Kesetaraan Jadi Tema Peringatan Hari HAM Sedunia 2021
10 December 2021 |
12:39 WIB
Setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia. Momen ini menjadi pengingat bagi warga dunia akan hak-hak asasi setiap insan manusia. Pada peringatan tahun ini, United Nations Human Rights Office of The High Commissioner (OHCHR), mengangkat tema kesetaraan.
Tema tersebut diusung untuk menegaskan marwah hak asasi manusia yang terletak pada prinsip-prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. Lebih dari itu, kesetaraan juga dinilai bisa memutus siklus kemiskinan.
Dalam masyarakat yang setara, setiap orang berhak atas kesempatan yang sama, setiap orang berhak atas lingkungan yang sehat, serta dapat mengatasi akar penyebab konflik dan krisis di dunia.
Menurut Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, kesetaraan berarti bahwa setiap orang merangkul keragaman dan menuntut agar semua diperlakukan tanpa diskriminasi apapun.
“Kesetaraan berarti setiap orang memiliki akses vaksin Covid-19, bukan hanya negara-negara kaya dan setiap orang dapat hidup bermartabat, tidak peduli siapa mereka atau di mana mereka dilahirkan,” katanya seperti dikutip dari laman resmi OHCHR, Jumat (10/12/2021).
Pada kesempatan ini juga Bachelet menyerukan agar setiap negara membuat langkah-langkah yang berdasarkan hak asasi manusia untuk mengatasi ketidaksetaraan yang meluas dan diskriminasi struktural.
Menurutnya, hal ini membutuhkan komitmen politik baru, partisipasi semua orang–terutama yang paling terpengaruh, serta distribusi kekuasaan, sumber daya, dan peluang yang lebih adil.
(Baca juga: Menjadi Manusia Ajak Peduli ODGJ dengan Kampanye Kita Manusia)
Peringatan Hari HAM Sedunia tiap 10 Desember bermula saat Majelis Umum PBB mengumumkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) pada 1948.
Saat itu, perwakilan dari 50 negara anggota PBB berkumpul di bawah bimbingan Eleanor Roosevelt, Ibu Negara AS pada 1933-1945, untuk menyusun daftar semua hak asasi manusia yang harus dinikmati semua orang di seluruh dunia.
Mengutip dari Amnesty International UK, deklarasi tersebut dilatarbelakangi peristiwa traumatis dari Perang Dunia Kedua, di mana sejak saat itu hak asasi manusia tidak selalu dihormati secara universal. Pemusnahan hampir 17 juta orang selama Holocaust, termasuk 6 juta orang Yahudi adalah beberapa contoh kelam diskriminasi HAM di dunia.
Akhirnya, setelah perang, pemerintah di seluruh dunia melakukan upaya bersama untuk mendorong perdamaian internasional dan mencegah konflik. Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengumumkan UDHR yang berisikan 30 hak dan kebebasan milik setiap manusia di dunia. Hal ini juga yang menjadi cikal bakal terbentuknya dasar hukum hak asasi manusia internasional.
30 hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam UDHR termasuk hak untuk bersuara, hak untuk kebebasan dari penyiksaan, hak atas pendidikan, dan termasuk hak-hak sipil dan politik seperti hak untuk hidup, hak untuk privasi, hak atas jaminan sosial dan kesehatan.
UDHR menandai perubahan penting dengan berani menyatakan bahwa semua manusia bebas dan setara, terlepas dari warna, kepercayaan atau agama. Untuk pertama kalinya, perjanjian global menempatkan manusia sebagai inti agendanya, bukan politik dan kekuasaan.
Editor: Avicenna
Tema tersebut diusung untuk menegaskan marwah hak asasi manusia yang terletak pada prinsip-prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. Lebih dari itu, kesetaraan juga dinilai bisa memutus siklus kemiskinan.
Dalam masyarakat yang setara, setiap orang berhak atas kesempatan yang sama, setiap orang berhak atas lingkungan yang sehat, serta dapat mengatasi akar penyebab konflik dan krisis di dunia.
Menurut Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, kesetaraan berarti bahwa setiap orang merangkul keragaman dan menuntut agar semua diperlakukan tanpa diskriminasi apapun.
“Kesetaraan berarti setiap orang memiliki akses vaksin Covid-19, bukan hanya negara-negara kaya dan setiap orang dapat hidup bermartabat, tidak peduli siapa mereka atau di mana mereka dilahirkan,” katanya seperti dikutip dari laman resmi OHCHR, Jumat (10/12/2021).
Pada kesempatan ini juga Bachelet menyerukan agar setiap negara membuat langkah-langkah yang berdasarkan hak asasi manusia untuk mengatasi ketidaksetaraan yang meluas dan diskriminasi struktural.
Menurutnya, hal ini membutuhkan komitmen politik baru, partisipasi semua orang–terutama yang paling terpengaruh, serta distribusi kekuasaan, sumber daya, dan peluang yang lebih adil.
(Baca juga: Menjadi Manusia Ajak Peduli ODGJ dengan Kampanye Kita Manusia)
Eleanor Roosevelt dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, November 1949 (Dok. Amnesty Internasional UK)
Sejarah Hari HAM Sedunia
Peringatan Hari HAM Sedunia tiap 10 Desember bermula saat Majelis Umum PBB mengumumkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) pada 1948.
Saat itu, perwakilan dari 50 negara anggota PBB berkumpul di bawah bimbingan Eleanor Roosevelt, Ibu Negara AS pada 1933-1945, untuk menyusun daftar semua hak asasi manusia yang harus dinikmati semua orang di seluruh dunia.
Mengutip dari Amnesty International UK, deklarasi tersebut dilatarbelakangi peristiwa traumatis dari Perang Dunia Kedua, di mana sejak saat itu hak asasi manusia tidak selalu dihormati secara universal. Pemusnahan hampir 17 juta orang selama Holocaust, termasuk 6 juta orang Yahudi adalah beberapa contoh kelam diskriminasi HAM di dunia.
Akhirnya, setelah perang, pemerintah di seluruh dunia melakukan upaya bersama untuk mendorong perdamaian internasional dan mencegah konflik. Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengumumkan UDHR yang berisikan 30 hak dan kebebasan milik setiap manusia di dunia. Hal ini juga yang menjadi cikal bakal terbentuknya dasar hukum hak asasi manusia internasional.
30 hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam UDHR termasuk hak untuk bersuara, hak untuk kebebasan dari penyiksaan, hak atas pendidikan, dan termasuk hak-hak sipil dan politik seperti hak untuk hidup, hak untuk privasi, hak atas jaminan sosial dan kesehatan.
UDHR menandai perubahan penting dengan berani menyatakan bahwa semua manusia bebas dan setara, terlepas dari warna, kepercayaan atau agama. Untuk pertama kalinya, perjanjian global menempatkan manusia sebagai inti agendanya, bukan politik dan kekuasaan.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.