Apa Itu Pesan Toxic Positivity dan Bagaimana Cara Mengatasinya?
09 June 2021 |
13:30 WIB
Genhype pernah mendengar kalimat “kamu masih tetap harus bersyukur, di luar sana masih banyak yang lebih buruk dari kamu” yang dikatakan seseorang untuk mereka yang sedang bersedih atau patah hati?
Sekilas kalimat itu tidak ada yang salah, bahkan cenderung bernada positif. Kalimat semacam itu bisa saja menjadi kekuatan atau kebaikan yang membantu memotivasi seseorang di masa depan.
Tetapi, bagaimana kalau kalimat positif itu justru memaksa seseorang untuk menghilangkan perasaan cemas, takut, sedih, atau kesulitan yang sebenarnya? Ya. Itu bukan hal positif yang sehat, tetapi toxic atau beracun.
Sekilas kalimat itu tidak ada yang salah, bahkan cenderung bernada positif. Kalimat semacam itu bisa saja menjadi kekuatan atau kebaikan yang membantu memotivasi seseorang di masa depan.
Tetapi, bagaimana kalau kalimat positif itu justru memaksa seseorang untuk menghilangkan perasaan cemas, takut, sedih, atau kesulitan yang sebenarnya? Ya. Itu bukan hal positif yang sehat, tetapi toxic atau beracun.
Apa itu Toxic Positivity?
Seorang psikolog klinis asal Pennsylvania Dokter Jaime Zuckerman mengatakan toxic positivity adalah asumsi yang berasal dari diri sendiri atau orang lain yang memaksa terlepas dari rasa sakit emosional atau situasi sulit, dengan kata lain mereka hanya boleh memilih pola pikir positif.
Bentuk sederhana dari toxic positivity adalah alih-alih mendengarkan rasa frustasi yang dialami seseorang, tetapi malah memberikan komentar semacam mengajak untuk melihat sisi baiknya atau mensyukuri apa yang telah dimiliki.
Dalam toxic positivity, emosi negatif seolah dipandang sebagai sesuatu yang buruk, sebaliknya, kepositifan dan kebahagiaan didorong secara paksa dan mengabaikan perasaan emosional naluriah manusia seperti sedih, cemas, atau frustasi.
Bentuk sederhana dari toxic positivity adalah alih-alih mendengarkan rasa frustasi yang dialami seseorang, tetapi malah memberikan komentar semacam mengajak untuk melihat sisi baiknya atau mensyukuri apa yang telah dimiliki.
Dalam toxic positivity, emosi negatif seolah dipandang sebagai sesuatu yang buruk, sebaliknya, kepositifan dan kebahagiaan didorong secara paksa dan mengabaikan perasaan emosional naluriah manusia seperti sedih, cemas, atau frustasi.
Cara Mengatasi Toxic Positivity
Kalau kamu menemukan orang yang semacam itu, berikut cara untuk mengatasi toxic positivity dilansir dari Healthline.
1. Jangan abaikan emosi kamu
Akui semua emosi baik dan buruk yang kamu rasakan. Jangan mengabaikan emosi yang sedang kamu rasakan yang justru akan memperpanjang ketidaknyamanan. Kamu bisa juga menuliskan semua perasaanmu ke dalam tulisan. Sebuah studi menunjukkan bahwa menuliskan perasaan ke dalam kata-kata mengurangi intensitas emosi seperti kesedihan, kemarahan, dan rasa sakit.
2. Yakinkan diri berbeda itu bukan masalah
Setiap orang berhak atas perasaan sendiri dan kita tidak boleh mempermalukan orang lain karena emosinya. Sangat penting untuk menyadari bahwa orang lain mungkin tidak mengatasi suatu masalah dengan cara yang sama seperti kamu.
3. Tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja
Jika kamu sedang merasa lelah, beri waktu diri kamu untuk beristirahat atau melakukan sesuatu yang kamu inginkan agar kamu terbebas dari rasa yang tidak nyaman.
4. Jangan anggap emosi kamu tidak normal
Kepositifan yang sehat seharusnya mengakui emosi naluriah manusia. Dengan kata lain, kamu boleh meluapkan emosi sedih ataupun sakit hati tanpa perlu merasa bahwa itu merupakan sesuatu yang tidak normal seperti orang kebanyakan.
5. Bersikap realistis
Jika kamu ingin merasa lebih produktif, mulailah dengan langkah-langkah kecil yang dapat dilakukan. Melakukan hal-hal yang suka kamu lakukan selama masa tekanan emosional bisa membuat kamu merasa lebih baik. Misalnya, kamu bisa melakukan yoga untuk membuat pikiran dan jiwamu mungkin menjadi lebih tenang.
6. Kenali pesan-pesan bernada toxic positivity
Beberapa pesan toxic positivity biasanya justru bernada sederhana seperti “kamu masih harus bersyukur”, “bersedih lama-lama tidak baik”, atau “santai saja, semuanya pasti baik-baik saja”. Jika kamu sudah mengenali kalimat toxic positivity, kamu bisa mengabaikannya di kemudian hari.
7. Hati-hati dengan pesan toxic positivity di media sosial
Biasanya beberapa influencer kerap membagikan kata-kata positif dengan tampilan kehidupan yang tampak sempurna. Jarang sekali mereka memposting kesalahan, kekurangan atau menyoroti pengambilan keputusan mereka yang buruk.
Akibatnya, media sosial memberikan kesan bahwa setiap orang menangani masa-masa sulit lebih baik dari kamu sehingga kamu merasa minder dan malu. Kamu perlu berpikir kritis dalam menghadapi hal tersebut dan mengakui bahwa kamu tidak sendirian dalam emosi tidak nyaman yang sedang kamu rasakan.
Editor: M R Purboyo
Akibatnya, media sosial memberikan kesan bahwa setiap orang menangani masa-masa sulit lebih baik dari kamu sehingga kamu merasa minder dan malu. Kamu perlu berpikir kritis dalam menghadapi hal tersebut dan mengakui bahwa kamu tidak sendirian dalam emosi tidak nyaman yang sedang kamu rasakan.
Editor: M R Purboyo
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.