Ilustrasi bangunan Tongkonan. (Sumber gambar: Marc st/Unsplash)

Mengenal Lebih Dalam Rumah Adat Suku Toraja Tongkonan

11 October 2023   |   17:01 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

Suku Toraja di Sulawesi Selatan, memiliki ragam keunikan pada tradisi dan budaya mereka. Sisi keunikan itu, salah satunya, bisa kita jumpai pada rumah-rumah adat mereka, yang beratap melengkung, dengan ujung-ujung atap miring menyerupai bentuk perahu.

Dikenal dengan nama Tongkonan, rumah adat ini memiliki akar sejarah yang panjang bagi masyarakat Toraja. Bentuk perahu pada atap arsitektur Tongkonan dipengaruhi oleh sejarah nenek moyang mereka yang bermigrasi menggunakan perahu.

Baca juga: 5 Destinasi Wisata Tana Toraja, Eksplorasi Budaya Khas Sulawesi Selatan

Penerapan bentuk ini juga tampak pada hasil produk budaya Toraja lainnya, yakni lakkiang atau tempat persemayaman jenazah saat pesta kematian, dan erong atau wadah kubur, yang masih digunakan oleh sebagian masyarakat setempat.

Menurut jurnal Nilai-Nilai Luhur Arsitektur Rumah Adat Tongkonan Toraja oleh Danang Wahyu Utomo, tongkonan berasal dari bahasa Toraja, yaitu tongkon yang berarti duduk. Dalam pengertian yang luas, tongkonan berarti sebagai tempat mendengar perintah dan petuah dalam menyelesaikan persoalan.

Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tongkonan pada masa lalu berfungsi sebagai pusat pemerintahan adat dan pusat persatuan dari sebuah rumpun keluarga Toraja. Tongkonan juga dibedakan berdasarkan tingkatannya, yaitu tongkonan layuk dan pekamberan sebagai yang tertinggi, disusul dengan tongkonan batu a'riri.

Tongkonan layuk dan pekamberan biasanya difungsikan sebagai pusat kekuasaan adat dalam membina persatuan sebuah rumpun keluarga Toraja. Cirinya harus menggunakan tiang pusat rumah (riri posi), dan pemakaian lambang kekuasaan berupa kepala kerbau (kabongo), yang dipasang pada bagian depan bangunan.

Sementara tongkonan batu a'riri semata dibuat sebagai tempat membina persatuan dan menyelesaikan persoalan di antara anggota keluarga. Oleh karena itu, dalam pendirian tongkonan satu ini, tidak ada persyaratan tertentu. Pada tongkonan batu a'riri yang diukir biasanya dimiliki oleh golongan bangsawan, sedangkan yang sebagian atau tidak berukir dimiliki oleh kelompok masyarakat biasa.
 

f

Ilustrasi bangunan Tongkonan. (Sumber gambar: Heru Heryanto/Unsplash)

Makna Filosofis Arsitektur Tongkonan

Tongkonan merupakan salah satu elemen yang selalu ada di kampung tradisional Toraja. Keberadaan tongkonan juga tidak berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan elemen lainnya yaitu lumbung (alang), halaman (rante), tempat pemakaman (leang), areal pertanian (sawah dan kebun), dan hutan.

Letak tongkonan selalu berhadapan dengan alang dan di antaranya ada rante (tempat upacara) yang cukup luas. Salah satu fungsi penting halaman adalah untuk mengadakan upacara adat seperti rambu solo atau rambu tuka. Pada masa lalu, halaman dan tempat pemakaman selalu berada di sebelah Barat Tongkonan, yang dipercaya berkaitan dengan kematian.

Pendirian sebuah tongkonan sangat berkaitan dengan pola pikir masyarakat yang diwujudkan melalui simbol-simbol, baik dalam penyusunan tata letak, penggunaan fungsi ruangan, maupun pemakaian hiasan pada tongkonan. Simbol-simbol pada tongkonan sangat kaya dengan nilai-nilai luhur dan mencerminkan kepribadian masyarakat pendukungnya.

1. Nilai Persatuan
Membangun dan memelihara sebuah tongkonan merupakan tanggung jawab sebuah rumpun kelurga, mengingat biaya pembuatannya terbilang mahal. Mendirikan tongkonan juga berkorelasi dengan usaha mengumpulkan bahan, dan membutuhkan orang banyak dengan waktu yang lama.

