Shinhan University Anugerahkan Tokoh Pariwisata Yanti Sukamdani Gelar Doktor Honoris Causa
13 October 2022 |
21:11 WIB
Presiden Komisaris Sahid Group Wiryanti Sukamdani menerima gelar Doktor Honoris Causa di bidang pariwisata dari Shinhan University, Korea Selatan. Penghargaan bagi tokoh tersebut dianugerahkan dalam rangka peringatan 50 tahun berdirinya universitas tersebut.
Pada acara penganugerahan gelar dan penghargaan yang dimeriahkan dengan berbagai atraksi pertunjukan seni dan Taekwondo dari Shinhan University, tersebut, turut hadir Duta Besar RI di Seoul Gandi Sulistiyanto, Chairman Sahid Jaya Foundation Prof. Nugroho B. Sukamdani dan Atase Pendidikan KBRI Seoul Gogot Suharwoto.
Sementara itu, mengutip penjelasan resmi yang diterima Hypeabis.id, dalam pidato penerimaan untuk gelar doktor honoris causa pariwisata dari Universitas Shinhan tersebut, Wiryanti Sukamdani, mengatakan bahwa Indonesia kaya akan keragaman budaya, tradisi sejarah, serta keindahan alam. Semua itu dapat ditemukan di ribuan desa yang tersebar dari kota paling barat Sabang hingga kota paling timur, Merauke.
Panorama keindahan alam perdesaan Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat global, dan inilah potensi yang harus kami kembangkan dan berdayakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan sekaligus melestarikan alam dan kearifan lokal. “Kami percaya bahwa mereka akan membawa lebih banyak kemakmuran karena kami semakin melestarikannya,” ujarnya.
Menurut perempuan yang akrab disapa Yanti ini, potensi terbesar yang dapat dikembangkan dalam upaya meningkatkan kinerja pariwisata adalah melalui pengembangan desa wisata. Desa wisata merupakan perpaduan antara desa dan pariwisata.
Desa wisata, papar Yanti, menawarkan pengalaman yang memadukan akomodasi, atraksi, dan fasilitas pendukung lainnya yang disajikan dalam struktur yang menyatu dengan kehidupan dan kearifan masyarakat setempat. Oleh karena itu, suatu desa wisata harus memiliki konsep yang matang dan kreatif agar menarik bagi wisatawan untuk berkunjung.
Desa wisata memiliki peran penting dalam pengembangan pariwisata nasional Indonesia. Indonesia memiliki 83.931 desa yang tersebar di seluruh Nusantara. Sebanyak 7.275 di antaranya telah menjadi desa wisata. Artinya, masih ada ribuan desa lain yang menunggu untuk disulap menjadi desa wisata.
“Saya hanya bisa membayangkan jika ini terwujud, maka pusat ekonomi berbasis desa wisata akan tumbuh subur di Indonesia,” tegasnya.
Dia memberi contoh banyak desa wisata yang berhasil dikembangkan di Indonesia, seperti desa wisata Panglipuran di Bali, desa wisata Ponggok dan desa wisata Wanurejo di Jawa Tengah, serta desa wisata Pujon Kidul di Jawa Timur.
Yanti menyatakan telah terlibat dalam bidang pariwisata selama lebih dari 45 tahun. Dalam beberapa tahun terakhir, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang membidangi Pariwisata ini juga berkesempatan untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan untuk kebijakan pengembangan sektor pariwisata di Indonesia, melalui keterlibatannya dengan dewan eksekutif dan partai politik.
“Saya percaya banyak peluang ekonomi yang bekerja dan memiliki analogi dari sektor pariwisata. Keyakinan saya didasarkan pada pengalaman saya dalam bisnis perhotelan dan pariwisata dan ketika saya telah dipercaya untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang telah menghasilkan berbagai kebijakan pengembangan pariwisata di Indonesia.
Indonesia dan Korea Selatan, sebut Yanti, memiliki banyak kesamaan, seperti kedua negara memiliki budaya yang mengutamakan keluarga, keramahan, kepedulian terhadap sesama, prinsip kebersamaan masyarakat dalam rangka gotong royong yang di Indonesia kita sebut gotong royong, dan menghargai keragaman dan harmoni.
