Pelesiran Asyik: Perjalanan Menapaki Negeri Dua Benua
04 July 2022 |
15:28 WIB
Berpelesiran ke Turki tidak hanya disuguhkan pemandangan alam menakjubkan, tetapi juga bangunan-bangunan berarsitektur megah. Perlu diingat juga, bangunan-bangunan tersebut memiliki cerita di baliknya, yang menarik untuk disimak. Beruntung, tim Bisnis Indonesia Weekly pernah mengunjungi Negeri Dua Benua tersebut.
Hasil dari berplesiran ke negara tersebut dituangkan dalam laporan bertajuk Menapaki Negeri Dua Benua. Seperti apa serunya plesiran ke Turki? Yuk simak tulisan berikut ini:
Pada 13 tahun silam terbit sebuah memoar berjudul Hatiralar ve Sehir mengisahkan kegelisahan dan kemurungan penulis atas terbelahnya kultur masyarakat yang Istanbul: Turki, antara Islam dan sekularisasi, modern dan tradisional, serta timur dan barat pada periode 1950-1970.
Istanbul, kota yang terletak di Asia dan Eropa itu memang menyajikan keindahan peradaban, sejarah panjang manusia dan kebudayaannya, yang tak akan habis ditelusuri hingga kini.
Bahkan, sejarah Negeri 1.000 masjid itu pun masih tertulis hingga kini seiring dengan percobaan kudeta pada masa kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan. Namun, anehnya ketika menapaki jalanjalan di Kota Istanbul, saya tak merasa bahwa sejarah sedang ditulis saat itu.
Tentara atau bahkan polisi tidak tampak bersiaga berlebihan seolah-olah peristiwa percobaan kudeta yang terjadi pada 15 Juli itu telah menguap dalam denyut sejarah kota.
Baca juga: Rona Roma Menyambut Liburan Musim Panas
Padahal, masa darurat sipil baru akan berakhir menjelang akhir Oktober tahun ini. Yang terasa saat menyusuri kota adalah kita seolah disergap oleh sebuah kesadaran bahwa Turki banyak sekali merekam jejak sejarah peradaban di dunia.
Pusatnya ada pinggir pantai Selat Bosphorus yang berada di sisi wilayah Eropa, di mana sejarah panjang Turki seolah berkumpul dalam satu lokasi. Di kawasan perbukitan tersebut kita dapat menyambangi Topkapi Sarayi atau Istana Topkapi, Hagia Sophia, Blue Mosque hingga Grand Bazaar.
Tempat ini adalah tempat tinggal para sultan dan keluarga kesultanan Turki Utsmani dalam rentang 1465-1860. Selain dapat menikmati kebesaran sejarah Turki, di istana tersebut ada satu bagian ruangan yang tidak boleh dilewati.
Bahkan sejak awal saya sudah menyiapkan diri untuk terhanyut dalam sejarah masa lalu, yaitu Sacred Relics. Di dalam bekas ruangan pribadi Sultan itu kita dapat menjumpai kunci-kunci Ka’bah, pembungkus Hajar Aswad, tongkat Nabi Musa, tempat minum Nabi Ibrahim, sorban Nabi Yusuf, pedang Nabi Daud, pedang Umar bin Khattab, pedang Ali bin Abi Thalib, pedang Utsman bin Affan, dan baju Fatimah putri Rasulullah.
Tampak juga pedang, sehelai rambut dan jenggot, selembar surat, serta jejak kaki Nabi Muhammad. Menjelang masuk di ruangan yang bertuliskan “Kami akan melindungi barangbarang yang ada dalam ruangan ini hingga dunia berakhir “ itu saya sudah bersiap diri untuk hanyut dalam suasana religius yang membius.
Sayangnya, begitu di dalam, suasana hati yang sudah saya persiapkan menguap begitu saja karena banyaknya pengunjung yang berjubel.
