Genteng House, Rumah Tumbuh Unik di Bekasi yang Memanfaatkan Material Bekas
30 October 2024 |
11:09 WIB
Ada satu rumah unik berdiri di Kota Bekasi, Jawa Barat. Rumah bergaya minimalis modern ini memiliki tampilan fasad yang tak biasa. Deretan genteng beton disusun pada bagian eksterior rumah yang berbentuk seperti persegi. Genteng juga hadir berjajar pada bagian pagar rumah yang menambah sentuhan unik pada desain hunian ini.
Seperti tampilannya, rumah ini diberi nama Genteng House yang dirancang oleh studio arsitektur berbasis di Surabaya-Jakarta, SASO Architecture Interior. Hunian ini merupakan proyek rumah tumbuh yang kontekstual dengan iklim tropis, sekaligus menjadi bangunan dengan zero construction waste.
Arsitektur Andi Subagio bercerita Genteng House adalah rumah dari kliennya yang merupakan keluarga muda yang dibangun pada tahun 2019. Kliennya membeli sebuah lahan seluas 114 meter persegi yang di atasnya masih berdiri bangunan lama yang sudah rusak.
Meski struktur bangunannya rusak, rumah tersebut masih menyimpan beberapa material bangunan yang kondisinya masih bagus, salah satu yang menonjol ialah genteng-genteng beton yang masih kokoh. Plus, sejumlah teralis besi yang masih bisa digunakan kembali.
Baca juga: Begini Rancang Bangun Rumah Tumbuh yang Ideal Menurut Arsitek Cosmas Gozali
Melihat potensi tersebut, Andi dan tim akhirnya memutuskan untuk menggunakan sebagian material bekas tersebut dalam membangun hunian baru. Selain meminimalisir sampah konstruksi, penggunaan material bekas juga menjadi salah satu cara untuk mengurangi bujet pembangunan rumah.
Genteng menjadi material bekas yang cukup mendominasi. Lantaran terbuat dari material beton, diputuskan untuk tidak menggunakan genteng sebagai atap rumah yang dapat memberikan beban berat pada struktur bangunan. Akhirnya, genteng dipilih sebagai secondary skin yang diaplikasikan pada fasad rumah.
Selain menjadi sentuhan eksterior yang unik dan menambah nilai estetis bangunan, penataan genteng pada bagian fasad dimaksudkan untuk mengurangi suhu panas matahari yang masuk ke dalam rumah. Genteng menjadi semacam buffer dari suhu panas sinar UV, sehingga membuat hunian di dalam tetap terasa adem dan nyaman.
"Konteksualitas lokasinya di Bekasi memang tempat yang panas dan padat menduduk. Rumahnya juga kebetulan menghadap ke Barat. Jadi bangunan ini perlu satu tameng sebelum matahari itu punya direct hit ke bangunan, menjadi filter panasnya," katanya saat ditemui Hypeabis.id di Ashta District 8 Jakarta, Selasa (29/10/2024).
Pemanfaatan material bekas tak hanya pada genteng, melainkan juga bahan-bahan lainnya, termasuk keramik lama yang diolah untuk digunakan ulang dengan teknik yang sangat sederhana, teralis jendela yang digunakan sebagai teralis atap inner court, dan kayu-kayu atap yang dimanfaat sebagai perancah.
Terletak di lingkungan perumahan yang sangat padat, rumah tinggal dengan luas bangunan 85 meter persegi ini ingin memberikan kesan terbuka tapi memiliki privasi yang tinggi. Oleh karena itu, Genteng House didesain dengan menggunakan bukaan-bukaan di sekeliling bangunan. Kesan terbuka tapi ditutup dengan pola-pola unik dari genteng lama diaplikasikan pada inner court untuk membatasi visual dari luar masuk ke dalam bangunan.
Meskipun Rumah Genteng berada di lahan yang sempit, hunian ini masih memiliki inner court yang diletakkan tepat di sebelah ruang utama rumah, dengan pembatas pintu kaca yang dapat dibuka secara maksimal. Ketika pintu rumah dibuka, batas luar dan dalam ruang utama menjadi sangat bias.
