Peringkat Daya Saing Digital Indonesia Naik 2 Tingkat, Tapi Masih Banyak PR
14 November 2024 |
18:46 WIB
Peringkat daya saing digital Indonesia terus mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Menurut laporan riset institut akademik independen IMD bertajuk World Digital Competitiveness Ranking (WDCR) 2024, peringkat daya saing digital Indonesia naik dua peringkat ke posisi 43 dunia, dari total 67 negara yang diukur dalam riset.
Pada tahun lalu, Indonesia berada di peringkat 45 dunia. Menurut catatan IMD, dalam lima tahun terakhir, daya saing digital Indonesia tercatat terus naik dari posisi 56 pada 2020, 53 (2021), 51 (2022), 45 (2023), dan 43 (2024).
Meski demikian, dibanding sejumlah negara di Asia Tenggara, peringkat Indonesia cukup tertinggal. Indonesia berada di posisi ke-4 dari peringkat teratas negara-negara Asia Tenggara, dan hanya unggul dari Filipina.
Baca juga: 5 Tren Teknologi Era Transformasi Digital, Salah Satunya Inovasi Keberlanjutan
Baca juga: 5 Tren Teknologi Era Transformasi Digital, Salah Satunya Inovasi Keberlanjutan
Negara Asia Tenggara dengan peringkat daya saing digital terbaik dipegang oleh Singapura dengan skor 100. Bahkan, Singapura juga berada di peringkat nomor 1 dunia dengan skor tersebut.
Posisinya disusul oleh Malaysia yang memegang skor 65,5 dan menempati peringkat ke-36 dunia, lalu Thailand dengan skor 65,45 dan menempati peringkat 37 dunia.
Adapun, posisi keempat diisi oleh Indonesia dengan skor 61,36 dan menempati peringkat 43 dunia, diikuti Filipina dengan skor 45,18 yang menempati peringkat 61 dunia.
Di sisi lain, jika dibandingkan dengan sejumlah negara Asia lain, peringkat daya saing digital Indonesia tercatat masih lebih baik dari India yang menempati peringkat 51 dunia, dan Turki yang berada di urutan ke-55. Berdasarkan catatan IMD, peringkat daya saing digital kedua negara ini terus turun dalam lima tahun terakhir.
Kepala Ekonom WCC Christos Cabolis menjelaskan riset IMD WDCR 2024 dilakukan oleh IMD World Competitiveness Center (WCC) berdasarkan data keras dan survei. Untuk mengukur kelebihan dan kekurangan daya saing digital suatu negara, WCC menggunakan 52 kriteria yang digunakan untuk menentukan peringkat.
Faktor-faktor itu lantas dikelompokkan menjadi tiga pilar utama, yaitu pengetahuan, teknologi, dan kesiapan masa depan. Ketiga faktor ini diyakini menjadi penentu tingkat inovasi, inklusi dan transformasi digital suatu negara.
“Untuk meningkatkan daya saing digital, negara harus menyeimbangkan ketiga faktor tersebut,” kata Christos Cabolis dalam keterangan resminya.
Internet Lambat Jadi Persoalan
IMD memaparkan dari 52 kriteria penilaian untuk memeringkatkan daya saing digital suatu negara, kecepatan internet pita lebar Indonesia tergolong sangat lambat dan hanya menempati peringkat 66 dari 67 negara.
Indonesia, tulis laporan IMD, tercatat masih perlu perbaikan untuk meningkatkan jumlah pengguna internet yang kini berada di peringkat 64, lalu pembajakan software (peringkat 63), pendidikan dan pelatihan teknologi (peringkat 63), dan jumlah artikel riset kecerdasan buatan (artificial intellegence/AI) yang terbit di jurnal scopus (63).
Disebutkan bahwa keberhasilan daya saing digital Indonesia naik dua peringkat tahun ini didongkrak oleh tingginya angka investasi teknologi.
Indonesia mencatat prestasi gemilang untuk teknologi dari layanan perbankan dan finansial sebagaimana menempati peringkat 2, investasi telekomunikasi (peringkat 3), dan pemodal ventura (venture capital) untuk perusahaan teknologi yang berada di peringkat 5.
Untuk kesiapan masa depan (future readiness), Indonesia dinilai punya kelincahan bisnis (business agility) yang sukses menempati peringkat 10. Selain itu, masifnya pemanfaatan analisa big data (peringkat 2) turut mengerek naik peringkat Indonesia di antara negara lain di dunia.
Jose Caballero selaku Ekonom Senior WCC menyampaikan isu kesenjangan digital menjadi isu krusial di banyak negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Hal ini, paparnya, terlihat dari rendahnya jumlah pengguna internet broadband yang kemungkinan besar disebabkan oleh tidak meratanya layanan internet di beberapa daerah.
Caballero menambahkan selain tidak meratanya akses internet berkecepatan tinggi, kesenjangan digital yang jadi masalah krusial di 2025 juga terjadi akibat ketersediaan listrik yang tidak dapat diandalkan, dan kurangnya ketersediaan jaringan telekomunikasi modern.
"Ketiadaan akses ini membuat terbatasnya partisipasi warga di pedesaan dan daerah terpencil untuk ikut memanfaatkan ekonomi digital," katanya.
Baca juga: Begini Perilaku & Minat Masyarakat Indonesia Terhadap Investasi Digital
Editor: Puput Ady Sukarno
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.