Festival Film Indonesia (FFI) 2025 resmi meluncurkan tema dan logo barunya yang bertajuk Puspawarna Sinema Indonesia. Sebuah tajuk yang menggugah untuk mengajak publik turut merayakan keberagaman wajah sinema dalam negeri yang makin beragam.
Logo yang dipublikasikan menampilkan siluet bunga khas Nusantara, seolah menegaskan posisi FFI sebagai taman yang menaungi seluruh elemen sinematik para sineas-sineas terbaiknya. Logo dan tema tersebut diunggah langsung di akun Instagram resmi Festival Film Indonesia.
“Menyambut kembali Festival Film Indonesia 2025,” tulis mereka.
Namun, ada satu hal mencolok dari unggahan resmi FFI tentang pengumuman tema penyelenggaraan tersebut, yakni absennya logo Badan Perfilman Indonesia (BPI), sebuah lembaga yang sejak 2014 konsisten terlibat dalam penyelenggaraan FFI. Logo yang muncul hanya milik Kementerian Kebudayaan dan logo FFI itu sendiri.
Menanggapi hal tersebut, akun resmi BPI merilis pernyataan melalui unggahan story di media sosial. Mereka menyampaikan terima kasih atas keputusan untuk tidak mencantumkan logo mereka dalam materi resmi FFI 2025.
BPI juga mengumumkan bahwa Surat Keputusan (SK) Komite FFI yang sedang berjalan telah dicabut sejak peluncuran logo tahun ini, yang berarti BPI tidak lagi bertanggung jawab atas pelaksanaan FFI 2025.
Ketua Umum BPI, Gunawan Paggaru, saat dikonfirmasi oleh Hypeabis.id, menyebut absennya logo BPI sebagai sinyal penting yang perlu disikapi secara serius. Gunawan tak menafikan bahwa ada komunikasi yang tidak berjalan dengan baik antara komite FFI periode sekarang dengan BPI.
Padahal, dalam hal penyelenggaraan FFI, dua lembaga tersebut bersama dengan Kementerian Kebudayaan mestinya saling bahu-membahu untuk menyukseskan anugerah penghargaan paling prestisius di perfilman Indonesia ini.
Secara struktur, lanjut Gunawan, Komite FFI berada di bawah naungan BPI, dengan SK penunjukan yang juga diterbitkan oleh BPI berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, menurutnya, pelepasan Komite dari struktur BPI dapat dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap SK, bahkan terhadap Undang-Undang itu sendiri.
“Komite FFI sebagai penyelenggara FFI itu SK (Surat Keputusan) dikeluarkan oleh BPI dan itu diatur oleh undang-undang. Maka, saya bilang ini adalah pengkhianatan terhadap SK. Saya belum kasar saja bilang bahwa ini juga sebenanrya mengkhianati Undang-undang,” ungkap Gunawan.
Gunawan menjelaskan bahwa BPI merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, dan disahkan lewat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 2014.
Lembaga ini mewakili masyarakat film dan bertugas meningkatkan partisipasi mereka dalam dunia perfilman, termasuk dalam pelaksanaan FFI. Kini, ia menilai, peran itu terpinggirkan.
Gunawan menekankan bahwa berdasarkan undang-undang, BPI memiliki mandat untuk turut terlibat, atau paling tidak dimintai pendapat, dalam berbagai penyelenggaraan kegiatan perfilman, terutama jika kegiatan tersebut didanai oleh anggaran negara.
“Memang, tidak selalu BPI yang menyelenggarakan. Akan tetapi, undang-undang menyuruh dia untuk menentukan komitenya [FFI, red],” imbuhnya.
Renggang Hubungan Versi BPI
Unggahan Instagram Story Badan Perfilman Indonesia, Kamis (13/6/2025). (Sumber gambar: Instagram)
Gunawan juga mengungkap bahwa hubungan antara BPI dan Komite FFI mulai merenggang dalam dua tahun terakhir. Hal ini ditandai dengan tidak dilibatkannya BPI dalam penyusunan kata pengantar buku resmi FFI. Namun, itu hanyalah masalah administratif.
