Ilustrasi secangkir latte | Pexels: by Jason Villanueva

Latte Factor, Alasan Terselubung yang Bikin Gen Z Susah Nabung

06 November 2024   |   13:32 WIB
Image
Aldehead Marinda Merfonsina Uparatu Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Berapa cangkir kopi yang Genhype seruput dalam sehari, seminggu, atau bahkan satu tahun? Pernahkah Genhype mencoba berhitung kira-kira berapa jumlah pengeluaran untuk kopi jika ditotal dalam kurun waktu tertentu.

Salah satu konsep keuangan yang populer dan digagas oleh David Bach dan John Mann berhasil menjelaskan bagaimana kebiasaan membeli barang cenderung murah, jika dilakukan dalam jangka panjang dapat mengakumulasi total pengeluaran yang tidak terduga.

Baca juga: Cara Kelola Keuangan Bagi Generasi Sandwich yang Membuka Usaha

Konsep ini bernama Latte Factor. istilah ini merujuk pada praktik umum masyarakat berupa kegiatan membeli kopi maupun barang tersier murah lain, yang seringkali tidak diperkirakan dalam proses budgeting setiap orang.

Banyak merek franchise kopi lokal yang menjual produk mereka dengan rentang harga bervariasi mulai dari Rp20.000 – Rp 50.000 per gelas, tergantung jenis dan merek dagang kopi itu sendiri.

Jika kita ambil rerata yang paling standar saja yakni Rp20.000 per cangkir dikalikan dengan total 5 hari kerja normal, maka kurang lebih setiap minggu Genhype akan menghabiskan Rp100.000 untuk pengeluaran kopi per minggu, dan Rp400.000 per bulan, serta Rp4,8 juta per tahun sebagai biaya konsumsi nonprimer.

Hal yang sama dapat berlaku untuk produk lain seperti makeup, skincare, rokok, top up game online, hingga aktivasi beragam fitur premium aplikasi digital.

Dilansir dari Forbes, asumsi Bach tentang konsep ini adalah idealnya individu yang berada dalam lingkup kelas ekonomi menengah mampu menginvestasikan 10– 15 persen dari total pendapatannya, jika kita berhasil menghindari bahaya latte factor sehari-hari.

David Bach sendiri mengasumsikan beberapa poin yan terkait dengan konsep latte factor: Pertama, konsep kalkulasi (compounding). Bach melihat bahwa sedikit saja uang yang kita keluarkan, tetapi terus dilakukan secara konsisten dan berulang, sama saja dengan a mountain of cash (gunungan uang) yang terbuang tanpa perencanaan.

Kedua, konsep waktu. Berkaitan dengan poin sebelumnya, Bach menilai bahwa latte factor akan sangat dirasakan ketika tidak menyadarinya dalam kurun waktu yang panjang. Misalnya 10, 20, hingga 30 tahun setelahnya.

Ketiga, konsep pengembalian. Latte factor melihat bahwa lebih berarti investasi dengan nilai return sebesar 1 persen ketimbang minus sekian persen akibat tidak berinvestasi dalam bentuk apapun.

Keempat, persolan kebiasaan (habits). Faktor ini adalah yang paling berbahaya dan sering tidak disadari. Contoh saja, penikmat kopi menganggap bahwa pembelian setiap gelas kopi yang diminum adalah bagian dari kebiasaan dan kecintaannya terhadap kopi. Hal yang berlaku pada konsumer minuman lain seperti teh kekinian, bahkan air mineral kemasan sekalipun.

Baca juga: Apa Itu Doom Spending, Fenomena Keuangan yang Menghantui Generasi Muda

Kesimpulannya, latte factor berusaha menyadarkan kita bahwa sekecil apapun pengeluaran harian itu, jumlahnya akan lebih berharga jika ditabung atau diinvestasikan. Dengan begitu, perencanaan keuangan yang terarah dengan imbal hasil minimal, lebih berimbas positif ketimbang pengeluaran kecil yang tak disadari.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Masuk Musim Hujan, Cek Deretan Tas dari Brand Lokal yang Punya Fitur Tahan Air

BERIKUTNYA

Cek Jadwal Libur Sekolah Semester Ganjil Tahun Ajaran 2024/2025

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: