Kolase foto di belakang ruko Phnom Penh. (Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Berburu Kuliner Khas Phnom Penh, Kamboja: Kelezatan Tersembunyi di Balik Ruko

29 July 2023   |   17:00 WIB
Image
Dika Irawan Asisten Konten Manajer Hypeabis.id

Like
Suasana jalan di Phnom Phen, Kamboja, sore itu cukup ramai lancar. Kepadatan ada pada beberapa titik. Mobil berjenis Multi Purpose Vehicle (MPV) yang kami melaju membelah keramaian di kota terpadat di Kamboja itu. Sampai pada satu titik, mobil tersebut terhenti di area ruko. 

Farah, warga lokal yang menjadi pemandu wisata dadakan, mengajak kami masuk ke dalam sebuah toko ponsel. Layaknya turis, kami hanya mengikutinya. Namun, kami bukanlah wisatawan sejatinya. Kedatangan kami di Kamboja untuk meliput ajang ASEAN Para Games 2023, atas undangan PT Bayan Resources Tbk. 

Beruntung, saat di Phnom Penh, kami didampingi oleh Farah. Dia adalah naradamping untuk kontingen ASEAN Para Games Indonesia di Kamboja. Farah ini begitu terampil berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Maklum, beberapa tahun lalu, dia pernah menimba ilmu di Malang, Jawa Timur.

Baca juga: ASEAN Para Games 2023: Hattrick, Indonesia Juara Umum di Kamboja

Ketika  menginjakan kaki pertama kali di Phnom Penh, Farah menjanjikan kami untuk memburu kuliner khas. Dia pun membawa kami ke kawasan ruko itu. Kami cukup bingung, karena di sana tak terlihat gerobak atau kios penjaja kuliner. 

Ketika kami memasuki toko ponsel itu, Farah tampak bercakap-cakap dengan penjaga toko ponsel. Menggunakan bahasa Khmer, tentu kami tidak mengerti. Kemungkinan sekadar permisi.  

Ternyata, kami hanya melewati toko itu. Farah justru membawa kami ke belakang ruko. Di sinilah, tempat kuliner yang dinjanjikan perempuan berjilbab tersebut. Suasana ruko-ruko ini sekilas mirip dengan kawasan ruko-ruko di Glodok, Jakarta. 
 

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

(Sumber foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Farah bercerita bahwa beberapa ruko di Phnom Penh tidak berpemilik. Masalah ini berhubungan dengan sejarah kelam bangsa Kamboja pada masa lalu. Ketika pemimpin Khmer Merah, Pol Pot berkuasa, banyak penduduk kota Phnom Penh dipaksa untuk pergi ke desa. Mereka diharuskan untuk bercocok tanam di sawah-sawah yang dimiliki bersama. 

Alhasil, Phnom Pen pun kala itu berubah menjadi kota hantu. Ibu kota negara ini ditinggalkan para penduduknya. Sebagian besar dari mereka tidak dapat pulang kembali ke Phnom Penh, karena tewas diekeskusi, penyakit, atau kelaparan. Ruko-ruko yang mereka tinggalkan pun akhirnya tidak bertuan.

Setelah beberapa langkah, terlihat sekumpulan warga tengah duduk membersihkan nangka. Sementara itu, tampak seorang ibu paruh baya sedang memasak sesuatu di atas bale. Tidak lama, mereka pun menyapa Farah. Rupanya, mereka sudah saling kenal. 

Dia pun memesankan beberapa menu kepada ibu paruh baya yang mengenakan baju merah corak bunga itu. Si ibu segera memasak pesanan tersebut. 

Tidak ada gerobak. Tidak ada kios yang berjejer. Hanya ada bale. Pada salah satu bagian dinding ruko, tertempel stiker bertuliskan halal.  Kami pun dipersilahkan untuk duduk di kursi jongkok. 

Sembari menunggu ibu itu menyelesaikan masakannya, kami ditawari minuman es teh hijau. Selain es itu, minuman bersoda cukup populer di sini. Kami sempat ditawari, tetapi menolaknya karena minuman sejenis banyak ditemui di Jakarta. Es teh hijau ini memiliki rasa yang menyegarkan dan manis. 
 

(Foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

(Foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Farah bercerita bahwa makanan di area belakang ruko ini ramah untuk muslim. Penjualnya adalah salah satu komunitas kecil muslim di Phom Phen. Di kota tersebut tersebar beberapa komunitas muslim, dengan kelompok terbesar berada di lokasi dekat sungai Tonle Sap. 

Sekitar 15 menit menunggu, menu yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba. Satu menu terdiri atas ikan notopterus notopterus (belida), jagung dan pare goreng. Polos, tanpa campuran bumbu. Seklias menu ini mengingatkan pada menu goreng-gorengan di Tanah Air. 

Ikan itu dipotong kecil-kecil. Kemudian, digoreng bersamaan dengan potongan-potongan pare.  “Menu ini namanya pahat taislat rum pelai,” ujar Farah kepada kami.

Soal ikan notopterus-notopterus, di Indonesia dikenal dengan sebutan belida Jawa. Ikan ini banyak dijumpai di sungai-sungai Kalimantan, Sumatra, dan Jawa. Di Phom Phen, ikan menjadi salah satu penghuni sungai Mekong. 

Belum selesai kami mencicipi pahat taislat rum pelai, menu lainnya datang berupa sate. Farah menyebut menu itu dengan nama sach ko arng. Sajian ini adalah sate daging sapi, dengan bumbu gula merah, serai, gula putih, dan kunyit. Ketika dicicipi, rasanya cenderung manis, dengan kombinasi rasa khas serai, dan kunyit. 

Bila di Indonesia, kita biasa mencicipi satai dengan nasi atau lontong, maka di Kamboja roti menjadi makanan pendamping satai. Namanya, roti nom pang. Kami pun berkesempatan menjajal roti itu. Bentuknya panjang dan berukuran besar. 

Rasanya tawar, tetapi teskturnya keras. Roti ini persis dengan roti baget. Faktanya, memang ada hubungan sejarah antara baget dan nom pang
 

(Foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

(Foto: Hypeabis.id/Dika Irawan)

Kebiasaan makan roti masyarakat Kamboja ini merupakan warisan dari penjajah Prancis (1863-1953). Bangsa Prancis mengenalkan baget pada masyarakat Kamboja. Pang sendiri bermakna roti dalam bahasa Khmer. Kata itu diperkirakan merupakan derivasi dari pain, yang berarti roti dalam bahasa Prancis. 

Satu hal yang membuat penasaran kami adalah nasi. Kami tidak menemukan makanan pokok bangsa Asia Tenggara itu di sini. Usut punya usut, menurut keterangan Farah, nasi bukanlah makanan utama di sini. Mereka menganggap nasi makanan mewah, karena sulit ditemukan di sini.

Pernyataan Farah itu memang sejalan dengan data ASEAN Statistical Publication 2021. Negara yang terletak di Semenanjung Indochina bagian selatan ini, menghasilkan beras sebanyak 10,93 juta metrik ton pada 2020. Angka ini menempatkan Kamboja berada di peringkat 6 dari 9 negara penghasil beras di kawasan ASEAN. 

Selepas mencicipi satai sapi dan roti nom pang, perburuan kuliner kami pun rampung. Sebagai penutup, kami disuguhkan nangka untuk mencuci mulut. Menariknya, nangka tersebut masih setengah matang. Alhasil ketika digigit masih cukup keras. Namun, itulah kebiasaan mengonsumsi nangka masyarakat di sini. 

Sebelum kami berpamitan, salah seorang pria antusias menyapa kami. Dia hanya berkata Indonesia, Indonesia. Selebihnya menggunakan bahasa Khmer, yang kami tidak mengerti. Kami hanya membalasnya dengan senyuman. 

Menurut Farah, warga Kamboja begitu menghormati orang Indonesia. Bagi mereka, Indonesia adalah negara yang maju. Oleh karenanya, ketika ada insiden salah pasang bendera pada ajang pembukaan Sea Games, warga Kamboja merasa malu dan meminta maaf atas kealfaan itu.

Kehangatan dan keramahan yang diperlihatkan warga Kamboja itu membuat kami seolah berada di negara sendiri. Walau sesaat, tetapi perjalanan kami terasa berkesan. Tidak hanya karena kuliner, tetapi juga keakraban para warga di sana. 

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Gita Carla

SEBELUMNYA

Rute ke Festival Lintas Melawai Blok M, Bisa Naik Transjakarta, MRT, atau KRL

BERIKUTNYA

Lenggak Lenggok Busana Retro era 80-90an di Hari Ke-2 Festival Lintas Melawai Blok M

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: