The Zone of Interest (sumber gambar A24 Studio)

Review The Zone of Interest: Gangguan Audiovisual & Refleksi Sejarah Ala Glazer

02 March 2024   |   15:06 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Penayangan The Zone of Interest secara reguler di layar lebar Indonesia sepertinya patut dirayakan oleh sinefil. Sepulang dari bioskop dalam acara special screening, saya masih 'dihantui' pandangan radikal dari Jonathan Glazer tentang holocaust sebagai salah satu babak sejarah paling mengerikan manusia modern.

Saya sempat berprasangka film ini akan menyuguhkan drama penuh adegan intens dan emosional. Mungkin seperti Schindler's List (1993) atau The Pianist (2002) yang dapat mengaduk-aduk perasaan. Namun, saya kecele. Film adaptasi novel berjudul sama dari Martin Amis ini justru bergerak di luar tafsir itu.

Alih-alih menghadirkan kekejaman yang lugas, Glazer malah menampilkan gangguan-gangguan dari segi visual dan suara. Teror mental dan psikologis terngiang di kepala penonton selama 1 jam 45 menit. The Zone of Interest melompat jauh dalam menarasikan sejarah, dibandingkan film-film sebelumnya. 

Baca juga: Review Serial Mr. & Mrs. Smith di Prime Video, Drama Percintaan dengan Bumbu Elemen Aksi

Tentu, impresi yang timbul dari cerapan setiap orang akan berbeda dari yang lain. Keluar dari bioskop, bahkan saya masih mendengar bisik-bisik atau obrolan dari para penonton. Sebagian besar, mempertanyakan apa yang mereka alami dan rasakan mengenai cara bertutur Glazer yang out of the box

Rudolf Höss (Christian Friedel) adalah komandan konsentrasi Auschwitz yang beristrikan Hedwig (Sandra Hüller). Saat pertama kali muncul di layar, mereka dan kelima anaknya sedang tamasya di tepi sungai. Latar pegunungan hijau, kicau burung, dan keharmonisan keluarga menjadi menu pembuka film ini.
 
 

Selanjutnya, penonton akan diperkenalkan dengan rumah impian mereka. Taman bunga penuh warna. Kolam renang dengan perosotan. Menu makanan yang lezat. Dan tentu saja anak-anak kecil yang mudah diatur. Namun, bangunan surgawi itu berdampingan dengan beton tinggi dari kamp yang dibuat untuk menjalankan genosida.

Selama setengah jam lebih, penonton akan disuguhi rutinitas Höss. Laiknya kepala keluarga yang mencoba hidup normal, dia akan makan siang dan malam bersama istri dan anak. Mendongengi buah hati agar segera terlelap. Berbicara dari hati ke hati bersama Nyonya Höss. Lalu mematikan semua lampu ruangan sebelum tidur. 

Namun, setelah momen itu, banalitas kejahatan jadi kian menguar. Keluarga Höss tidak pernah berkomentar mengenai jeritan kematian atau bau gosong mayat dari kamp pembakaran manusia. Justru penonton yang disuguhi aural tersebut. Terutama lewat pengambilan scene dan suara dari ruang domestik para tokoh, dan eksterior dari kamp.

Korelasi ini makin kental lewat adegan-adegan yang jika dinalar membuat bergidik. Sebab, mereka mengambil untung dari kematian liyan. Hedwig misalnya, memakai mantel bulu halus sembari mematut diri di depan cermin dari salah satu korban genosida. Bahkan, dia memakai lipstik milik korban yang masih tertinggal di saku mantel. 

Kedekatan keluarga ini dengan momen-momen tersebut baru pecah saat ibu Hedwig datang berkunjung. Namun, dia yang pada awalnya dengan bangga memuji hidup anak dan menantunya karena telah toto tentrem kerto raharjo, akhirnya pun lindap. Suara-suara kematian dan bau gosong mayat membuat sang ibu tiba-tiba menghilang. Tidak kuat.

Secara umum, film ini berkisah pada tegangan-tegangan tersebut. Yakni sisi personalitas para tokoh, yang diperankan dengan mulus. Namun, yang patut diacungi jempol tentu saja akting dari Sandra Huller, yang digambarkan sebagai perempuan licin dengan akting yang konsisten. Baik dari cara berjalan, berbicara, hingga tataran psikologisnya.

Kolaborasi antar sinematografer Lukas Zal dan komposer Mica Levi juga tak kalah seru. Lewat mata kamera Zal, dan gubahan nada Levi, penonton akan disuguhi dua bentuk penglihatan. Yaitu tararan visual melalui adegan, dan lainnya melalui suara. Dua tegangan ini terlihat jelas dalam scene permainan piano, yang sayang untuk dilewatkan.

Terobosan unik juga dilakukan Paul Watts dengan menampilkan Auschwitz masa kini. Sipat kuping, narasi film tiba-tiba menampilkan suasana museum yang tengah dibersihkan oleh penjaga. Penonton seolah diberi hidangan penutup yang ganjil, lewat berbagai artefak (koper dan gunungan sepatu) dari 6 juta orang yang saat ini sudah tidak ada. 

Baca juga: Review Film Women From Rote Island, Pahit Getir Perjuangan Kelompok Perempuan

Penggambaran antara masa lalu dan masa depan, yang fiksi dan yang tidak, merefleksikan cara Glazer dalam menampilkan sejarah yang terus tereduksi. Visualisasi antara yang hidup dan yang mati, semiotika penghapusan sejarah lewat mesin penyedot, akhirnya menimbulkan pertanyaan. Apakah memang ingatan manusia semakin lama kian pendek? Demikian adanya.
 


Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Simak Teaser Fim Marni: The Story Of Wewe Gombel yang Diangkat dari Kisah Nyata

BERIKUTNYA

Rekomendasi 8 Warna Cat Trendi 2024 Untuk Kamar Tidur

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: