Book Photography by Iyas Utomo

Membaca sebagai Cara Bertahan di Tengah Segala Ketidakpastian Hidup

07 March 2022   |   19:43 WIB
Image
Iyas Utomo Film di tangan kananku, buku di tangan kiriku.

Hidup pada hakikatnya identik dengan segala bentuk perubahan, entah itu perubahan yang berhubungan dengan waktu, lingkungan tinggal, gaya hidup, cuaca, kebudayaan, sampai pada hal paling esensial bagi kita, prinsip hidup dan keyakinan misalnya. Pada perjalanan hidup kita, tentu saja tidak akan terlepas dari proses perubahan itu sendiri.

Coba kita ingat bersama-sama, saat kita bayi bukankah kita telah mengalami banyak proses perubahan? Seperti belajar tengkurap, belajar untuk bisa berdiri kemudian dilanjutkan dengan langkah pertama dan diikuti langkah-langkah selanjutnya, belajar mengenali wajah orang tua kita, hingga belajar membedakan mana susu dan air putih, dan, ya, proses itu masih berlangsung hingga saat ini, saat di mana kamu tengah membaca tulisan ini.

Sikap kita dalam menghadapi perubahan ini lebih sering dikenal dengan adaptasi, di mana kebanyakan dari kita mengira adaptasi hanyalah sebatas upaya menyesuaikan diri pada sebuah perubahan “besar”, padahal lebih daripada itu. Menurut Piaget, adaptasi adalah bagian tak terpisahkan dari proses perkembangan kognitif manusia.

Dan, pada proses adaptasi inilah kita pada akhirnya mampu menyerap informasi-informasi baru, mengubah ide-ide lama menjadi sebuah bentuk ide yang lebih segar, serta memperlajari perilaku baru yang nantinya bisa membuat kita bertahan pada tatanan dunia yang sama sekali berbeda?—?kemampuan kita dalam melakukan adaptasi ini juga memberikan jaminan lebih tinggi untuk tetap bertahan hidup, pada situasi apa pun.

Seperti yang terjadi setahun belakangan ini, seluruh manusia di dunia dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, dari kehilangan pekerjaan, tutupnya banyak bisnis di segala bidang, tertundanya acara-acara penting seperti upacara kelulusan, pernikahan, bahkan perayaan hari raya, liburan yang tertunda, hingga sulitnya untuk sekadar bertemu dengan teman di sebuah kafe untuk meminum kopi bersama.

Pada masa-masa seperti ini, kita dihadapkan pada situasi yang tidak menentu. Dan, di tengah segala ketidakpastian ini, kita—manusia—mesti mencari cara untuk bertahan hidup agar kita bisa menjadi bagian yang kelak bisa merayakan jika situasi ini telah membaik dan kita bisa hidup normal seperti sedia kala.

Pada awalnya mungkin semuanya tidak terasa begitu sulit, kita hanya perlu tetap diam di rumah sembari menjalankan kehidupan senormal mungkin dengan ketetapan yang telah disepekati dan diatur pemerintahan. Namun, ketika kondisi semakin berlarut-larut, ketika kita tak tahu lagi kira-kira kapan kita bisa berjalan di taman dengan tenang, ketika banyak harapan yang mulai pupus karena ekonomi yang juga senantiasa terjun bebas dari hari ke hari.

Di saat itulah, semuanya terasa menjadi kacau. Tidak mengherankan jika semakin banyak orang, bahkan keluarga atau teman-teman terdekat kita yang mulai membutuhkan pertolongan profesional untuk menghadapi stres yang kian hari memberatkan langkah kaki mereka untuk sekadar turun dari tempat tidur.

Sebagai seorang yang lebih menikmati “waktu sendiri”, saya sebenarnya menyukai konsep pembatasan kerumunan yang ditetapkan dalam kurun waktu setahun ini. Awalnya saya juga merasa bahwa melakukan hal yang “saya banget” ini pasti tidaklah sulit, toh, sebelumnya saya telah menjalani hidup dengan cara yang sama.

Namun, bayangan menyenangkan dengan iming-iming banyaknya me time yang akan saya punyai ini terkikis bersama berlalunya waktu. Sesekali saya juga ingin kembali bertemu dengan teman-teman di kafe langganan dan membicarakan banyak hal bersama, akan tetapi karena kondisi yang juga tak kunjung stabil semuanya menjadi pupus bersama rasa takut yang semakin membesar.

Seperti kebanyakan orang, tentu saja saya tak tinggal diam, banyak aktivitas di dalam rumah yang saya lakukan untuk mengalihkan rasa jenuh yang semakin menggila, dari belajar desain ilustrasi, olah raga indoor, mempelajari bahasa-bahasa baru, mencoba konsisten menulis, membuat podcast baru, mencoba kembali menekuni book photography, berusaha tetap membaca setidaknya sepuluh halaman sehari, atau melakukan hobi-hobi lainnya. Sudah bisa diprediksi, jika usaha-usaha itu tidak ada yang bertahan lama, semuanya terasa sia-sia, kecuali satu hal, membaca.

