara 3 grade tersebut. Warna dan coraknya benar-benar tergantung pada pelepah pinang yang kita dapatkan. Rata-rata konsumen menyukai piring yang bermotif seperti serat kayu alami. Harga piring yang bermotif dikenai harga sedikit lebih mahal, karena tampilannya lebih bagus. Tapi, selisihnya hanya Rp 500, kok,” jelas Ayu.
5. Solusi ekonomi dan lingkungan
Dalam mengerjakan piring pelepah pinang ini, setiap desa memiliki rumah produksi. Lima belas orang dari tiap desa memproduksi piring secara swadaya. Tugas mereka terbagi-bagi, Seperti perusahaan kecil, ada yang bekerja di bagian produksi untuk mencetak pelepah dan ada yang bertanggung jawab di bagian pemasaran.
“Inovasi piring pelepah pinang ini telah meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya di tengah berbagai pembatasan terkait penanggulangan pandemi Covid-19. Di samping itu, kedua desa ini mendapatkan ancaman konversi lahan,” kata Asrul Aziz Sigalingging, Koordinator Project KKI Warsi.
Asrul juga mengatakan dengan membeli piring pelepah pinang, konsumen bisa membantu dari sisi ekonomi dan ekologi. Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, konsumen akan berkontribusi secara langsung terhadap penyelamatan lingkungan.
“Ada wacana bahwa komoditas pinang yang ramah gambut ini akan dialihkan menjadi komoditas tidak ramah gambut, seperti sawit. Jika telah mendapatkan penghasilan tambahan dari piring pelepah, para petani bisa tetap menanam pohon pinang dan tetap menjaga kelestarian ekosistem gambut, khususnya di wilayah Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh,” jelasnya.
Editor: Fajar Sidik
Namun, sebuah inovasi yang bisa membantu mengatasi permasalahan tersebut dilakukan oleh beberapa warga Desa Sinar Wajo dan Desa Sungai Beras Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, dengan membuat piring pelepah pinang.
Mereka tergabung dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), yaitu KUPS Lojo’ Kleppaa dan KUPS Kodopi Mitra Madani untuk mengembangkan inovasi piring pelepah pinang semenjak usaha menjual pinang yang dilakukan kian menurun semenjak pandemi terjadi di Indonesia.
Selain itu, Komunitas Konservasi Indonesia- Warung Informasi Konservasi (KKI Warsi) juga melakukan pendampingan terhadap pengembangan produk tersebut dan membuka kerja sama dengan Rumah Jambee, salah satu unit usaha piring pelepah pinang di Jambi.
“Kami memberi pelatihan terkait proses pembuatan piring, termasuk cara menggunakan alat untuk mencetak, sehingga masyarakat bisa langsung praktik,” kata Fasilitator Komunitas dan Kabupaten KKI Warsi Ayu Shafira dalam keterangan resmi.
Untuk mengetahui lebih lanjut, simak yuk 5 fakta piring pelepah pinang yang perlu kamu ketahui.
1. Solusi limbah pelepah
Perkebunan pinang memang mendominasi area Desa Sinar Wajo dan Desa Sungai Beras Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, sehingga masyarakat mengandalkan pinang sebagai pendapatan. Meskipun begitu, sampah pelepah pinang yang dihasilkan juga banyak. Jika pelepah itu dibiarkan berserakan di perkebunan dan kemudian mengering, saat musim kemarau sampah pelepah itu jadi mudah terbakar. Hal ini berbahaya karena bisa memicu kebakaran lahan.
“Ketika inovasi piring pelepah pinang dikembangkan, petani diuntungkan. Mereka tidak harus membersihkan area perkebunan dari pelepah yang setiap hari berjatuhan dan mengotori kebun. Perajin boleh mengambil dan memanfaatkan limbah pelepah itu sebagai bahan baku, tanpa harus membayar sedikit pun. Jadi, bahan baku yang begitu berlimpah bisa didapatkan secara gratis,” kata Ayu.
Untuk membuat piring, pelepah pinang yang baru jatuh sekitar satu-dua hari diambil, lalu dicuci dengan sabun pencuci piring yang aman untuk bahan makanan, lalu dijemur selama kurang lebih 3–4 jam. Setelah pelepah kering, piring dicetak dengan alat mesin molding hot press dengan suhu 120 derajat celcius. Satu menit kemudian, piring sudah siap digunakan.
Dalam proses pembuatannya, perajin tidak menggunakan bahan kimia sama sekali. Piringnya pun lebih kokoh daripada piring kertas, karena pelepah pinang memang tebal dan berlapis lilin. Pengeringannya pun mengandalkan sinar matahari.
“Piring ini juga tahan lama. Jika sudah dijemur hingga benar-benar kering, tidak akan berjamur sama sekali, meski disimpan di dalam lemari tertutup. Jika sudah selesai digunakan, piring bisa dibuang seperti membuang daun pisang. Dia akan terurai di alam tanpa merusak lingkungan,” kata Ayu.
Piring pelepah pinang (Dok. KKI Warsi)
2. Bisa dipakai ulang
Konsep piring ini memang bukan satu kali pakai. Artinya, konsumen bisa menggunakannya berulang hingga maksimal 8 kali. Oleh karena itu, piring pelepah pinang dinilai bisa menggeser posisi styrofoam.
“Namun, hal ini juga tergantung pada proses pencucian. Kalau piring direndam, kemungkinan besar serat piring akan melunak, karena air masuk ke celah-celah piring, sehingga tidak lagi kokoh. Lebih baik dibasuh menggunakan air, tanpa direndam dahulu. Juga tidak perlu digosok terlalu keras dengan sabun,” kata Ayu.
Tidak hanya bisa digunakan untuk makanan yang kering, misalnya gorengan, kekuatan piring pelepah pinang juga serupa dengan styrofoam, yaitu bisa untuk menyajikan makanan berkuah .
3. Harga terjangkau
Sejak mulai menekuni usaha piring pelepah pinang pada November 2020, hingga April 2021 kedua desa tersebut sudah berhasil menjual sekitar 400 buah piring. Harga satu buah piring berkisar antara Rp 5.000 – Rp 6.000.
Ayu menjelaskan, jika piring tersebut ingin dibentuk seperti styrofoam yang tertutup, artinya memerlukan dua buah piring pelepah yang kemudian ditangkupkan. Itu berarti harganya bisa menjadi dua kali lipat. Harga ini masih terbilang murah, jika dibandingkan harga piring dengan bahan yang sama yang dipasarkan melalui toko online. Ayu mengaku pernah menemukan piring yang sama dijual seharga Rp16.000 di Bali.
Salah satu pengrajin piring pelepah pinang (Dok. Upih Pinang/Instagram)
Piring yang dipasarkan kini juga tersedia dalam berbagai ukuran dan bentuk. Ada yang persegi panjang dan berbentuk bundar dalam diameter berbeda-beda. Dari segi warna, piring tersebut terbagi menjadi 3 grade, yaitu A, B, dan C. Grade A adalah piring nyaris tanpa corak atau polos, grade B adalah piring setengah bermotif, dan grade C adalah piring dengan banyak motif.
“Secara kualitas tidak ada perbedaan sama sekali di antara 3 grade tersebut. Warna dan coraknya benar-benar tergantung pada pelepah pinang yang kita dapatkan. Rata-rata konsumen menyukai piring yang bermotif seperti serat kayu alami. Harga piring yang bermotif dikenai harga sedikit lebih mahal, karena tampilannya lebih bagus. Tapi, selisihnya hanya Rp 500, kok,” jelas Ayu.
5. Solusi ekonomi dan lingkungan
Dalam mengerjakan piring pelepah pinang ini, setiap desa memiliki rumah produksi. Lima belas orang dari tiap desa memproduksi piring secara swadaya. Tugas mereka terbagi-bagi, Seperti perusahaan kecil, ada yang bekerja di bagian produksi untuk mencetak pelepah dan ada yang bertanggung jawab di bagian pemasaran.
“Inovasi piring pelepah pinang ini telah meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya di tengah berbagai pembatasan terkait penanggulangan pandemi Covid-19. Di samping itu, kedua desa ini mendapatkan ancaman konversi lahan,” kata Asrul Aziz Sigalingging, Koordinator Project KKI Warsi.
Asrul juga mengatakan dengan membeli piring pelepah pinang, konsumen bisa membantu dari sisi ekonomi dan ekologi. Selain meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, konsumen akan berkontribusi secara langsung terhadap penyelamatan lingkungan.
“Ada wacana bahwa komoditas pinang yang ramah gambut ini akan dialihkan menjadi komoditas tidak ramah gambut, seperti sawit. Jika telah mendapatkan penghasilan tambahan dari piring pelepah, para petani bisa tetap menanam pohon pinang dan tetap menjaga kelestarian ekosistem gambut, khususnya di wilayah Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh,” jelasnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.