Jual Ginjal Demi Uang, Pakar Sebut Tak Masuk Akal
16 January 2023 |
14:08 WIB
1
Like
Like
Like
Baru-baru ini, Indonesia dikejutkan dengan kasus dugaan percobaan perdagangan organ ginjal yang terjadi di Maros, Sulawesi Selatan. Remaja berusia 14 tahun dan 17 tahun rela menghabisi anak 11 tahun dengan tujuan mengambil ginjal bocah tersebut untuk dijual di situs online.
Ketua ASRI Urology Center (AUC) Nur Rasyid prihatin mendengar kabar tersebut. Menurut Nur, peristiwa itu terjadi lantaran kemampuan membaca masyarakat masih kurang.
Sebab, proses pengambilan ginjal dan transplantasi tidak bisa dilakukan semudah itu. Selain itu, transplantasi organ tidak bisa dilakukan atas dasar jual beli.
Nur mengatakan ada persyaratan panjang sebelum organ tubuh, seperti ginjal, ditransplantasi ke pasien yang membutuhkan. Salah satunya ialah ginjal harus dipastikan cocok terlebih dahulu dengan kebutuhan pasien, sebelum akhirnya dilakukan serangkaian tindakan lanjutan.
Baca juga: Menengok Kemajuan Teknologi Transplantasi Ginjal di Indonesia
Selain itu, proses pengambilan ginjal juga harus dilakukan di kamar operasi dan dalam waktu bersamaan ditransplantasikan ke orang lain.
“Tidak akan pernah terjadi, organnya diambil di tempat bukan rumah sakit dan dikerjakan di hari berbeda. Sebab, setiap organ memiliki waktu sangat pendek. Ginjal itu hanya bertahan 6 jam sebelum akhirnya dipakai orang lain,” ungkap Nur dalam diskusi Keberhasilan Transplantasi Ginjal di Indonesia: Launching Transplantasi Ginjal Siloam Hospitals ASRI.
Proses transplantasi organ memang hal yang kompleks. Dengan cara yang legal pun, kata Nur, pendonor harus melalui serangkaian tes panjang sebelum akhirnya dinyatakan lolos dan diperbolehkan untuk mendonor.
Di RS Siloam ASRI, calon pendonor akan bertemu dengan tim khusus yang akan menjelaskan soal proses transplantasi organ. Kemudian, pendonor akan bertemu dengan tim advokasi yang berisi dokter psikiater, legal, medicolegal, dan lainnya.
Rangkaian proses tersebut untuk memastikan pendonor dalam keadaan sehat sebelum maupun sesudah transplantasi sekaligus memastikan tidak ada motif uang di dalamnya.
Data ASRI sampai Desember 2022, ada 448 pendonor yang mesti disaring sebelum melakukan 215 transplantasi. Sepanjang Juni 2017 hingga Desember 2022 tersebut, sebanyak 91 persen pendonor ditolak karena alasan adanya kecurigaan komersialisasi.
Meski diklaim angkanya saat ini terus menurun, isu komersialisasi ini terus menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan sepenuhnya. Saat ini, tim advokasi dari rumah sakit masih menjadi bemper utama untuk mencegah hal-hal tersebut.
Padahal, menurut Nur, Indonesia sudah memilih Komite Transplantasi Nasional (KTN) yang fungsinya bisa lebih ditingkatkan. Komite tersebut seharusnya bisa bertugas memfasilitasi pendonor dan penerima sehingga broker-broker nakal tidak lagi berkembang.
Meski sudah ada aturan, pemimpin, tetapi sebagai sebuah badan KTN belum berjalan. Akibatnya, setiap rumah sakit yang melakukan transplantasi ginjal menyiapkan sendiri tim advokasi untuk memfilter calon pendonor. Nur berharap KTN bisa segera menjalankan fungsinya secara total.
“Kalau sudah ada broker resmi, praktik komersialisasi akan tewas dengan sendirinya. Sebab, sudah negara yang langsung mengawasi dan jadi broker resmi,” ujar Nur.
Namun, Nur tak menampik bahwa proses mendonor organ juga memungkinkan adanya kompensasi dan itu sesuai dengan aturan dari banyak negara. Masing-masing negara berbeda nilainya, dia mencontohkan di Arab Saudi kompensasinya minimal Rp150 juta. Di Indonesia belum ada angka resminya.
Baca juga: Mengenal 3 Sumber Donor Ginjal
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Ketua ASRI Urology Center (AUC) Nur Rasyid prihatin mendengar kabar tersebut. Menurut Nur, peristiwa itu terjadi lantaran kemampuan membaca masyarakat masih kurang.
Sebab, proses pengambilan ginjal dan transplantasi tidak bisa dilakukan semudah itu. Selain itu, transplantasi organ tidak bisa dilakukan atas dasar jual beli.
Nur mengatakan ada persyaratan panjang sebelum organ tubuh, seperti ginjal, ditransplantasi ke pasien yang membutuhkan. Salah satunya ialah ginjal harus dipastikan cocok terlebih dahulu dengan kebutuhan pasien, sebelum akhirnya dilakukan serangkaian tindakan lanjutan.
Baca juga: Menengok Kemajuan Teknologi Transplantasi Ginjal di Indonesia
Selain itu, proses pengambilan ginjal juga harus dilakukan di kamar operasi dan dalam waktu bersamaan ditransplantasikan ke orang lain.
“Tidak akan pernah terjadi, organnya diambil di tempat bukan rumah sakit dan dikerjakan di hari berbeda. Sebab, setiap organ memiliki waktu sangat pendek. Ginjal itu hanya bertahan 6 jam sebelum akhirnya dipakai orang lain,” ungkap Nur dalam diskusi Keberhasilan Transplantasi Ginjal di Indonesia: Launching Transplantasi Ginjal Siloam Hospitals ASRI.
Ilustrasi ginjal (sumber gambar: Freepik)
Proses transplantasi organ memang hal yang kompleks. Dengan cara yang legal pun, kata Nur, pendonor harus melalui serangkaian tes panjang sebelum akhirnya dinyatakan lolos dan diperbolehkan untuk mendonor.
Di RS Siloam ASRI, calon pendonor akan bertemu dengan tim khusus yang akan menjelaskan soal proses transplantasi organ. Kemudian, pendonor akan bertemu dengan tim advokasi yang berisi dokter psikiater, legal, medicolegal, dan lainnya.
Rangkaian proses tersebut untuk memastikan pendonor dalam keadaan sehat sebelum maupun sesudah transplantasi sekaligus memastikan tidak ada motif uang di dalamnya.
Data ASRI sampai Desember 2022, ada 448 pendonor yang mesti disaring sebelum melakukan 215 transplantasi. Sepanjang Juni 2017 hingga Desember 2022 tersebut, sebanyak 91 persen pendonor ditolak karena alasan adanya kecurigaan komersialisasi.
Meski diklaim angkanya saat ini terus menurun, isu komersialisasi ini terus menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan sepenuhnya. Saat ini, tim advokasi dari rumah sakit masih menjadi bemper utama untuk mencegah hal-hal tersebut.
Padahal, menurut Nur, Indonesia sudah memilih Komite Transplantasi Nasional (KTN) yang fungsinya bisa lebih ditingkatkan. Komite tersebut seharusnya bisa bertugas memfasilitasi pendonor dan penerima sehingga broker-broker nakal tidak lagi berkembang.
Meski sudah ada aturan, pemimpin, tetapi sebagai sebuah badan KTN belum berjalan. Akibatnya, setiap rumah sakit yang melakukan transplantasi ginjal menyiapkan sendiri tim advokasi untuk memfilter calon pendonor. Nur berharap KTN bisa segera menjalankan fungsinya secara total.
“Kalau sudah ada broker resmi, praktik komersialisasi akan tewas dengan sendirinya. Sebab, sudah negara yang langsung mengawasi dan jadi broker resmi,” ujar Nur.
Namun, Nur tak menampik bahwa proses mendonor organ juga memungkinkan adanya kompensasi dan itu sesuai dengan aturan dari banyak negara. Masing-masing negara berbeda nilainya, dia mencontohkan di Arab Saudi kompensasinya minimal Rp150 juta. Di Indonesia belum ada angka resminya.
Baca juga: Mengenal 3 Sumber Donor Ginjal
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.