Ya, gereja tersebut berubah menjadi masjid pada 1453 seiring dengan jatuhnya Konstantinopel oleh Kekaisaran Ottoman. Sejak empat tahun lalu, adzan memang menggema dari menara-menara Hagia Sophia. Namun, muazin menyuarakan azan dari kamar shalat, bukan dari dalam ruangan.
Sebagai penutup perjalanan hari itu, saya mengunjungi satu tempat bersejarah lagi, yaitu Grand Bazaar. Namun, kali ini sambil mengagumi keindahan pasar tertutup (dengan langit-langit bercat motif tradisional) yang terbesar dan tertua di dunia. Saya juga membeli cinderamata. Walau asyik, telapak kaki bakal ‘menjerit’ kepanasan karena pasar ini meliputi 61 jalan tertutup dan lebih dari 3.000 toko.
Nah, kalau Anda ingin menapaki sejarah modern Turki, Anda bisa turun ke bawah bukit untuk mendekat ke pinggir pantai Selat Bosphorus untuk menikmati atmosfer sekularisme dan gaya hidup modern kaum muda, yang tak jauh berbeda dengan kotakota metropolis lain. Mereka nongkrong di kafe-kafe yang berjejer sepanjang pantai.
Baca juga: Pengalaman Traveling: Wisata Senja di Chiang Mai
Transformasi dan kontradiksi kebudayaan inilah kemudian yang mengantarkan Orhan Pamuk meraih nobel kesusasteraan pada Oktober 2006 melalui memoar: Istanbul, Kenangan Sebuah Kota.
Editor: Dika Irawan
Hasil dari berplesiran ke negara tersebut dituangkan dalam laporan bertajuk Menapaki Negeri Dua Benua. Seperti apa serunya plesiran ke Turki? Yuk simak tulisan berikut ini:
Pada 13 tahun silam terbit sebuah memoar berjudul Hatiralar ve Sehir mengisahkan kegelisahan dan kemurungan penulis atas terbelahnya kultur masyarakat yang Istanbul: Turki, antara Islam dan sekularisasi, modern dan tradisional, serta timur dan barat pada periode 1950-1970.
Istanbul, kota yang terletak di Asia dan Eropa itu memang menyajikan keindahan peradaban, sejarah panjang manusia dan kebudayaannya, yang tak akan habis ditelusuri hingga kini.
Bahkan, sejarah Negeri 1.000 masjid itu pun masih tertulis hingga kini seiring dengan percobaan kudeta pada masa kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan. Namun, anehnya ketika menapaki jalanjalan di Kota Istanbul, saya tak merasa bahwa sejarah sedang ditulis saat itu.
Tentara atau bahkan polisi tidak tampak bersiaga berlebihan seolah-olah peristiwa percobaan kudeta yang terjadi pada 15 Juli itu telah menguap dalam denyut sejarah kota.
Baca juga: Rona Roma Menyambut Liburan Musim Panas
Padahal, masa darurat sipil baru akan berakhir menjelang akhir Oktober tahun ini. Yang terasa saat menyusuri kota adalah kita seolah disergap oleh sebuah kesadaran bahwa Turki banyak sekali merekam jejak sejarah peradaban di dunia.
Pusatnya ada pinggir pantai Selat Bosphorus yang berada di sisi wilayah Eropa, di mana sejarah panjang Turki seolah berkumpul dalam satu lokasi. Di kawasan perbukitan tersebut kita dapat menyambangi Topkapi Sarayi atau Istana Topkapi, Hagia Sophia, Blue Mosque hingga Grand Bazaar.
Istana Topkapi
Rasa-rasanya untuk tempattempat tersebut dapat dikunjungi dalam sehari. Kecuali kalau Anda ingin menikmati suasana dan atmosfer sejarahnya. Istana Topkapi, yang berada di atas bukit dengan pemandangan Laut Marmara dan Selat Bosphorus dengan total luas sekitar 700.000 m2, dan dikelilingi benteng sepanjang lima kilometer.Tempat ini adalah tempat tinggal para sultan dan keluarga kesultanan Turki Utsmani dalam rentang 1465-1860. Selain dapat menikmati kebesaran sejarah Turki, di istana tersebut ada satu bagian ruangan yang tidak boleh dilewati.
Bahkan sejak awal saya sudah menyiapkan diri untuk terhanyut dalam sejarah masa lalu, yaitu Sacred Relics. Di dalam bekas ruangan pribadi Sultan itu kita dapat menjumpai kunci-kunci Ka’bah, pembungkus Hajar Aswad, tongkat Nabi Musa, tempat minum Nabi Ibrahim, sorban Nabi Yusuf, pedang Nabi Daud, pedang Umar bin Khattab, pedang Ali bin Abi Thalib, pedang Utsman bin Affan, dan baju Fatimah putri Rasulullah.
Tampak juga pedang, sehelai rambut dan jenggot, selembar surat, serta jejak kaki Nabi Muhammad. Menjelang masuk di ruangan yang bertuliskan “Kami akan melindungi barangbarang yang ada dalam ruangan ini hingga dunia berakhir “ itu saya sudah bersiap diri untuk hanyut dalam suasana religius yang membius.
Sayangnya, begitu di dalam, suasana hati yang sudah saya persiapkan menguap begitu saja karena banyaknya pengunjung yang berjubel.
Tangkapan layar Bisnis Indonesia Weekend
Hikmah Suci
Selepas Istana Topkapi, saya menyambangi Hagia Sophia atau Aya Sofya yang artinya hikmah suci. Bangunan bekas gereja yang kemudian menjadi masjid inilah yang menurut saya menjadi simbol utama Turki. Sejarah pun masih ditulis di bangunan itu, yang awalnya berupa gereja tiga tingkat, yang dibuat oleh Kaisar Justinian pada 537, ketika adzan berkumandang dari dalam Hagia Sophia pada Juni tahun ini.Ya, gereja tersebut berubah menjadi masjid pada 1453 seiring dengan jatuhnya Konstantinopel oleh Kekaisaran Ottoman. Sejak empat tahun lalu, adzan memang menggema dari menara-menara Hagia Sophia. Namun, muazin menyuarakan azan dari kamar shalat, bukan dari dalam ruangan.
Hagia Sophia
Nah, tahun ini, Pemerintah Turki membolehkan Alquran dilantunkan di Hagia Sophia selama Ramadan. Pascajatuhnya Romawi Timur (Konstantinopel), Sultan Ahmed I membangun Masjid Biru, yang memiliki jumlah menara yang sama dengan Masjidil Haram di Mekah saat itu, untuk menandingi bangunan Hagia Sophia. Disebut biru karena masjid ini berhiaskan keramik-keramik berwarna biru yang menutupi dinding dan kubahnya.Sebagai penutup perjalanan hari itu, saya mengunjungi satu tempat bersejarah lagi, yaitu Grand Bazaar. Namun, kali ini sambil mengagumi keindahan pasar tertutup (dengan langit-langit bercat motif tradisional) yang terbesar dan tertua di dunia. Saya juga membeli cinderamata. Walau asyik, telapak kaki bakal ‘menjerit’ kepanasan karena pasar ini meliputi 61 jalan tertutup dan lebih dari 3.000 toko.
Nah, kalau Anda ingin menapaki sejarah modern Turki, Anda bisa turun ke bawah bukit untuk mendekat ke pinggir pantai Selat Bosphorus untuk menikmati atmosfer sekularisme dan gaya hidup modern kaum muda, yang tak jauh berbeda dengan kotakota metropolis lain. Mereka nongkrong di kafe-kafe yang berjejer sepanjang pantai.
Baca juga: Pengalaman Traveling: Wisata Senja di Chiang Mai
Transformasi dan kontradiksi kebudayaan inilah kemudian yang mengantarkan Orhan Pamuk meraih nobel kesusasteraan pada Oktober 2006 melalui memoar: Istanbul, Kenangan Sebuah Kota.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.