Tren YONO Gantikan YOLO, Fokus Pada Minimalisme dan Stabilitas Finansial
07 January 2025 |
09:30 WIB
Memasuki 2025, tren gaya hidup mulai bergeser dari konsep YOLO (You Only Live Once) yang menekankan kebebasan dan konsumsi tanpa batas menuju YONO (You Only Need One), sebuah filosofi yang mengedepankan kesederhanaan dan mementingkan kebutuhan esensial.
Pergeseran konsep YOLO ke YONO juga sekaligus menandai pergeseran masyarakat menuju pola hidup minimalis yang fokus pada aspek finansial jangka panjang, serta meninggalkan pemborosan yang lekat dengan gaya hidup maksimalis.
Baca juga: Hypereport: Kesehatan Mental dan Fisik jadi Fokus Utama Gen Z Hadapi Tantangan 2025
Ini bukan sekadar tren, melainkan refleksi dari perubahan pola pikir yang lebih bijaksana dalam menyikapi kehidupan, di mana keseimbangan antara keinginan dan kebutuhan menjadi kunci utama untuk mencapai kebahagiaan dan stabilitas jangka panjang.
Adapun YOLO adalah ungkapan yang mengekspresikan pentingnya menjalani hidup sepenuhnya dan mengambil kesempatan yang ada, karena hidup hanya dijalani sekali. Gaya hidup ini ditandai dengan pola pikir dan tindakan yang menekankan kebebasan, spontanitas, dan eksplorasi tanpa rasa takut terhadap risiko.
Mengutip vanity fair, istilah YOLO dipopulerkan oleh rapper Drake melalui lagunya The Motto yang dirilis pada November 2011. Namun, frasa serupa telah ada sejak lama. Misalnya, dalam novel La Comédie Humaine karya Honoré de Balzac yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1896, terdapat kutipan: "You only live once" yang diucapkan oleh karakter Madame Cibot.
Akronim YOLO telah digunakan sejak tahun 1968. Menurut sebuah artikel Associated Press, beberapa pemilik kapal menamai perahu mereka dengan akronim, salah satunya Yolo yang berarti You Only Live Once. Dengan demikian, meskipun Drake mempopulerkan istilah YOLO dalam budaya modern, konsep dan frasa serupa telah ada dan digunakan dalam berbagai konteks selama lebih dari satu abad.
Orang yang menjalani gaya hidup YOLO ingin menunjukan bahwa mereka hidup di masa kini, menghindari penyesalan, dan berani mencoba hal baru, baik dalam pekerjaan, hobi, maupun aspek kehidupan. Meskipun YOLO bisa membawa kebahagiaan, penting untuk tetap mempertimbangkan tanggung jawab dan keseimbangan hidup agar tidak terjebak dalam keputusan yang merugikan di masa depan.
Gaya hidup ini juga sering kali berkaitan dengan pengeluaran impulsif dan kurangnya perencanaan keuangan jangka panjang, yang dapat merugikan stabilitas finansial. Prinsip 'hidup hanya sekali' mendorong seseorang untuk menghabiskan uang demi pengalaman dan kenikmatan sesaat, seperti traveling, barang mewah, atau hiburan, tanpa mempertimbangkan tabungan atau investasi jangka panjang.
Hal ini sejalan dengan gaya hidup maksimalis yang berfokus pada memiliki dan menikmati segala hal dalam jumlah besar, sehingga dapat memicu konsumsi berlebihan dan utang. Kombinasi YOLO dan gaya hidup maksimalisme dapat menghambat pencapaian tujuan keuangan, menyebabkan krisis finansial, dan memperpanjang ketergantungan pada pendapatan bulanan.
Kini pada 2025, orang-orang mulai mempopulerkan gaya hidup YONO alias You Only Need One yang menekankan kesederhanaan dan minimalisme dengan fokus pada pembelian barang yang benar-benar diperlukan dan berkualitas tinggi, menggunakan bahan ramah lingkungan, serta mendukung ekonomi lokal melalui pembelian produk buatan lokal.
YONO mengajak individu untuk lebih selektif dalam memilih barang dan jasa, mengutamakan kualitas daripada kuantitas, serta mempertimbangkan dampak lingkungan dari konsumsi mereka.
Tren ini berkembang sebagai respons terhadap gaya hidup YOLO yang cenderung mendorong konsumsi berlebihan dan pengeluaran impulsif. Mengutip Maeil Business Newspaper, Gaya hidup YONO berkembang seiring dengan tren low consumption core yang muncul sebagai reaksi terhadap budaya konsumsi impulsif yang didorong oleh tren fear of missing out (FOMO) di media sosial.
Gaya hidup YONO berakar dari konsep minimalisme yang populer di Jepang, seperti Danshari dan Gonmari. Danshari, yang dipopulerkan oleh Hideko Yamashita, menekankan pentingnya melepaskan barang yang tidak diperlukan untuk mencapai ketenangan batin. Sementara Gonmari (Marie Kondo), mengajarkan pentingnya memilah barang berdasarkan apakah benda tersebut ‘memercikkan kegembiraan’ (spark joy).
Adapun di Korea Selatan, YONO menjadi panduan untuk melakukan pengeluaran yang lebih bijaksana, dengan menekankan pentingnya memiliki lebih sedikit barang namun berkualitas tinggi. Tren ini muncul di tengah inflasi yang meningkat, mendorong individu untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan lebih memprioritaskan kebutuhan dasar.
Selain itu YONO juga mempopulerkan tantangan 10.000 Won Challenge di Korea Selatan, yaitu menjalani hidup hanya dengan 10.000 won per hari. Menunjukkan bagaimana seseorang bisa menjalani hidupnya dengan anggaran terbatas tanpa kehilangan kebahagiaannya.
YONO menawarkan solusi dengan mengadopsi gaya hidup minimalis namun tetap bisa stylish dan memiliki fokus pada nilai dan tujuan jangka panjang. Hal ini sejalan dengan kondisi ekonomi global yang sedang dihadapi tantangan kenaikan harga, suku bunga, dan inflasi.
Dengan mengadopsi gaya hidup YONO, individu diajak untuk hidup lebih sederhana, mengurangi konsumsi yang tidak perlu, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, baik untuk kesejahteraan pribadi maupun keberlanjutan lingkungan.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Pergeseran konsep YOLO ke YONO juga sekaligus menandai pergeseran masyarakat menuju pola hidup minimalis yang fokus pada aspek finansial jangka panjang, serta meninggalkan pemborosan yang lekat dengan gaya hidup maksimalis.
Baca juga: Hypereport: Kesehatan Mental dan Fisik jadi Fokus Utama Gen Z Hadapi Tantangan 2025
Ini bukan sekadar tren, melainkan refleksi dari perubahan pola pikir yang lebih bijaksana dalam menyikapi kehidupan, di mana keseimbangan antara keinginan dan kebutuhan menjadi kunci utama untuk mencapai kebahagiaan dan stabilitas jangka panjang.
Adapun YOLO adalah ungkapan yang mengekspresikan pentingnya menjalani hidup sepenuhnya dan mengambil kesempatan yang ada, karena hidup hanya dijalani sekali. Gaya hidup ini ditandai dengan pola pikir dan tindakan yang menekankan kebebasan, spontanitas, dan eksplorasi tanpa rasa takut terhadap risiko.
Mengutip vanity fair, istilah YOLO dipopulerkan oleh rapper Drake melalui lagunya The Motto yang dirilis pada November 2011. Namun, frasa serupa telah ada sejak lama. Misalnya, dalam novel La Comédie Humaine karya Honoré de Balzac yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1896, terdapat kutipan: "You only live once" yang diucapkan oleh karakter Madame Cibot.
Akronim YOLO telah digunakan sejak tahun 1968. Menurut sebuah artikel Associated Press, beberapa pemilik kapal menamai perahu mereka dengan akronim, salah satunya Yolo yang berarti You Only Live Once. Dengan demikian, meskipun Drake mempopulerkan istilah YOLO dalam budaya modern, konsep dan frasa serupa telah ada dan digunakan dalam berbagai konteks selama lebih dari satu abad.
