Menggali Pilihan Menjadi Single, Bukan Sekadar Takut Komitmen
29 July 2023 |
16:00 WIB
1
Like
Like
Like
Judul ini mungkin masih terasa ekstrem di kebanyakan orang Indonesia yang masih memandang agungnya lembaga pernikahan. Nyatanya, fakta banyaknya bermunculan pendapat ingin tidak menikah memang terjadi, dan menjadi fenomena baru yang mengubah banyak gaya hidup, termasuk konsep menikah.
Indri Wulandari (2015) dalam jurnal Fenomena Sosial Pilihan Hidup Tidak Menikah pada Wanita Karier, misalnya, memaparkan data jajak pendapat di surat kabar Yomuiri Jepang yang mencatat, 7 dari 10 wanita lajang di negeri matahari tersebut yakin mereka benar-benar bahagia dengan hidup sendiri atau tidak menikah. Jumlah mereka terus meningkat rata-rata 10 persen dari tahun ke tahun, apalagi hidup melajang tidak lagi dipandang buruk seperti dulu.
Baca juga: Hypereport: Saat Mereka Memutuskan Tidak Menikah, Trauma Masa Lalu & Realistis
Hasil survei serupa terjadi pula di Jerman. Survei majalah Stern menemukan, lebih dari 80 persen wanita lajang Jerman benar-benar merasa bahagia tanpa suami dan kata mereka, hidup sendiri membuat mereka bebas melakukan semua hal yang diinginkan.
Dari 1.003 sample perempuan, cuma 2 persen yang menyatakan tidak bahagia berstatus lajang, dan 36 persen mengatakan akan tetap melajang karena lebih menyenangkan. Hampir 50 persen dari wanita itu mengatakan lebih suka melajang karena membuat rumah mereka selalu rapi. Angka ini terus meningkat hingga 58 persen pada 2005, dan mengalami kecenderungan kenaikan sebesar 0,75 persen di tahun-tahun mendatang.
Bagaimana dengan Indonesia? Rupanya, berdasarkan makalah Augustina Situmorang (2007) Staying Single in A Married World dalam Asian Population Studies Asian Population Studies, menurut laporan sensus tahun 1971 dan 2000, didapat fenomena senada.
Yakni, wanita belum menikah berusia 30-34 tahun meningkat dari 2,2 persen menjadi 6,9 persen dalam tiga dekade, sementara pria meningkat dari 6,1 persen menjadi 11,8 persen (Jones 2004). Jakarta mencapai persentase lebih tinggi, yakni 14,3 persen perempuan berusia 30-34 tahun pada tahun 2000 belum menikah, sementara laki-laki 21,1 persen (Hull 2002).
Dibutuhkan banyak variabel yang perlu diteliti untuk menuju pada satu kesimpulan kenapa fenomena itu terjadi. Yang pasti, dari setiap pribadi yang memutuskan untuk tidak menikah, memiliki alasan masing-masing yang bisa jadi terpicu, misalnya dari pengalaman pribadi, keluarga, atau lingkungan.
Dari bincang-bincang dengan seorang perempuan lajang yang berdomisili di Jakarta, Elie Kurniawaty, perjalanan panjang hingga usianya telah mencapai lebih dari setengah abad, sudah pasti banyak asam garam kehidupan yang dia rasakan.
“Enggak tahu kenapa, saat ini di sekitarku banyak cowok yang berkarakter tidak tegas, kurang memiliki visi dan misi masa depan, tidak struggle dalam pekerjaan, dan sejenisnya. Kurang bisa jadi imamlah. Ya adik, ya kakakku mengalaminya. Aku yang anak tengah berasa seperti sandwich, nih, dan mungkin di alam bawah sadar jadi terbawa trauma, khawatir kejadian yang sama menimpaku. Apalagi secara finansial, aku juga ikut terdampak. Itu luar biasa beratnya kalau ga kuat-kuat, sih. Apalagi saat dulu cowok-cowok yang pedekate punya indikasi karakter melehoy seperti itu. Yah, mending ga aja, deh,” ujarnya.
Dengan melajang, lebih bebas menghabiskan waktu untuk kegiatan-kegiatan positif untuk membahagiakan diri sendiri, rasanya itu jauh lebih nikmat deh, imbuhnya.
Berbeda dengan cerita Imma Purbaningrum yang saat ini seorang single mom. Hingga akhirnya dia memantapkan diri untuk berpisah di usia awal setengah abad itu, dan berkeinginan untuk terus melajang, juga sebenarnya bukan sebuah keputusan yang mudah. Banyak faktor yang telah dia pikirkan untuk sampai di fase itu.
“Namanya sudah merasakan dua macam kehidupan melajang dan menikah, aku malah bersyukur jadi punya ‘sisi positif’ untuk bisa menilai mana kondisi yang lebih membahagiakan aku secara batin dan mana yang tidak.”
Dulu sering kesal dengan omongan-omongan yang menyebalkan dari ibu mertua, atau kakak ipar, atau siapalah di lingkungan keluarga mereka, sekarang udah enggak ada lagi tuh. Lesa rasanya, tambahnya.
Yang terpenting yang harus dimiliki oleh para perempuan zaman sekarang ialah kemandirian secara finansial dan meng-upgrade kapasitas diri untuk sedia payung sebelum hujan. Think positive harus, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, bahkan hari ini.
Apapun keputusan yang diambil, untuk menikah atau tidak, itu merupakan keputusan dengan segala konsekuensi dan komitmen yang harus dipegang, minimal bertanggung jawab pada diri sendiri atas sikap yang kalian ambil.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Dika Irawan
Indri Wulandari (2015) dalam jurnal Fenomena Sosial Pilihan Hidup Tidak Menikah pada Wanita Karier, misalnya, memaparkan data jajak pendapat di surat kabar Yomuiri Jepang yang mencatat, 7 dari 10 wanita lajang di negeri matahari tersebut yakin mereka benar-benar bahagia dengan hidup sendiri atau tidak menikah. Jumlah mereka terus meningkat rata-rata 10 persen dari tahun ke tahun, apalagi hidup melajang tidak lagi dipandang buruk seperti dulu.
Baca juga: Hypereport: Saat Mereka Memutuskan Tidak Menikah, Trauma Masa Lalu & Realistis
Hasil survei serupa terjadi pula di Jerman. Survei majalah Stern menemukan, lebih dari 80 persen wanita lajang Jerman benar-benar merasa bahagia tanpa suami dan kata mereka, hidup sendiri membuat mereka bebas melakukan semua hal yang diinginkan.
Dari 1.003 sample perempuan, cuma 2 persen yang menyatakan tidak bahagia berstatus lajang, dan 36 persen mengatakan akan tetap melajang karena lebih menyenangkan. Hampir 50 persen dari wanita itu mengatakan lebih suka melajang karena membuat rumah mereka selalu rapi. Angka ini terus meningkat hingga 58 persen pada 2005, dan mengalami kecenderungan kenaikan sebesar 0,75 persen di tahun-tahun mendatang.
Bagaimana dengan Indonesia? Rupanya, berdasarkan makalah Augustina Situmorang (2007) Staying Single in A Married World dalam Asian Population Studies Asian Population Studies, menurut laporan sensus tahun 1971 dan 2000, didapat fenomena senada.
Yakni, wanita belum menikah berusia 30-34 tahun meningkat dari 2,2 persen menjadi 6,9 persen dalam tiga dekade, sementara pria meningkat dari 6,1 persen menjadi 11,8 persen (Jones 2004). Jakarta mencapai persentase lebih tinggi, yakni 14,3 persen perempuan berusia 30-34 tahun pada tahun 2000 belum menikah, sementara laki-laki 21,1 persen (Hull 2002).
Dibutuhkan banyak variabel yang perlu diteliti untuk menuju pada satu kesimpulan kenapa fenomena itu terjadi. Yang pasti, dari setiap pribadi yang memutuskan untuk tidak menikah, memiliki alasan masing-masing yang bisa jadi terpicu, misalnya dari pengalaman pribadi, keluarga, atau lingkungan.
Dari bincang-bincang dengan seorang perempuan lajang yang berdomisili di Jakarta, Elie Kurniawaty, perjalanan panjang hingga usianya telah mencapai lebih dari setengah abad, sudah pasti banyak asam garam kehidupan yang dia rasakan.
“Enggak tahu kenapa, saat ini di sekitarku banyak cowok yang berkarakter tidak tegas, kurang memiliki visi dan misi masa depan, tidak struggle dalam pekerjaan, dan sejenisnya. Kurang bisa jadi imamlah. Ya adik, ya kakakku mengalaminya. Aku yang anak tengah berasa seperti sandwich, nih, dan mungkin di alam bawah sadar jadi terbawa trauma, khawatir kejadian yang sama menimpaku. Apalagi secara finansial, aku juga ikut terdampak. Itu luar biasa beratnya kalau ga kuat-kuat, sih. Apalagi saat dulu cowok-cowok yang pedekate punya indikasi karakter melehoy seperti itu. Yah, mending ga aja, deh,” ujarnya.
Dengan melajang, lebih bebas menghabiskan waktu untuk kegiatan-kegiatan positif untuk membahagiakan diri sendiri, rasanya itu jauh lebih nikmat deh, imbuhnya.
Berbeda dengan cerita Imma Purbaningrum yang saat ini seorang single mom. Hingga akhirnya dia memantapkan diri untuk berpisah di usia awal setengah abad itu, dan berkeinginan untuk terus melajang, juga sebenarnya bukan sebuah keputusan yang mudah. Banyak faktor yang telah dia pikirkan untuk sampai di fase itu.
“Namanya sudah merasakan dua macam kehidupan melajang dan menikah, aku malah bersyukur jadi punya ‘sisi positif’ untuk bisa menilai mana kondisi yang lebih membahagiakan aku secara batin dan mana yang tidak.”
Dulu sering kesal dengan omongan-omongan yang menyebalkan dari ibu mertua, atau kakak ipar, atau siapalah di lingkungan keluarga mereka, sekarang udah enggak ada lagi tuh. Lesa rasanya, tambahnya.
Yang terpenting yang harus dimiliki oleh para perempuan zaman sekarang ialah kemandirian secara finansial dan meng-upgrade kapasitas diri untuk sedia payung sebelum hujan. Think positive harus, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, bahkan hari ini.
Apapun keputusan yang diambil, untuk menikah atau tidak, itu merupakan keputusan dengan segala konsekuensi dan komitmen yang harus dipegang, minimal bertanggung jawab pada diri sendiri atas sikap yang kalian ambil.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.