Dengan kesamaan tersebut Indonesia dan Korea Selatan berpeluang untuk menjalin kerja sama melalui berbagai kerja sama, termasuk kerja sama di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif.
Korea Selatan merupakan negara dengan pertumbuhan yang sangat mengesankan di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Banyak destinasi wisata populer di Korea Selatan yang dibalut dengan kekayaan budayanya seperti musik, film drama, produk kecantikan, makanan, dan ginseng. Industri kreatif Korea Selatan dianggap sebagai pusat perhatian dunia berkat Hallyu atau Korean Wave (K-wave) yang telah mempopulerkan K-Pop dan grup musik, seperti BTS, Blackpink, dan Crush Landing on You.
Menurut Yanti, produk kreatif tersebut tidak terjadi begitu saja dalam semalam. Negara telah melakukan perencanaan yang sangat hati-hati, terutama karena sektor swasta dan ekosistem telah berhasil dikembangkan. Tipe ekosistem seperti itulah yang dapat diadopsi oleh Indonesia, terutama dalam rangka pengembangan ekosistem desa wisata agar desa-desa tersebut menjadi tujuan utama wisatawan mancanegara.
Dari desa wisata akan muncul berbagai industri kreatif seperti souvenir, makanan, batik, jamu, produk tenun tradisional, obat-obatan, yang bahan baku utamanya adalah tanaman yang berasal dari desa itu sendiri. Namun, ada pesan penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan desa wisata: meskipun produk dan layanan kreatif bersifat tradisional. “Layanannya harus standar perhotelan internasional yang didukung oleh teknologi digital.”
Oleh karena itu, lanjut Yanti, pengembangan desa wisata harus direncanakan secara komprehensif dan holistik untuk mencapai tujuan dan pembangunan desa wisata yang berkelanjutan.
“Yang saya maksud dengan tujuan di sini adalah kelestarian lingkungan, sosial dan budaya masyarakat setempat yang melalui desa wisata akan mengalami pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran, dan promosi budaya,” jelasnya.
Lebih jauh, paparnya, ada satu hal yang sangat penting yang sering luput dari perhatian para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan pariwisata, meskipun signifikansinya semakin meningkat bagi konsistensi pembangunan desa wisata. “Memang pembangunan desa wisata harus didukung dengan anggaran yang memadai.”
Sebenarnya, kata Yanti, sejak 2015, Pemerintah Indonesia telah mengucurkan dana khusus yang dialokasikan untuk desa, sehingga setiap desa sudah menerima dana desa. Namun, dana desa tidak dapat dialokasikan 100% untuk pembangunan desa wisata karena pembangunan juga harus dilakukan pada sektor lain yang dapat diprioritaskan bagi masyarakat perdesaan, sehingga dalam hal ini politik anggaran juga harus berpihak pada sektor pariwisata di desa.
Oleh karena itu, diperlukan anggaran khusus untuk menjamin keberlangsungan berbagai program pengembangan desa wisata. “Di sinilah perlunya politik anggaran untuk ditetapkan dalam suatu kebijakan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peran legislator sangat sentral dalam upaya mendorong Pemerintah untuk fokus mengalokasikan anggaran untuk pembangunan desa wisata di Indonesia” paparnya.
Baca juga: Pariwisata bertransisi ke Wisata Berkelanjutan Atau Sustainable Tourism, Ini Maksudnya
Politik anggaran, tegas Yanti, merupakan salah satu bagian terpenting dalam penyelenggaraan keuangan negara atau daerah. Pengaruh politik terhadap anggaran tidak hanya terlihat pada tahap persiapan, tetapi juga dalam pengelolaannya. Pengelolaan anggaran dimulai dari tahap perencanaan, pengendalian, penggunaan, pengawasan, hingga pertanggungjawaban
Tujuan politik anggaran, sebutnya, adalah membelanjakan uang rakyat secara tepat, terarah, adil, dan mempertimbangkan guna mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Selain itu, politik anggaran juga bertujuan untuk mencari arah dan prioritas tujuan pembangunan nasional, serta untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga pelaksanaannya harus sesuai dengan program-program yang telah disusun, dalam hal ini program pembangunan desa wisata.
Pada akhir pidatonya, Yanti menyatakan harapannya pada terjalinnya kerja sama yang lebih erat antara Korea Selatan dan Indonesia, khususnya kerja sama di bidang pariwisata.
Editor: Indyah Sutriningrum
Pada acara penganugerahan gelar dan penghargaan yang dimeriahkan dengan berbagai atraksi pertunjukan seni dan Taekwondo dari Shinhan University, tersebut, turut hadir Duta Besar RI di Seoul Gandi Sulistiyanto, Chairman Sahid Jaya Foundation Prof. Nugroho B. Sukamdani dan Atase Pendidikan KBRI Seoul Gogot Suharwoto.
Sementara itu, mengutip penjelasan resmi yang diterima Hypeabis.id, dalam pidato penerimaan untuk gelar doktor honoris causa pariwisata dari Universitas Shinhan tersebut, Wiryanti Sukamdani, mengatakan bahwa Indonesia kaya akan keragaman budaya, tradisi sejarah, serta keindahan alam. Semua itu dapat ditemukan di ribuan desa yang tersebar dari kota paling barat Sabang hingga kota paling timur, Merauke.
Panorama keindahan alam perdesaan Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat global, dan inilah potensi yang harus kami kembangkan dan berdayakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan sekaligus melestarikan alam dan kearifan lokal. “Kami percaya bahwa mereka akan membawa lebih banyak kemakmuran karena kami semakin melestarikannya,” ujarnya.
Menurut perempuan yang akrab disapa Yanti ini, potensi terbesar yang dapat dikembangkan dalam upaya meningkatkan kinerja pariwisata adalah melalui pengembangan desa wisata. Desa wisata merupakan perpaduan antara desa dan pariwisata.
Dari kiri: Prof. Dr. Sapta Nirwandar, SE., DESS (Chairman Indonesia Tourism Forum), Bapak Gogot Suharwoto (Atase Pendidikan KBRI Seoul, Ibu Marlinda Irwanti Poernomo (Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sahid Jakarta), Ibu Dr (HC). Dra SB Wiryanti Sukamdani, CHA., Dr. Kang Sung-jong (President of Shinhan University), H.E. Gandi Sulistyanto (Dubes RI di Seoul), Prof. Dr. Nugroho B. Sukamdani, MBA, BET (Chairman Sahid Jaya Foundation), Aryo Kusumadharma (Corporate Product & Operation Development Manager Sahid Group. (Sumber gambar: Dok. Sahid Group)
Desa wisata memiliki peran penting dalam pengembangan pariwisata nasional Indonesia. Indonesia memiliki 83.931 desa yang tersebar di seluruh Nusantara. Sebanyak 7.275 di antaranya telah menjadi desa wisata. Artinya, masih ada ribuan desa lain yang menunggu untuk disulap menjadi desa wisata.
“Saya hanya bisa membayangkan jika ini terwujud, maka pusat ekonomi berbasis desa wisata akan tumbuh subur di Indonesia,” tegasnya.
Dia memberi contoh banyak desa wisata yang berhasil dikembangkan di Indonesia, seperti desa wisata Panglipuran di Bali, desa wisata Ponggok dan desa wisata Wanurejo di Jawa Tengah, serta desa wisata Pujon Kidul di Jawa Timur.
Yanti menyatakan telah terlibat dalam bidang pariwisata selama lebih dari 45 tahun. Dalam beberapa tahun terakhir, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang membidangi Pariwisata ini juga berkesempatan untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan untuk kebijakan pengembangan sektor pariwisata di Indonesia, melalui keterlibatannya dengan dewan eksekutif dan partai politik.
“Saya percaya banyak peluang ekonomi yang bekerja dan memiliki analogi dari sektor pariwisata. Keyakinan saya didasarkan pada pengalaman saya dalam bisnis perhotelan dan pariwisata dan ketika saya telah dipercaya untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang telah menghasilkan berbagai kebijakan pengembangan pariwisata di Indonesia.
Indonesia dan Korea Selatan, sebut Yanti, memiliki banyak kesamaan, seperti kedua negara memiliki budaya yang mengutamakan keluarga, keramahan, kepedulian terhadap sesama, prinsip kebersamaan masyarakat dalam rangka gotong royong yang di Indonesia kita sebut gotong royong, dan menghargai keragaman dan harmoni.
Dengan kesamaan tersebut Indonesia dan Korea Selatan berpeluang untuk menjalin kerja sama melalui berbagai kerja sama, termasuk kerja sama di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif.