Awalnya saya mengira jika membaca pada saat otak kita dipenuhi dengan bayangan-bayangan yang tidak pasti dan hati dipenuhi dengan kecemasan-kecemasan hari esok, tidak akan bekerja dengan baik. Namun, saya salah, justru dengan membaca hati saya menjadi lebih tenang, dan otak yang sebelumnya terasa penuh dengan hal-hal yang saya tidak ketahui itu pun seperti diajak bermain ke wahana menyenangkan yang memberikan banyak pilihan permainan.

Jika sebelum pandemi ini saya lebih banyak membaca karya fiksi, malah pada waktu setahun ini saya lebih banyak menghabiskan perhatian saya dengan membaca karya-karya non-fiksi, dari buku filsafat hingga perkembangan diri semuanya seperti menjadi cemilan lezat bagi saya.

Salah satu buku yang memberikan kesan bagi saya adalah buku karangan Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga yang berjudul Berani Tidak Disukai. Buku ini disusun berdasarkan teori Adler mengenai konsep psikologi individual-nya. Disampaikan dengan gamblang dan sangat mudah diikuti, sehingga buku ini yang tadinya membawa bahasan yang cukup “berat” dan “serius” menjadi bahan bacaan yang menyenangkan.

Sebagai seseorang yang pernah belajar ilmu psikologi, nama Adler tentulah bukan nama baru dan tentu saja sebelumnya saya sudah kerap mendengar namanya disebut saat di bangku perkuliahan. Namun, yang berbeda adalah pada buku ini, teori Adler dibuat sedemikian rupa sehingga dipecah menjadi sub-sub kecil dengan judul yang bisa dikatakan sangat related dengan kehidupan saat ini.

Dulu mungkin saya hanya membacanya tak lebih dari sekadar teori saja dan tentu saja dengan pemahaman yang lebih terbatas, sehingga esensi utama dari apa yang disampaikan oleh Adler tidak bisa saya resapi saat itu.

Dan, pada buku Berani Tidak Disukai ini, melalui percakapan dua tokoh utama, yakni pemuda dan filsuf, saya seperti diajak untuk berdiskusi langsung sembari mencocokan apa yang tengah mereka perbincangkan dengan kondisi saat ini, atau pada kejadian-kejadian yang biasanya kerap saya temui di keseharian saya.

Tentu saja hal ini membuat saya untuk memberikan banyak penanda pada buku, karena teramat banyak hal penting yang disampaikan. Sebenarnya, apa yang disampaikan di dalam buku terkadang bukanlah sebuah hal baru, hanya dengan membaca buku ini kita seakan kembali diingatkan tentang hal yang sebenarnya kita tahu tetapi kerap kita lupakan, jadi bisa dikatakan bahwa buku ini seperti pengingat bagi kita.

Seperti yang tertulis di sampul bukunya, “Fenomena dari Jepang untuk membebaskan diri, mengubah hidup, dan meraih kebahagiaan sejati,” pernyataan ini menurut saya sangat sesuai dengan apa yang tengah saya cari di tengah banyaknya ketidakpastian ini, dan saya juga yakin bahwa hal inilah yang kita semua butuhkan!

Pada kondisi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini, ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan, dan di saat yang sama banyak pula orang yang masih mempunyai pekerjaan, tetapi terlalu sering “mengeluh” atau melakukan flexing di media sosial mereka.

Hal ini mungkin sederhana jika situasinya lebih stabil, tetapi seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kita semua tengah terjebak di tengah labirin ketidakpastian, jadi hal yang sederhana pun bisa menjadi pemantik kecemburuan sosial yang tidak diinginkan. Dan, di buku ini fenomena tersebut juga dibahas. Jadi, dengan membaca buku ini kita seperti diberikan petunjuk apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana kita harus menghadapinya.

Jika kalian punya cukup waktu dan kesempatan untuk mendapatkan buku ini, saya sangat menyarankan agar kalian bergabung dengan saya untuk membacanya. Karena di dalam buku ini ada begitu banyak tema-tema keresahan yang akhir-akhir ini seperti momok yang tidak ingin meninggalkan kita. Paling tidak, jika kita tidak bisa mengubah apa yang tengah terjadi, kita bisa mempersiapkan diri untuk bisa menghadapi apa pun itu dengan cara yang terbaik.

Manusia tidak digerakkan oleh pencetus di masa lalunya, namun bergerak menuju tujuan yang mereka tetapkan sendiri. (Berani Tidak Disukai, hal. 23)



*Artikel sebelumnya pernah diunggah di sini.

Disclaimer: Artikel yang ditulis Iyas Utomo tidak mewakili pandangan redaksi Hypeabis.id. Seluruh isi tulisan merupakan tanggungjawab penulis.

SEBELUMNYA

WhatsApp Bakal Hadirkan Fitur Jajak Pendapat

BERIKUTNYA

Menurut Laporan Ini Daya Saing Digital Indonesia Makin Membaik & Merata 

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: