Bisnis Florist, Merangkai Cuan dari Perayaan Pesta hingga Kedukaan
09 December 2024 |
15:34 WIB
Karangan bunga telah lama menjadi simbol yang dianggap cukup penting untuk melengkapi berbagai perayaan dan pesta. Tidak hanya sebagai simbol estetika, seni merangkai bunga juga dapat menjadi ladang bisnis kreatif dengan potensi cuan yang cukup menjanjikan.
Tamara Cynthia Chandra (27) membidik peluang usaha sebagai perangkai bunga (florist) sejak 9 tahun lalu dan memulai bisnisnya dengan merek TCC Florist di Bandung. Awalnya, dia coba-coba menerima pesanan membuat bucket dari teman-teman SMA-nya dan justru kebanjiran order dari sana.
Semua dimulainya secara otodidak. Bakat seni Tamara dikolaborasikan dengan video tutorial YouTube sebagai modal awal, membuat usaha yang dirintisnya itu mampu meraup pendapatan kotor berkisar Rp50 juta-Rp100 juta per bulannya.
Baca juga: Melirik Potensi dan Peluang Bisnis Tanaman Hias di Indonesia
TCC Florist menyediakan jenis fresh flower dan kombinasi antara dried dan preserved flower. “Dried itu bunga asli dikeringkan. Preserved flowers itu bunga diawetkan dengan teknik khusus dan bantuan mesin,” ujarnya.
Tamara menjelaskan, salah satu kerumitan proses pengawetan itu justru yang membuat harganya melambung tinggi. Sebagai contoh, mawar asli memiliki modal sekitar Rp5.000. Jika diawetkan, harganya menjadi Rp50.000.
TCC juga menjadi florist pertama di Bandung yang membawa terobosan jenis bunga ini. Meski dia pun merasakan tren pasar florist di dalam negeri selalu berubah. “Contoh kemarin sempet naik jar flowers, dried flowers karena ada di drakor sampai tren desain pita-pita,” ucapnya.
Adapun stok bunga TCC banyak diisi dengan bunga impor dari berbagai negara seperti China, Belanda dan Ekuador. Sementara stok bahan lain seperti kertas, plastik wrap hingga pita diambilnya dari pemasok lokal di e-commerce.
Salah satu kerja sama merek yang dilakukan TCC terjalin dengan merek kue lokal asal Bandung bernama Peach of Cake. Kolaborasi TCC X POC ini menghadirkan produk berupa kue dengan rangkaian bunga di atasnya sebagai kado hantaran acara tertentu.
Soal jatuh bangun, Tamara bersyukur memilih bertahan dengan merek florist yang telah menghadapi pasang surut dalam hampir satu dekade ini. Merek TCC pun hampir dibeli orang, dan sempat mandek karena dia harus melanjutkan sekolah ke luar negeri, serta ada kebimbangan Tamara antara memilih melanjutkan bisnis atau hidup sebagai pekerja kantoran.
“Selama pandemi kemarin sangat bersyukur, TCC justru jaya. Aku enggak sadar ternyata dari situasi itu, aku banyak terima orderan bunga kedukaan,” kata Tamara.
Selain Tamara, pebisnis karangan bunga lainnya, Eva Yurnia Sari (23) juga memiliki cerita yang sama menariknya. Dia membangun merek We Floristin di Lampung sejak 2021 yang semula hanya dikenalkan oleh temannya yang sudah lebih dulu berjualan bunga. “Seiring waktu, usaha inipun mulai berkembang. Akhirnya saya memutuskan resign dari Alfamart,” ucap Eva.
Dia memilih bisnis menyediakan berbagai macam bucket bunga artificial, hantaran, hingga mahar acara pernikahan.
Pada tahap awal, dia sempat merasa kesulitan mencari pemasok yang cocok, hingga akhirnya bahan bunganya dapat dipenuhi dari pasar daring. “Jika di toko online stok kosong atau tidak ada, biasanya saya cari di toko offline. Meskipun harganya lebih mahal,” lanjutnya.
Penjualan We Floristin dilakukan mulai dari promosi daring menggunakan marketplace, Facebook, dan Instagram sampai perlahan berhasil membangun toko fisik sendiri.
Pendapatan Eva setiap bulan ditaksir mencapai Rp2 juta-Rp5 juta untuk bulan-bulan normal. “Namun jika ada event seperti musim perpisahan/wisuda, bisa mencapai Rp30 juta lebih sebulan,” ucapnya.
Eva bercerita bahwa salah satu pengalaman yang berkesan adalah menerima pesanan dengan budget Rp1 juta tanpa permintaan khusus. Meski demikian, dia mengakui saat ini bisnisnya lebih menantang lantaran sudah terlalu banyak pesaing usaha sejenis.
Pebisnis karangan bunga lainnya adalah Rebecca Jansen (28), yang memulai The Blooming Fae sejak 2022 di Bandung sebagai usaha sampingannya. “Saya iseng mengambil kursus bunga. Ini memberi saya rasa relaksasi dan hidup lebih slow living,” kata Rebecca.
Agak unik, Rebecca menjalankan bisnis dengan visi keberlanjutan. Dia berupaya seminim mungkin menggunakan produk kertas sebagai pembungkus untuk membuat rangkaian bunga.
Dia menyediakan fresh, preserved sampai artificial flowers dengan fokus terbesar yakni fresh flowers. “Pilihan ini kami ambil karena sejalan dengan komitmen kami untuk lebih sustainable,” ujarnya.
Beragam bentuk dapat dipilih seperti hand bouquet, vas bouquet, hingga small decor untuk acara intim seperti lamaran, photoshoot atau intimate gathering. Baginya, mencari keunikan adalah tantangan terbesar menjalankan usaha ini, di samping menjaga reputasi dan kepercayaan terhadap mereknya.
Untuk stok bunga, Rebecca mengandalkan dari pasar bunga lokal, dan bunga impor sebagai pelengkap, serta bunga hasil panen sendiri.
Namun, dia enggan merinci estimasi usahnaya. Sebagai gambaran, dia menyebut bahwa setiap satu kali terlibat dengan brand maupun event, dipatok ratecard mulai dari jutaan hingga belasan juta rupiah. Salah satu momen berkesan adalah menerima pesanan wedding bucket seluruhnya bunga impor dalam waktu singkat.
“Jika beberapa bunga tidak tersedia, saya harus berkreasi dengan bunga yang ada untuk menyerupai bunga impor tersebut, baik dari segi bentuk, tekstur, maupun warnanya,” tutup Rebecca.
Baca juga: Ide Bisnis Dadakan Jelang Tahun Baru 2025
Tamara bercerita salah satu fakta unik florist adalah memiliki fase mati suri (minim orderan). Adapun fase mati suri ini biasanya terjadi pada bulan puasa setiap tahunnya.“Nanti mulai naik lagi pas Mei, pas anak sekolah kelulusan, lalu pada bulan-bulan wisudaan, terus Natal dan awal tahun sampai Imlek,” ujar Tamara.
Sementara itu, Eva dan Rebecca sepakat bahwa musim wisuda, perpisahan, valentine, dan hari ibu adalah fase puncak pesanan karangan bunga yang biasanya melonjak.
Editor: Fajar Sidik
Tamara Cynthia Chandra (27) membidik peluang usaha sebagai perangkai bunga (florist) sejak 9 tahun lalu dan memulai bisnisnya dengan merek TCC Florist di Bandung. Awalnya, dia coba-coba menerima pesanan membuat bucket dari teman-teman SMA-nya dan justru kebanjiran order dari sana.
Semua dimulainya secara otodidak. Bakat seni Tamara dikolaborasikan dengan video tutorial YouTube sebagai modal awal, membuat usaha yang dirintisnya itu mampu meraup pendapatan kotor berkisar Rp50 juta-Rp100 juta per bulannya.
Baca juga: Melirik Potensi dan Peluang Bisnis Tanaman Hias di Indonesia
TCC Florist menyediakan jenis fresh flower dan kombinasi antara dried dan preserved flower. “Dried itu bunga asli dikeringkan. Preserved flowers itu bunga diawetkan dengan teknik khusus dan bantuan mesin,” ujarnya.
Tamara menjelaskan, salah satu kerumitan proses pengawetan itu justru yang membuat harganya melambung tinggi. Sebagai contoh, mawar asli memiliki modal sekitar Rp5.000. Jika diawetkan, harganya menjadi Rp50.000.
TCC juga menjadi florist pertama di Bandung yang membawa terobosan jenis bunga ini. Meski dia pun merasakan tren pasar florist di dalam negeri selalu berubah. “Contoh kemarin sempet naik jar flowers, dried flowers karena ada di drakor sampai tren desain pita-pita,” ucapnya.
Adapun stok bunga TCC banyak diisi dengan bunga impor dari berbagai negara seperti China, Belanda dan Ekuador. Sementara stok bahan lain seperti kertas, plastik wrap hingga pita diambilnya dari pemasok lokal di e-commerce.
Salah satu kerja sama merek yang dilakukan TCC terjalin dengan merek kue lokal asal Bandung bernama Peach of Cake. Kolaborasi TCC X POC ini menghadirkan produk berupa kue dengan rangkaian bunga di atasnya sebagai kado hantaran acara tertentu.
Soal jatuh bangun, Tamara bersyukur memilih bertahan dengan merek florist yang telah menghadapi pasang surut dalam hampir satu dekade ini. Merek TCC pun hampir dibeli orang, dan sempat mandek karena dia harus melanjutkan sekolah ke luar negeri, serta ada kebimbangan Tamara antara memilih melanjutkan bisnis atau hidup sebagai pekerja kantoran.
“Selama pandemi kemarin sangat bersyukur, TCC justru jaya. Aku enggak sadar ternyata dari situasi itu, aku banyak terima orderan bunga kedukaan,” kata Tamara.
Selain Tamara, pebisnis karangan bunga lainnya, Eva Yurnia Sari (23) juga memiliki cerita yang sama menariknya. Dia membangun merek We Floristin di Lampung sejak 2021 yang semula hanya dikenalkan oleh temannya yang sudah lebih dulu berjualan bunga. “Seiring waktu, usaha inipun mulai berkembang. Akhirnya saya memutuskan resign dari Alfamart,” ucap Eva.
Dia memilih bisnis menyediakan berbagai macam bucket bunga artificial, hantaran, hingga mahar acara pernikahan.
Pada tahap awal, dia sempat merasa kesulitan mencari pemasok yang cocok, hingga akhirnya bahan bunganya dapat dipenuhi dari pasar daring. “Jika di toko online stok kosong atau tidak ada, biasanya saya cari di toko offline. Meskipun harganya lebih mahal,” lanjutnya.
Penjualan We Floristin dilakukan mulai dari promosi daring menggunakan marketplace, Facebook, dan Instagram sampai perlahan berhasil membangun toko fisik sendiri.
Pendapatan Eva setiap bulan ditaksir mencapai Rp2 juta-Rp5 juta untuk bulan-bulan normal. “Namun jika ada event seperti musim perpisahan/wisuda, bisa mencapai Rp30 juta lebih sebulan,” ucapnya.
Eva bercerita bahwa salah satu pengalaman yang berkesan adalah menerima pesanan dengan budget Rp1 juta tanpa permintaan khusus. Meski demikian, dia mengakui saat ini bisnisnya lebih menantang lantaran sudah terlalu banyak pesaing usaha sejenis.
Pebisnis karangan bunga lainnya adalah Rebecca Jansen (28), yang memulai The Blooming Fae sejak 2022 di Bandung sebagai usaha sampingannya. “Saya iseng mengambil kursus bunga. Ini memberi saya rasa relaksasi dan hidup lebih slow living,” kata Rebecca.
Agak unik, Rebecca menjalankan bisnis dengan visi keberlanjutan. Dia berupaya seminim mungkin menggunakan produk kertas sebagai pembungkus untuk membuat rangkaian bunga.
Dia menyediakan fresh, preserved sampai artificial flowers dengan fokus terbesar yakni fresh flowers. “Pilihan ini kami ambil karena sejalan dengan komitmen kami untuk lebih sustainable,” ujarnya.
Beragam bentuk dapat dipilih seperti hand bouquet, vas bouquet, hingga small decor untuk acara intim seperti lamaran, photoshoot atau intimate gathering. Baginya, mencari keunikan adalah tantangan terbesar menjalankan usaha ini, di samping menjaga reputasi dan kepercayaan terhadap mereknya.
Untuk stok bunga, Rebecca mengandalkan dari pasar bunga lokal, dan bunga impor sebagai pelengkap, serta bunga hasil panen sendiri.
Namun, dia enggan merinci estimasi usahnaya. Sebagai gambaran, dia menyebut bahwa setiap satu kali terlibat dengan brand maupun event, dipatok ratecard mulai dari jutaan hingga belasan juta rupiah. Salah satu momen berkesan adalah menerima pesanan wedding bucket seluruhnya bunga impor dalam waktu singkat.
“Jika beberapa bunga tidak tersedia, saya harus berkreasi dengan bunga yang ada untuk menyerupai bunga impor tersebut, baik dari segi bentuk, tekstur, maupun warnanya,” tutup Rebecca.
Baca juga: Ide Bisnis Dadakan Jelang Tahun Baru 2025
Tamara bercerita salah satu fakta unik florist adalah memiliki fase mati suri (minim orderan). Adapun fase mati suri ini biasanya terjadi pada bulan puasa setiap tahunnya.“Nanti mulai naik lagi pas Mei, pas anak sekolah kelulusan, lalu pada bulan-bulan wisudaan, terus Natal dan awal tahun sampai Imlek,” ujar Tamara.
Sementara itu, Eva dan Rebecca sepakat bahwa musim wisuda, perpisahan, valentine, dan hari ibu adalah fase puncak pesanan karangan bunga yang biasanya melonjak.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.