Pengerjaannya terbilang rumit terutama bagian atapnya yang dibuat dari tumpukan bambu berukuran besar. Setelah tongkonan berdiri, dilaksanakan pemberkatan dan upacara syukuran untuk menjamu kerabat dan undangan. Proses tersebut mencerminkan nilai kebersamaan dalam mewujudkan sebuah tongkonan sebagai simbol dari sebuah rumpun keluarga.

Nilai kebersamaan tampak dari sikap gotong royong, baik secara teknis maupun finansial, sehingga meringankan beban dan mempermudah mewujudkan rumah adat tongkonan. Demikian pula dalam pemeliharaan tongkonan, seluruh keluarga dalam sebuah rumpun akan berusaha bersama-sama dan bermusyawarah kapan saatnya memugar.

2. Nilai Filosofis Bangunan
Dalam pendirian tongkonan tidak dapat dipisahkan dari sistem religi masyarakat Toraja. Lebih dari sekadar tempat tinggal, tongkonan juga dipandang sebagai dunia secara mikrokosmos, lantaran semua aktivitas mulai dari awal kehidupan sampai kematian terjadi di bangunan itu.

Arah hadap tongkonan selalu ke utara yang dianggap sebagai arah suci. Begitu pula pada bagian depan atap tongkonan dibuatkan lubang yang bermakna sebagai jalan masuknya berkat dan rahmat dari Puang Matua atau sang pencipta alam semesta. Pada bagian selatan atapnya juga memiliki lubang yang bermakna sebagai tempat melepaskan segala kesusahan. 

Sementara bagian timur tongkonan bermakna sebagai sumber kehidupan yang ditandai adanya jendela, dan bagian barat bermakna sebagai sumber kesedian dimana tempat dilaksanakannya upacara kematian. 

Bentuk arsitektur tongkonan juga memiliki tiga konsep filosofis, yakni dunia atas, tengah, dan bawah. Pada bagian dunia atas diwujudkan dengan susunan atap yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka.

Pada bagian tengah berfungsi untuk tempat aktivitas sehari-hari, dan bagian bawah atau kolong bangunan dianggap sebagai dunia yang kotor dan biasanya berfungsi sebagai kandang ternak.

Adapun, dari segi ukiran bangunan melambangkan simbol-simbol filosofis kebudayaan Toraja, salah satunya ialah pahatan pa'daun bolu, ukiran yang menyerupai daun sirih. Dalam tradisi setempat, daun sirih biasanya digunakan untuk melakukan persembahan kepada dewa-dewa, agar selalu memberkati kehidupan manusia.

3. Nilai Pelestarian Aalam
Masyarakat Toraja dalam membangun sebuah tongkonan banyak memerlukan bahan yang berupa hasil hutan seperti kayu dan bambu. Bagi mereka, selain menyediakan pangan, hutan juga memenuhi kebutuhan akan papan mulai dari tiang rumah, bambu untuk atap, serta rotan dan ijuk untuk tali pengikat.

Itulah sebabnya, agar kayu dan bambu di hutan tidak cepat habis, ada kecenderungan untuk melakukan tebang pilih, yaitu mengambil kayu dan bambu yang sudah dinilai cukup tua dan layak untuk dipakai sebagai bahan baku untuk mendirikan sebuah tongkonan. 

Usaha lain agar hutan tetap terjaga kelestariannya, orang Toraja mempunyai kebiasaan untuk selalu menanam setiap kali mengambil hasil hutan. Kebiasaan ini membuat hutan-hutan di Toraja selalu menyediakan cukup kayu dan bambu untuk dipakai sebagai bahan baku dalam mendirikan sebuah tongkonan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa adat dan tradisi masyarakat Toraja memegang peranan penting dalam mengendalikan kelestarian hutan. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Toraja memiliki komitmen yang tinggi dalam usaha-usaha pelestarian hutan.

Baca juga: Ma'Nene, Upacara Penggantian Pakaian Jenazah di Tana Toraja

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Eksplorasi Baru Yandy Laurens Tanpa Unsur Fantasi di Film JESEDEF

BERIKUTNYA

5 Rekomendasi Krim Stretch Mark untuk Ibu Hamil

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: