Menengok Sensitivitas Perempuan dalam Balutan Karya di Pentas Buku Foto 2025
27 January 2025 |
22:00 WIB
Banyak media yang bisa digunakan para perempuan untuk menyampaikan kegelisahannya yang sulit terucap lewat kata-kata. Salah satunya melalui fotografi atau foto zine, seperti terlihat dalam Pentas Buku Foto 2025 yang digagas Yayasan Riset Visual mataWaktu dan Gueari Galeri.
Berlangsung pada 24 Januari-15 Februari 2025 di Tabir mataWaktu, ITC Fatmawati, Jakarta, pengunjung bisa menikmati visualisasi potret narasi personal hingga isu sosial, termasuk dari tangan para fotografer wanita, yang dibalut dalam buku foto.
Ya, dari 35 pameris, setidaknya ada 10 fotografer wanita yang menampilkan buku foto atau karya zein fotonya di ajang Pentas Buku Foto bertajuk Merajut Dialog Antarbudaya, Melampaui Batas Geografis itu.
Baca juga: Mendekatkan Seni & Sejarah pada Anak Lewat Pameran Pola-pola Bejana di KiN Space
Rika Panda, inisiator pelibatan karya lokal untuk Pentas Buku Foto 2025, mengatakan antusiasme perempuan untuk terjun di dunia fotografi semakin tinggi, seiring pemahaman profesi ini tidak hanya fokus di dunia jurnalistik. Ketika fotografi lebih membumi, ditambah teknologi pencitraan yang terus berevolusi, mereka bisa memanfaatkannya sebagai media untuk berekspresi.
“Perempuan lebih berani untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran mereka. Mereka abadikan dalam sebuah bentuk foto atau akhirnya jadi buku,” ujarnya kepada Hypeabis.id, beberapa waktu lalu.
Dia menerangkan, karya foto biasanya tercipta dari pemikiran, kerisauan, atau hal-hal yang mengganggu pikiran, lalu ingin disuarakan dan menimbulkan kesadaran hingga solusi dari mereka yang melihatnya. Dari perspektif perempuan, Panda berpendapat kaum hawa memiliki kepekaan atau sensitivitas lebih personal dan intim. “Perempuan punya kelebihan itu,” tuturnya.
Salah satu sensitivitas perempuan yang tampil dalam Pentas Buku Foto 2025 datang dari karya Puteri Tsamarah Desyanti berjudul Tari Piring - Sebuah Wujud Rasa Syukur. Buku foto yang dibuat remaja asal Padang itu tampil cukup menarik.
Puteri mengulas asal usul, sejarah, perkembangan dari tari ikonik asal Sumatera Barat tersebut, lengkap dengan makna dari setiap gerakan serta atributnya melalui sebuah foto yang begitu presisi. Buku foto ini bisa menjadi panduan sejarah bagi masyarakat Indonesia yang ingin menggali lebih dalam Tari Piring.
Buku foto ini seakan menjadi penyegar ketika buku panduan budaya di sekolah kurang mengulas secara detail mengenai Tari Piring, terlebih melalui sebuah gambar foto. Berawal dari kekaguman dan rasa penasaran dengan kesenian asal tanah kelahirannya tersebut, Puteri melakukan riset mendalam dan menelurkannya dalam sebuah buku foto.
“Ternyata tradisi Tari Piring sudah banyak mengalami eksplorasi gerak. Maka aku lakukan riset. Ternyata Tari Piring tercipta karena sebuah perwujudan rasa syukur atas hasil panen berlimpah,” tuturnya.
Sementara itu, Desyatri Parawahyu Mayangsari dalam karya zein foto berjudul mBrebeki memvisualisasi proses penyembuhan dirinya dari luka batin yang sulit terungkap lewat kata. mBrebeki yang berarti berisik dalam bahasa Jawa merupakan gambaran-gambaran kebisingan yang ada di benaknya selama ini.
“Ini adalah arsip yang saat itu aku gak bisa ngomong sama siapapun, akhirnya aku foto alam, langit, gunung. Gunung itu kokoh tetapi bisa marah dan tetap ada,” tuturnya.
Tidak hanya foto, Desyatri juga menyajikan media seperti kertas yang bisa diremas untuk merepresentasikan keberisikan yang ada di benak. Dia ingin melibatkan pembaca untuk menyalurkan emosi, membuang luka itu, dan melanjutkan hidup.
“Ayo kita buang luka kita untuk kita tetap bisa hidup, walau sesakit apa pun itu, dan enggak mengakhiri hidup kita,” ajak fotografer asal Yogyakarta itu.
Karya perempuan yang menarik lainnya dalam Pentas Buku Foto 2025 datang dari Yoese Mariam berjudul Landep. Buku foto ini hadir dari perbedaan pandangan mengenai keris dari kedua orang tuanya.
Sewaktu sedang mengunjungi salah satu workshop pembuat keris Empu Basuki, Yoese berbincang-bincang dengan penempa keris. Dia diperlihatkan salah satu keris yang tidak terlalu panjang, dan disebut sebagai keris perempuan.
Melihat keris tersebut, Yoese kembali pada ingatan yang akhirnya menjadi puzzle. Tiba di Jakarta, dia mengikuti insting untuk mengunjungi beberapa kota untuk berburu keris, melengkapi kepingan teka-teki dari ingatannya pada masa silam, dan akhirnya terangkum dalam buku foto berjudul Landep yang berarti tajam atau runcing.
Landep meluncur pada Agustus 2024 dan menjadi 10 finalis di Athens Photo Festival. Landep juga sudah tersebar di beberapa toko buku di luar negeri. “Sampai saat ini setelah 4 bulan, sudah 25 persen terjual,” ungkap Yoese.
Baca juga: Menelisik Sejarah Keris di Nusantara, dari Prosesi Ritual hingga Benda Pusaka
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Berlangsung pada 24 Januari-15 Februari 2025 di Tabir mataWaktu, ITC Fatmawati, Jakarta, pengunjung bisa menikmati visualisasi potret narasi personal hingga isu sosial, termasuk dari tangan para fotografer wanita, yang dibalut dalam buku foto.
Ya, dari 35 pameris, setidaknya ada 10 fotografer wanita yang menampilkan buku foto atau karya zein fotonya di ajang Pentas Buku Foto bertajuk Merajut Dialog Antarbudaya, Melampaui Batas Geografis itu.
Baca juga: Mendekatkan Seni & Sejarah pada Anak Lewat Pameran Pola-pola Bejana di KiN Space
Rika Panda, inisiator pelibatan karya lokal untuk Pentas Buku Foto 2025, mengatakan antusiasme perempuan untuk terjun di dunia fotografi semakin tinggi, seiring pemahaman profesi ini tidak hanya fokus di dunia jurnalistik. Ketika fotografi lebih membumi, ditambah teknologi pencitraan yang terus berevolusi, mereka bisa memanfaatkannya sebagai media untuk berekspresi.
“Perempuan lebih berani untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran mereka. Mereka abadikan dalam sebuah bentuk foto atau akhirnya jadi buku,” ujarnya kepada Hypeabis.id, beberapa waktu lalu.
Rika Panda. (Sumber gambar: Nadhif Alwan/Hypeabis.id)
Salah satu sensitivitas perempuan yang tampil dalam Pentas Buku Foto 2025 datang dari karya Puteri Tsamarah Desyanti berjudul Tari Piring - Sebuah Wujud Rasa Syukur. Buku foto yang dibuat remaja asal Padang itu tampil cukup menarik.
Puteri mengulas asal usul, sejarah, perkembangan dari tari ikonik asal Sumatera Barat tersebut, lengkap dengan makna dari setiap gerakan serta atributnya melalui sebuah foto yang begitu presisi. Buku foto ini bisa menjadi panduan sejarah bagi masyarakat Indonesia yang ingin menggali lebih dalam Tari Piring.
Putri Tsamarah Desyanti. (Sumber gambar: Nadhif Alwan/Hypeabis.id)
“Ternyata tradisi Tari Piring sudah banyak mengalami eksplorasi gerak. Maka aku lakukan riset. Ternyata Tari Piring tercipta karena sebuah perwujudan rasa syukur atas hasil panen berlimpah,” tuturnya.
Sementara itu, Desyatri Parawahyu Mayangsari dalam karya zein foto berjudul mBrebeki memvisualisasi proses penyembuhan dirinya dari luka batin yang sulit terungkap lewat kata. mBrebeki yang berarti berisik dalam bahasa Jawa merupakan gambaran-gambaran kebisingan yang ada di benaknya selama ini.
“Ini adalah arsip yang saat itu aku gak bisa ngomong sama siapapun, akhirnya aku foto alam, langit, gunung. Gunung itu kokoh tetapi bisa marah dan tetap ada,” tuturnya.
Desyatri Parawahyu Mayangsari. (Sumber gambar: Nadhif Alwan/Hypeabis.id)
“Ayo kita buang luka kita untuk kita tetap bisa hidup, walau sesakit apa pun itu, dan enggak mengakhiri hidup kita,” ajak fotografer asal Yogyakarta itu.
Karya perempuan yang menarik lainnya dalam Pentas Buku Foto 2025 datang dari Yoese Mariam berjudul Landep. Buku foto ini hadir dari perbedaan pandangan mengenai keris dari kedua orang tuanya.
Sewaktu sedang mengunjungi salah satu workshop pembuat keris Empu Basuki, Yoese berbincang-bincang dengan penempa keris. Dia diperlihatkan salah satu keris yang tidak terlalu panjang, dan disebut sebagai keris perempuan.
Yoese Mariam dengan buku berjudul ‘Landep’. (Sumber gambar: Desyinta Nuraini/Hypeabis.id)
Landep meluncur pada Agustus 2024 dan menjadi 10 finalis di Athens Photo Festival. Landep juga sudah tersebar di beberapa toko buku di luar negeri. “Sampai saat ini setelah 4 bulan, sudah 25 persen terjual,” ungkap Yoese.
Baca juga: Menelisik Sejarah Keris di Nusantara, dari Prosesi Ritual hingga Benda Pusaka
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.