Cegah Kekerasan Remaja, Ortu Perlu Sering Ngobrol & Dengarkan Pendapat Anak
13 March 2023 |
19:24 WIB
Kasus kekerasan yang melibatkan anak dan remaja belakangan betul-betul mencemaskan, serta bikin geleng kepala. Agresivitas remaja, yang ditandai dengan tawuran, perkelahian, dan perundungan ini perlu menjadi perhatian semua pihak. Termasuk orang tua di rumah.
Psikolog sekaligus dosen Universitas Gadjah Mada Wirdatul Anisa mengatakan bahwa orang tua bisa memulai peran penting ini, dengan menciptakan rumah sebagai tempat pendidikan anak. Hal ini guna mencegah anak terlalu banyak terpengaruh lingkungan kurang baik dari dunia luar.
Baca juga: Jangan Sepelekan Dampak Kekerasan Psikis pada Anak
Perkembangan kepribadian seseorang sebenarnya dipengaruhi oleh dua hal, yakni nature dan nurture. Kedua faktor tersebut saling berkaitan dan membentuk karakteristik remaja hingga ia dewasa nanti.
Nature merujuk pada faktor genetik atau keturunan. Sementara nurture, merujuk pada karakteristik yang terbentuk dari lingkungan tempat remaja tersebut tinggal. Dalam hal ini, rumah sebagai tempat tinggal dan tempat pertama remaja belajar tentang nilai-nilai kehidupan punya peran penting.
Situasi rumah yang kondusif dan pola asuh yang baik akan menanamkan nilai-nilai positif kepada anak dan remaja. Namun, sebaliknya, remaja tidak mendapatkan pola asuh yang baik, mereka akan gampang terpengaruh dengan dunia luar.
“Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada kematangan emosional dan keterampilan anak mengelola emosi. Meski perlu dilihat lebih luas lagi bahwa hal tersebut juga bisa dipengaruhi faktor dari luar,” ujar Wirda kepada Hypeabis.id belum lama ini.
Menurut Wirda, saat anak sudah beranjak remaja, mereka tentu akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan luar. Interaksi remaja dengan lingkungan luar dan pengalaman mereka berada di kehidupan sosial di luar rumah akhirnya ikut membentuk karakter si remaja tersebut.
Oleh karena itu, sebaiknya remaja, dengan kondisi kepribadian belum matang, tidak terlalu sering berada di lingkungan yang kurang baik. Sebab, persentase remaja tersebut ikut-ikutan ketika berada di lingkungan tertentu cukup tinggi.
Di sisi lain, aktivitas remaja di media sosial, sebagai lingkungan mayanya, juga perlu diperhatikan. Pada era digital seperti sekarang ini, penggunaan media sosial tanpa pengawasan yang baik juga turut memengaruhi perilaku remaja. Berbagai konten di media sosial yang dibaca atau dilihat turut membentuk kematangan emosi anak atau remaja.
Menurut Wirda, remaja yang memiliki agresivitas emosi bisa menimbulkan efek tidak baik, bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Agresivitas emosi yang tidak terkendali kerap menimbulkan kekerasan. Hal ini bisa membuat remaja jatuh ke permasalahan hukum.
Sementara itu, agresivitas emosi juga bisa membuat remaja kesulitan mengendalikan diri dan menghadapi masalah. Alih-alih bisa berpikir jernih, remaja akan lebih sering mengambil jalan pintas yang itu justru bisa makin memperburuk keadaannya.
Remaja juga biasanya akan kesulitan bersosialisasi dan bergaul dengan lingkungan sekitar. Hal itu, kemudian membuatnya merasa kesepian atau dikucilkan. Bukan tidak mungkin, sederet permasalahan tersebut juga pada ujungnya turut memengaruhi kesehatan mentalnya.
“Jika keterampilan mengelola tidak dilatih, kematangan emosinya tidak berkembang. Oleh karena itu, remaja membutuhkan bantuan dan pendampingan dari lingkungan sekitarnya agar dia memiliki emosi yang lebih matang,” ucap Wirda.
Psikolog Keluarga dari Universitas Indonesia Rose Mini sepakat bahwa remaja yang memiliki agresivitas emosi cenderung tidak memiliki teman banyak. Kerap kali pertemanan remaja tersebut hanya terjadi dalam kelompok kecil atau geng.
Menurut Rose, remaja yang memiliki agresivitas emosi sebenarnya adalah orang yang kelebihan energi. Namun, dia mengeluarkan energi tersebut pada kegiatan yang salah. Hal inilah yang kemudian membawa dampak panjang, seperti dijauhi teman-temannya. Efek lanjutannya bisa jadi remaja jadi makin agresif atau justru malah menarik diri dari lingkungannya.
Meskipun demikian, Rose menilai remaja yang memiliki agresivitas atau gampang emosi sebenarnya bukan karena dia tidak bisa mengendalikan amarah. Terkadang hal itu muncul karena remaja hanya sedang mencari identitas atau eksistensi dirinya.
Di sisi lain, remaja juga belum memiliki persepsi yang luas ketika dihadapkan pada masalah. Jadi, ketika ada hambatan yang dirasakannya, mereka langsung mempersepsikan hal itu dengan emosi negatif. Alhasil, keluarnya adalah amarah.