Orang yang menjalani gaya hidup YOLO ingin menunjukan bahwa mereka hidup di masa kini, menghindari penyesalan, dan berani mencoba hal baru, baik dalam pekerjaan, hobi, maupun aspek kehidupan. Meskipun YOLO bisa membawa kebahagiaan, penting untuk tetap mempertimbangkan tanggung jawab dan keseimbangan hidup agar tidak terjebak dalam keputusan yang merugikan di masa depan.
Gaya hidup ini juga sering kali berkaitan dengan pengeluaran impulsif dan kurangnya perencanaan keuangan jangka panjang, yang dapat merugikan stabilitas finansial. Prinsip 'hidup hanya sekali' mendorong seseorang untuk menghabiskan uang demi pengalaman dan kenikmatan sesaat, seperti traveling, barang mewah, atau hiburan, tanpa mempertimbangkan tabungan atau investasi jangka panjang.
Hal ini sejalan dengan gaya hidup maksimalis yang berfokus pada memiliki dan menikmati segala hal dalam jumlah besar, sehingga dapat memicu konsumsi berlebihan dan utang. Kombinasi YOLO dan gaya hidup maksimalisme dapat menghambat pencapaian tujuan keuangan, menyebabkan krisis finansial, dan memperpanjang ketergantungan pada pendapatan bulanan.
Kini pada 2025, orang-orang mulai mempopulerkan gaya hidup YONO alias You Only Need One yang menekankan kesederhanaan dan minimalisme dengan fokus pada pembelian barang yang benar-benar diperlukan dan berkualitas tinggi, menggunakan bahan ramah lingkungan, serta mendukung ekonomi lokal melalui pembelian produk buatan lokal.
YONO mengajak individu untuk lebih selektif dalam memilih barang dan jasa, mengutamakan kualitas daripada kuantitas, serta mempertimbangkan dampak lingkungan dari konsumsi mereka.
Tren ini berkembang sebagai respons terhadap gaya hidup YOLO yang cenderung mendorong konsumsi berlebihan dan pengeluaran impulsif. Mengutip Maeil Business Newspaper, Gaya hidup YONO berkembang seiring dengan tren low consumption core yang muncul sebagai reaksi terhadap budaya konsumsi impulsif yang didorong oleh tren fear of missing out (FOMO) di media sosial.
Tren Baru dari Jepang hingga Korea Selatan
Gaya hidup YONO berakar dari konsep minimalisme yang populer di Jepang, seperti Danshari dan Gonmari. Danshari, yang dipopulerkan oleh Hideko Yamashita, menekankan pentingnya melepaskan barang yang tidak diperlukan untuk mencapai ketenangan batin. Sementara Gonmari (Marie Kondo), mengajarkan pentingnya memilah barang berdasarkan apakah benda tersebut ‘memercikkan kegembiraan’ (spark joy).Adapun di Korea Selatan, YONO menjadi panduan untuk melakukan pengeluaran yang lebih bijaksana, dengan menekankan pentingnya memiliki lebih sedikit barang namun berkualitas tinggi. Tren ini muncul di tengah inflasi yang meningkat, mendorong individu untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan lebih memprioritaskan kebutuhan dasar.
Selain itu YONO juga mempopulerkan tantangan 10.000 Won Challenge di Korea Selatan, yaitu menjalani hidup hanya dengan 10.000 won per hari. Menunjukkan bagaimana seseorang bisa menjalani hidupnya dengan anggaran terbatas tanpa kehilangan kebahagiaannya.
YONO menawarkan solusi dengan mengadopsi gaya hidup minimalis namun tetap bisa stylish dan memiliki fokus pada nilai dan tujuan jangka panjang. Hal ini sejalan dengan kondisi ekonomi global yang sedang dihadapi tantangan kenaikan harga, suku bunga, dan inflasi.
Dengan mengadopsi gaya hidup YONO, individu diajak untuk hidup lebih sederhana, mengurangi konsumsi yang tidak perlu, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, baik untuk kesejahteraan pribadi maupun keberlanjutan lingkungan.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.