Layout ruang-ruang dalam bangunan juga didesain sangat compact dan efisien, termasuk desain furnitur meja makan yang dimensinya dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan.
Keliling bangunan juga dibuat tidak menempel dengan tetangga untuk membiarkan cahaya dan udara alami masuk ke dalam bangunan. Area terbuka ditutup dengan material yang permeabel sehingga membuat tanah memiliki kembali daya serapnya.
Dengan penempatan yang baik, ruang dalam rumah menjadi sangat hidup dan menarik. Penataan layout dan perencanaan awal rumah ini disesuaikan juga dengan kemungkinan perkembangan rumah di masa depan alias rumah tumbuh.
Andi menuturkan meski sekarang baru dibangun dengan konsep satu lantai plus satu kamar, Rumah Genteng sudah disiapkan untuk tumbuh menjadi 2 lantai dengan tambahan ruang di lantai atas, tanpa mengganggu aktivitas dan kualitas hidup para penghuni di dalamnya.
Saat proses itu terjadi, penghuni tidak perlu lagi meninggalkan rumah dan terganggu aktivitas sehari-harinya karena akses dan konstruksi bangunan dapat dilakukan tanpa mengganggu ruang-ruang eksisting.
"Jadi pemipaan-pemipaan, juga posisi rencana masa depannya seperti apa tuh sudah kami kerjakan. Jadi itu yang kita kompensasi. Biaya bangunnya harus mempertimbangkan pertumbuhan yang jadinya akan lebih mahal sedikit. Tapi pengadaan materialnya kita diskon nih dari material-material bekas," ucapnya.
Adapun, pembangunan Genteng House memakan biaya sekitar Rp400 juta. Harga tersebut telah dikompensasi dengan keterlibatan tim arsitek dari awal pencarian lahan, kualifikasi potensi penggunaan material bekas dari bangunan lama, serta perancangan desain hunian yang disesuaikan dengan konteks lingkungan, kebutuhan, dan ekonomi penghuni.
"Jadi sebenarnya ini juga advokasi terhadap profesi arsitek, memang penting dari awal untuk kami dilibatkan. Jadi fee-nya mahal atau enggak relatif lah ya. Karena sebenarnya yang dikompensasi adalah services itu, dari awal sampai akhir," ucap Andi.
Genteng House ingin menyampaikan pesan bahwa setiap proyek dapat memiliki nilai tambah yang sangat spesifik dan kontekstual sehingga dapat berperan bagi kualitas kehidupan alam, termasuk manusia yang menghuninya. Pada 2020, Genteng House pun dinominasikan ke dalam ajang Building of the Year yang diselenggarakan oleh media arsitektur internasional ArchDaily.
Baca juga: Origami House, Rumah Karya Arsitek Indonesia Raih Penghargaan di Eropa
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Seperti tampilannya, rumah ini diberi nama Genteng House yang dirancang oleh studio arsitektur berbasis di Surabaya-Jakarta, SASO Architecture Interior. Hunian ini merupakan proyek rumah tumbuh yang kontekstual dengan iklim tropis, sekaligus menjadi bangunan dengan zero construction waste.
Arsitektur Andi Subagio bercerita Genteng House adalah rumah dari kliennya yang merupakan keluarga muda yang dibangun pada tahun 2019. Kliennya membeli sebuah lahan seluas 114 meter persegi yang di atasnya masih berdiri bangunan lama yang sudah rusak.
Meski struktur bangunannya rusak, rumah tersebut masih menyimpan beberapa material bangunan yang kondisinya masih bagus, salah satu yang menonjol ialah genteng-genteng beton yang masih kokoh. Plus, sejumlah teralis besi yang masih bisa digunakan kembali.
Baca juga: Begini Rancang Bangun Rumah Tumbuh yang Ideal Menurut Arsitek Cosmas Gozali
Genteng House. (Sumber gambar: SASO Architecture Interior)
Genteng menjadi material bekas yang cukup mendominasi. Lantaran terbuat dari material beton, diputuskan untuk tidak menggunakan genteng sebagai atap rumah yang dapat memberikan beban berat pada struktur bangunan. Akhirnya, genteng dipilih sebagai secondary skin yang diaplikasikan pada fasad rumah.