Namun, jika remaja bisa mempersepsikan suatu masalah jadi emosi positif, tentu remaja bisa lebih mengendalikan emosinya dan dirinya. “Kalau bicara soal kecerdasan emosi, semua manusia punya kok. Hanya tinggal hal itu dilatih atau tidak,” jelas Rose kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Dampak Parah Kekerasan Seksual, Korban Alami Depresi Hingga Gangguan Kepribadian
Editor: Dika Irawan
Psikolog sekaligus dosen Universitas Gadjah Mada Wirdatul Anisa mengatakan bahwa orang tua bisa memulai peran penting ini, dengan menciptakan rumah sebagai tempat pendidikan anak. Hal ini guna mencegah anak terlalu banyak terpengaruh lingkungan kurang baik dari dunia luar.
Baca juga: Jangan Sepelekan Dampak Kekerasan Psikis pada Anak
Perkembangan kepribadian seseorang sebenarnya dipengaruhi oleh dua hal, yakni nature dan nurture. Kedua faktor tersebut saling berkaitan dan membentuk karakteristik remaja hingga ia dewasa nanti.
Nature merujuk pada faktor genetik atau keturunan. Sementara nurture, merujuk pada karakteristik yang terbentuk dari lingkungan tempat remaja tersebut tinggal. Dalam hal ini, rumah sebagai tempat tinggal dan tempat pertama remaja belajar tentang nilai-nilai kehidupan punya peran penting.
Situasi rumah yang kondusif dan pola asuh yang baik akan menanamkan nilai-nilai positif kepada anak dan remaja. Namun, sebaliknya, remaja tidak mendapatkan pola asuh yang baik, mereka akan gampang terpengaruh dengan dunia luar.
“Pola asuh orang tua sangat berpengaruh pada kematangan emosional dan keterampilan anak mengelola emosi. Meski perlu dilihat lebih luas lagi bahwa hal tersebut juga bisa dipengaruhi faktor dari luar,” ujar Wirda kepada Hypeabis.id belum lama ini.
Menurut Wirda, saat anak sudah beranjak remaja, mereka tentu akan lebih banyak bergaul dengan lingkungan luar. Interaksi remaja dengan lingkungan luar dan pengalaman mereka berada di kehidupan sosial di luar rumah akhirnya ikut membentuk karakter si remaja tersebut.
Oleh karena itu, sebaiknya remaja, dengan kondisi kepribadian belum matang, tidak terlalu sering berada di lingkungan yang kurang baik. Sebab, persentase remaja tersebut ikut-ikutan ketika berada di lingkungan tertentu cukup tinggi.
Di sisi lain, aktivitas remaja di media sosial, sebagai lingkungan mayanya, juga perlu diperhatikan. Pada era digital seperti sekarang ini, penggunaan media sosial tanpa pengawasan yang baik juga turut memengaruhi perilaku remaja. Berbagai konten di media sosial yang dibaca atau dilihat turut membentuk kematangan emosi anak atau remaja.
Menurut Wirda, remaja yang memiliki agresivitas emosi bisa menimbulkan efek tidak baik, bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Agresivitas emosi yang tidak terkendali kerap menimbulkan kekerasan. Hal ini bisa membuat remaja jatuh ke permasalahan hukum.
Sementara itu, agresivitas emosi juga bisa membuat remaja kesulitan mengendalikan diri dan menghadapi masalah. Alih-alih bisa berpikir jernih, remaja akan lebih sering mengambil jalan pintas yang itu justru bisa makin memperburuk keadaannya.
Remaja juga biasanya akan kesulitan bersosialisasi dan bergaul dengan lingkungan sekitar. Hal itu, kemudian membuatnya merasa kesepian atau dikucilkan. Bukan tidak mungkin, sederet permasalahan tersebut juga pada ujungnya turut memengaruhi kesehatan mentalnya.
“Jika keterampilan mengelola tidak dilatih, kematangan emosinya tidak berkembang. Oleh karena itu, remaja membutuhkan bantuan dan pendampingan dari lingkungan sekitarnya agar dia memiliki emosi yang lebih matang,” ucap Wirda.
Psikolog Keluarga dari Universitas Indonesia Rose Mini sepakat bahwa remaja yang memiliki agresivitas emosi cenderung tidak memiliki teman banyak. Kerap kali pertemanan remaja tersebut hanya terjadi dalam kelompok kecil atau geng.
Menurut Rose, remaja yang memiliki agresivitas emosi sebenarnya adalah orang yang kelebihan energi. Namun, dia mengeluarkan energi tersebut pada kegiatan yang salah. Hal inilah yang kemudian membawa dampak panjang, seperti dijauhi teman-temannya. Efek lanjutannya bisa jadi remaja jadi makin agresif atau justru malah menarik diri dari lingkungannya.
Meskipun demikian, Rose menilai remaja yang memiliki agresivitas atau gampang emosi sebenarnya bukan karena dia tidak bisa mengendalikan amarah. Terkadang hal itu muncul karena remaja hanya sedang mencari identitas atau eksistensi dirinya.
Di sisi lain, remaja juga belum memiliki persepsi yang luas ketika dihadapkan pada masalah. Jadi, ketika ada hambatan yang dirasakannya, mereka langsung mempersepsikan hal itu dengan emosi negatif. Alhasil, keluarnya adalah amarah.
Namun, jika remaja bisa mempersepsikan suatu masalah jadi emosi positif, tentu remaja bisa lebih mengendalikan emosinya dan dirinya. “Kalau bicara soal kecerdasan emosi, semua manusia punya kok. Hanya tinggal hal itu dilatih atau tidak,” jelas Rose kepada Hypeabis.id.
Baca juga: Dampak Parah Kekerasan Seksual, Korban Alami Depresi Hingga Gangguan Kepribadian
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.