Korea Selatan merupakan negara dengan pertumbuhan yang sangat mengesankan di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Banyak destinasi wisata populer di Korea Selatan yang dibalut dengan kekayaan budayanya seperti musik, film drama, produk kecantikan, makanan, dan ginseng. Industri kreatif Korea Selatan dianggap sebagai pusat perhatian dunia berkat Hallyu atau Korean Wave (K-wave) yang telah mempopulerkan K-Pop dan grup musik, seperti BTS, Blackpink, dan Crush Landing on You.
Menurut Yanti, produk kreatif tersebut tidak terjadi begitu saja dalam semalam. Negara telah melakukan perencanaan yang sangat hati-hati, terutama karena sektor swasta dan ekosistem telah berhasil dikembangkan. Tipe ekosistem seperti itulah yang dapat diadopsi oleh Indonesia, terutama dalam rangka pengembangan ekosistem desa wisata agar desa-desa tersebut menjadi tujuan utama wisatawan mancanegara.
Dari desa wisata akan muncul berbagai industri kreatif seperti souvenir, makanan, batik, jamu, produk tenun tradisional, obat-obatan, yang bahan baku utamanya adalah tanaman yang berasal dari desa itu sendiri. Namun, ada pesan penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan desa wisata: meskipun produk dan layanan kreatif bersifat tradisional. “Layanannya harus standar perhotelan internasional yang didukung oleh teknologi digital.”
Oleh karena itu, lanjut Yanti, pengembangan desa wisata harus direncanakan secara komprehensif dan holistik untuk mencapai tujuan dan pembangunan desa wisata yang berkelanjutan.
“Yang saya maksud dengan tujuan di sini adalah kelestarian lingkungan, sosial dan budaya masyarakat setempat yang melalui desa wisata akan mengalami pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran, dan promosi budaya,” jelasnya.
Lebih jauh, paparnya, ada satu hal yang sangat penting yang sering luput dari perhatian para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan pariwisata, meskipun signifikansinya semakin meningkat bagi konsistensi pembangunan desa wisata. “Memang pembangunan desa wisata harus didukung dengan anggaran yang memadai.”
Sebenarnya, kata Yanti, sejak 2015, Pemerintah Indonesia telah mengucurkan dana khusus yang dialokasikan untuk desa, sehingga setiap desa sudah menerima dana desa. Namun, dana desa tidak dapat dialokasikan 100% untuk pembangunan desa wisata karena pembangunan juga harus dilakukan pada sektor lain yang dapat diprioritaskan bagi masyarakat perdesaan, sehingga dalam hal ini politik anggaran juga harus berpihak pada sektor pariwisata di desa.
Oleh karena itu, diperlukan anggaran khusus untuk menjamin keberlangsungan berbagai program pengembangan desa wisata. “Di sinilah perlunya politik anggaran untuk ditetapkan dalam suatu kebijakan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peran legislator sangat sentral dalam upaya mendorong Pemerintah untuk fokus mengalokasikan anggaran untuk pembangunan desa wisata di Indonesia” paparnya.
Baca juga: Pariwisata bertransisi ke Wisata Berkelanjutan Atau Sustainable Tourism, Ini Maksudnya
Politik anggaran, tegas Yanti, merupakan salah satu bagian terpenting dalam penyelenggaraan keuangan negara atau daerah. Pengaruh politik terhadap anggaran tidak hanya terlihat pada tahap persiapan, tetapi juga dalam pengelolaannya. Pengelolaan anggaran dimulai dari tahap perencanaan, pengendalian, penggunaan, pengawasan, hingga pertanggungjawaban
Tujuan politik anggaran, sebutnya, adalah membelanjakan uang rakyat secara tepat, terarah, adil, dan mempertimbangkan guna mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Selain itu, politik anggaran juga bertujuan untuk mencari arah dan prioritas tujuan pembangunan nasional, serta untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga pelaksanaannya harus sesuai dengan program-program yang telah disusun, dalam hal ini program pembangunan desa wisata.
Pada akhir pidatonya, Yanti menyatakan harapannya pada terjalinnya kerja sama yang lebih erat antara Korea Selatan dan Indonesia, khususnya kerja sama di bidang pariwisata.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.