Selain menjadi sentuhan eksterior yang unik dan menambah nilai estetis bangunan, penataan genteng pada bagian fasad dimaksudkan untuk mengurangi suhu panas matahari yang masuk ke dalam rumah. Genteng menjadi semacam buffer dari suhu panas sinar UV, sehingga membuat hunian di dalam tetap terasa adem dan nyaman.
"Konteksualitas lokasinya di Bekasi memang tempat yang panas dan padat menduduk. Rumahnya juga kebetulan menghadap ke Barat. Jadi bangunan ini perlu satu tameng sebelum matahari itu punya direct hit ke bangunan, menjadi filter panasnya," katanya saat ditemui Hypeabis.id di Ashta District 8 Jakarta, Selasa (29/10/2024).
Penggunaan material genteng bekas sebagai secondary skin pada Genteng House. (Sumber gambar: SASO Architecture Interior)
Terletak di lingkungan perumahan yang sangat padat, rumah tinggal dengan luas bangunan 85 meter persegi ini ingin memberikan kesan terbuka tapi memiliki privasi yang tinggi. Oleh karena itu, Genteng House didesain dengan menggunakan bukaan-bukaan di sekeliling bangunan. Kesan terbuka tapi ditutup dengan pola-pola unik dari genteng lama diaplikasikan pada inner court untuk membatasi visual dari luar masuk ke dalam bangunan.
Meskipun Rumah Genteng berada di lahan yang sempit, hunian ini masih memiliki inner court yang diletakkan tepat di sebelah ruang utama rumah, dengan pembatas pintu kaca yang dapat dibuka secara maksimal. Ketika pintu rumah dibuka, batas luar dan dalam ruang utama menjadi sangat bias.
Genteng House. (Sumber gambar: SASO Architecture Interior)
Keliling bangunan juga dibuat tidak menempel dengan tetangga untuk membiarkan cahaya dan udara alami masuk ke dalam bangunan. Area terbuka ditutup dengan material yang permeabel sehingga membuat tanah memiliki kembali daya serapnya.
Dengan penempatan yang baik, ruang dalam rumah menjadi sangat hidup dan menarik. Penataan layout dan perencanaan awal rumah ini disesuaikan juga dengan kemungkinan perkembangan rumah di masa depan alias rumah tumbuh.
Genteng House. (Sumber gambar: SASO Architecture Interior)
Saat proses itu terjadi, penghuni tidak perlu lagi meninggalkan rumah dan terganggu aktivitas sehari-harinya karena akses dan konstruksi bangunan dapat dilakukan tanpa mengganggu ruang-ruang eksisting.
"Jadi pemipaan-pemipaan, juga posisi rencana masa depannya seperti apa tuh sudah kami kerjakan. Jadi itu yang kita kompensasi. Biaya bangunnya harus mempertimbangkan pertumbuhan yang jadinya akan lebih mahal sedikit. Tapi pengadaan materialnya kita diskon nih dari material-material bekas," ucapnya.
Adapun, pembangunan Genteng House memakan biaya sekitar Rp400 juta. Harga tersebut telah dikompensasi dengan keterlibatan tim arsitek dari awal pencarian lahan, kualifikasi potensi penggunaan material bekas dari bangunan lama, serta perancangan desain hunian yang disesuaikan dengan konteks lingkungan, kebutuhan, dan ekonomi penghuni.
"Jadi sebenarnya ini juga advokasi terhadap profesi arsitek, memang penting dari awal untuk kami dilibatkan. Jadi fee-nya mahal atau enggak relatif lah ya. Karena sebenarnya yang dikompensasi adalah services itu, dari awal sampai akhir," ucap Andi.
Genteng House ingin menyampaikan pesan bahwa setiap proyek dapat memiliki nilai tambah yang sangat spesifik dan kontekstual sehingga dapat berperan bagi kualitas kehidupan alam, termasuk manusia yang menghuninya. Pada 2020, Genteng House pun dinominasikan ke dalam ajang Building of the Year yang diselenggarakan oleh media arsitektur internasional ArchDaily.
Baca juga: Origami House, Rumah Karya Arsitek Indonesia Raih Penghargaan di Eropa
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.