Namun kini, masalahnya dianggapnya lebih serius. Gunawan mengatakan bahwa penyelenggaraan FFI seharusnya dimulai sejak awal tahun, mengingat acara ini biasa digelar pada Oktober-November.
Namun, pada tahun ini, hingga Maret-April, dirinya merasa belum ada pergerakan yang signifikan. Karena itu, BPI melayangkan surat resmi dan mengundang Komite FFI untuk bertemu.
“Nah, tahun ini kok seperti enggak gerak-gerak nih. Udah Maret ke April, tapi enggak gerak. BPI merasa punya tanggung jawab di situ untuk mempertanyakan,” ungkap Gunawan.
Dia tak menampik, biasanya dalam pengerjaan festival itu ada masalah di dalam penganggaran. Rata-rata kementerian itu dananya baru bisa dipakai ketika melewati Maret atau April. Padahal, dirinya berharap Januari sudah mulai. Hal ini penting karena FFI biasanya digelar Oktober-November.
Lantaran seperti tak ada pergerakan, dua bulan yang lalu atau Maret, pihaknya memanggil Komite FFI melalui surat resmi. Undangan pertemuan pertama ditunda. Gunawan mengerti mungkin karena jadwal dan lain sebagainya.
Pada undangan kedua, pertemuan ini barulah terjadi dan itu dilakukan secara tatap muka. Di situ, pihaknya berbicara panjang lebar dengan Komite FFI. Obrolan berlangsung cair, tetapi kemudian diketahui ada perbedaan pandangan.
“Pada saat itu, ada miss atau apa mungkin enggak tahu. Ternyata komite merasa tidak di bawah BPI. Nah, ini masalahnya ada perbedaan point of view. Pada saat ada pendapat seperti itu, saya merasa tidak perlu ngomong lagi dan saya tidak perlu meminta pertanggungjawaban [soal kejelasan FFI tahun ini] dong,” imbuhnya, pihaknya pun berencana menghubungi Kementerian Kebudayaan, tapi sebelum itu dia menggelar pertemuan dengan stakeholder dan perkumpulan asosiasi film di BPI.
Hasil dari diskusi di internalnya, semuanya sepakat bahwa seharusnya FFI secara struktural masuk ke BPI karena mewakili masyarakat film. Sebab, selama ini pun begitu. Jika ada perubahan, mestinya dilakukan secara struktural juga melalui mekanisme yang sesuai.
Gunawan mengaku sudah pernah menyampaikan ke dirjen terkait. Sebab, sebelumnya juga ada kejanggalan, terutama terkait SK Dirjen sebelumnya terkait dengan Komite FFI, tetapi tidak berdasarkan SK BPI. Padahal, katanya, harusnya berdasarkan SK BPI, karena BPI yang menunjuk komite ini.
“Saat ini, saya sedang menunggu respons dari pak menteri, pak dirjen, maupun ketua komite. Sudah saya share ini ke mereka. Hari Sabtu [14/6/2025], saya akan menggelar paripurna seluruh stakeholder, ada 65 organisasi, untuk membahas tentang ini,” tegasnya.
Gunawan berharap permasalahan ini segera mendapat titik terang, mengingat proses penyelenggaraan FFI cukup panjang dan kompleks. Ia khawatir permasalahan ini akan berdampak pada kualitas penyelenggaraan FFI 2025.
Dengan tidak adanya logo BPI, Gunawan menegaskan lembaganya tidak lagi terlibat dalam edisi FFI tahun ini. Bukan hanya itu saja, dia pun akan mencabut SK komite FFI yang tengah berjalan.
“[Jadi, legitimasi komite FFI berjalan itu] tidak ada sekarang. Atas dasar apa mereka menyelenggarakan itu? FFI itu selalu digelar oleh masyarakat film. Yang dianggap masyarakat film itu BPI. Kalau tidak ada BPI, berarti mereka menyelenggarakan sendiri. Apakah mereka punya hak? Pemerintah saja tidak punya hak,” jelasnya.
Gunawan mengatakan dalam sejarahnya, bahkan sejak zaman Usmar Ismail, FFI itu selalu digelar oleh masyarakat film. Memang, dalam perjalanannya, ada keterlibatan pemerintah. Namun, itu lebih pada pembiayaan, penyelenggara tetap masyarakat film.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.