Hari Braille Sedunia, Ini Sosok Penemu Huruf Braille
04 January 2023 |
09:31 WIB
Setiap tanggal 4 Januari dunia memperingati Hari Braille Sedunia. Perayaan ini merupakan bentuk apresiasi terhadap penemu huruf Braille, Louis Braille. Perayaan ini juga menjadi momen untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan memperjuangkan kesetaraan hak akses literasi terhadap penyandang disabilitas.
Dikutip melalui situs resmi Persatuan Bangsa Bangsa, Hari Braille Sedunia diperingati sejak 2019. Peringatan ini untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya Braille sebagai alat komunikasi dalam mewujudkan secara penuh hak asasi manusia bagi penyandang tunanetra.
“Braille sangat penting dalam konteks pendidikan, kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta inklusi sosial, sebagaimana tercermin dalam pasal 2 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas,” demikian tertulis.
Baca juga: 7 Penemuan Hebat Einstein untuk Mengenal Alam Semesta
Data PBB menyatakan bahwa saat ini terdapat lebih dari 1 miliar tunanetra di seluruh dunia, baik jarak jauh atau pun jarak dekat. Mereka yang memiliki kondisi ini lebih mungkin berada pada tingkat kemiskinan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan seseorang dengan kondisi mata sempurna.
Kondisi ini dapat membuat ketimpangan seumur hidup antara mereka yang memiliki kemampuan melihat dan tunanetra. PBB menegaskan bahwa Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 atau The 2030 Agenda for Sustainable Development yang diadopsi pada 2015 berkomitmen bahwa tidak ada seorang pun yang akan tertinggal, dan memastikan bahwa semua manusia dapat menikmati kehidupan yang sejahtera dan memuaskan.
Jadi, pada November 2018 melalui Resolusi A/RES/73/161, Majelis Umum memutuskan bahwa 4 Januari adalah Hari Braille Sedunia, dan mengakui bahwa realisasi penuh hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bergantung pada informasi tertulis yang inklusif. Tanggal ini dipilih bertepatan dengan hari lahirnya penemu huruf Braille.
Braille adalah representasi taktil dari simbol alfabet dan numerik enam titik untuk mewakili setiap huruf dan angka, bahkan simbol musik, matematika, dan juga ilmiah. Dengan Braille, mereka yang memiliki kondisi tunanetra dapat membaca buku dan majalah yang sama yang dicetak dalam bentuk font visual. Pemberian nama Braille untuk representasi taktil ini berdasarkan nama penemunya, yakni Louis Braille dari Prancis pada abad ke-19 silam.
Melansir Musée Louis Braille, sang penemu lahir pada 4 Januari 1809 di Coupvray, di Seine-et-Marne. Pada usia tiga tahun, dia mengalami kecelakaan yang membuat tidak bisa melihat. Pada saat itu, Braille kecil melukai mata kanan dengan alat tajam yang ada di toko sadel sang ayah.
Infeksi yang terjadi di kedua matanya membuatnya tidak melihat secara total pada usia lima tahun. Kecerdasannya membuat dia tidak putus ada dengan kondisi yang dialami, dan pada akhirnya membuat alfabet dengan paku yang dipukul ke papan kayu.
Pada usia 10 tahun, tepatnya pada Februari 1819, dia meninggalkan keluarga untuk bersekolah di Royal Institute for the Young Blinds. Bakat dan kecerdasan yang dimiliki membuatnya diterima di sekolah yang didirikan oleh Valentin Hauy pada 1785 itu.
Dua tahun berselang atau ketika berusia 12 tahun, Braille pertama kali mencoba sistem Charles Barbier de la Serre yang disebut sebagai sonografi. Sistem ini menyalin suara fonetik menggunakan dua belas titik menonjol.
Sebelum huruf Braille dikembangkan, ada banyak sistem digunakan untuk membantu tunanetra membaca, kebanyakan menggunakan jenis huruf timbul. Misalnya, buku taktil Valentin Haüy menampilkan versi huruf timbul dari alfabet Romawi. Adapun penemuan Louis Braille dirancang lebih pada sistem taktil daripada pengenalan visual dan akhirnya memungkinkan tunanetra untuk menulis secara mandiri.
Braille sangat antusias dengan sistem Charles Barbier de la Serre lantaran lebih mudah untuk dibaca dan ditulis dibandingkan dengan sistem yang diperkenalkan Valentin Hauy. Namun, sistem ini memiliki kelemahan lantaran hanya bersifat fonetk dan terlalu menonjol untuk pembacaan taktil langsung.
Braille kemudian mulai mengadaptasi dan menyempurnakan sistem Charles Barbier de la Serre antara usia 12 – 16 tahun, dan berhasil membuat alfabet lengkap, termasuk tanda baca, angka dan simbol matematika, dan not musik.
Braille pun berhasil membuat simbol untuk not musik ketika berusia 19 tahun. tidak hanya itu, dia juga berhasil menciptakan penemuan lainnya, yakni decapoint atau raphigraph yang membuat individu dengan kondisi tunanetra dapat menulis untuk orang yang memiliki penglihatan normal.
Braille meninggal pada 6 Januari 1852 karena penyakit tuberkulosis yang diderita di Royal Institut for Blind Youth. Selama hidupnya, sang penemu tidak pernah merasakan kesuksesan dari penemuannya lantaran alfabet Braille baru digunakan 20 tahun setelah kematiannya.
Huruf Braille dalam setiap bahasa dapat berbeda. Misalnya, tanda = dalam bahasa Indonesia berbeda dengan tanda = dalam bahasa Inggris. Dalam bentuknya yang paling sederhana, satu huruf diwakili oleh simbol, tetapi sistem penulisan Braille mengenal apa yang disebut tulisan pendek (tusing) atau dalam tingkat internasional disebut contracted braille, di mana dalam sistem ini satu huruf atau simbol mewakili satu kata.
Braille tidak hanya digunakan untuk menulis buku atau publikasi. Di banyak negara, terutama negara maju, sistem ini juga digunakan pada papan nama di ruang publik, seperti nomor pada lift, pintu, dan menu restoran, serta untuk melabeli barang sehari-hari seperti obat-obatan bahkan nominal pada uang.
Perkembangannya di Indonesia juga telah banyak membantu tunanetra di Tanah Air. Indonesia memiliki majalah berformat Braille sejak 1959 yang diberi nama Gema Braille. Sejauh ini, Gema Braille merupakan satu-satunya majalah berformat Braille di Indonesia yang diproduksi oleh Kementerian Sosial melalui Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) Abiyoso.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dikutip melalui situs resmi Persatuan Bangsa Bangsa, Hari Braille Sedunia diperingati sejak 2019. Peringatan ini untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya Braille sebagai alat komunikasi dalam mewujudkan secara penuh hak asasi manusia bagi penyandang tunanetra.
“Braille sangat penting dalam konteks pendidikan, kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta inklusi sosial, sebagaimana tercermin dalam pasal 2 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas,” demikian tertulis.
Baca juga: 7 Penemuan Hebat Einstein untuk Mengenal Alam Semesta
Data PBB menyatakan bahwa saat ini terdapat lebih dari 1 miliar tunanetra di seluruh dunia, baik jarak jauh atau pun jarak dekat. Mereka yang memiliki kondisi ini lebih mungkin berada pada tingkat kemiskinan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan seseorang dengan kondisi mata sempurna.
Kondisi ini dapat membuat ketimpangan seumur hidup antara mereka yang memiliki kemampuan melihat dan tunanetra. PBB menegaskan bahwa Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 atau The 2030 Agenda for Sustainable Development yang diadopsi pada 2015 berkomitmen bahwa tidak ada seorang pun yang akan tertinggal, dan memastikan bahwa semua manusia dapat menikmati kehidupan yang sejahtera dan memuaskan.
Jadi, pada November 2018 melalui Resolusi A/RES/73/161, Majelis Umum memutuskan bahwa 4 Januari adalah Hari Braille Sedunia, dan mengakui bahwa realisasi penuh hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bergantung pada informasi tertulis yang inklusif. Tanggal ini dipilih bertepatan dengan hari lahirnya penemu huruf Braille.
Braille adalah representasi taktil dari simbol alfabet dan numerik enam titik untuk mewakili setiap huruf dan angka, bahkan simbol musik, matematika, dan juga ilmiah. Dengan Braille, mereka yang memiliki kondisi tunanetra dapat membaca buku dan majalah yang sama yang dicetak dalam bentuk font visual. Pemberian nama Braille untuk representasi taktil ini berdasarkan nama penemunya, yakni Louis Braille dari Prancis pada abad ke-19 silam.
Huruf dan angka pada sistem Braille. (Sumber gambar: Freepik)
Melansir Musée Louis Braille, sang penemu lahir pada 4 Januari 1809 di Coupvray, di Seine-et-Marne. Pada usia tiga tahun, dia mengalami kecelakaan yang membuat tidak bisa melihat. Pada saat itu, Braille kecil melukai mata kanan dengan alat tajam yang ada di toko sadel sang ayah.
Infeksi yang terjadi di kedua matanya membuatnya tidak melihat secara total pada usia lima tahun. Kecerdasannya membuat dia tidak putus ada dengan kondisi yang dialami, dan pada akhirnya membuat alfabet dengan paku yang dipukul ke papan kayu.
Pada usia 10 tahun, tepatnya pada Februari 1819, dia meninggalkan keluarga untuk bersekolah di Royal Institute for the Young Blinds. Bakat dan kecerdasan yang dimiliki membuatnya diterima di sekolah yang didirikan oleh Valentin Hauy pada 1785 itu.
Dua tahun berselang atau ketika berusia 12 tahun, Braille pertama kali mencoba sistem Charles Barbier de la Serre yang disebut sebagai sonografi. Sistem ini menyalin suara fonetik menggunakan dua belas titik menonjol.
Sebelum huruf Braille dikembangkan, ada banyak sistem digunakan untuk membantu tunanetra membaca, kebanyakan menggunakan jenis huruf timbul. Misalnya, buku taktil Valentin Haüy menampilkan versi huruf timbul dari alfabet Romawi. Adapun penemuan Louis Braille dirancang lebih pada sistem taktil daripada pengenalan visual dan akhirnya memungkinkan tunanetra untuk menulis secara mandiri.
Louis Braille. (Sumber gambar: Brittanica)
Braille sangat antusias dengan sistem Charles Barbier de la Serre lantaran lebih mudah untuk dibaca dan ditulis dibandingkan dengan sistem yang diperkenalkan Valentin Hauy. Namun, sistem ini memiliki kelemahan lantaran hanya bersifat fonetk dan terlalu menonjol untuk pembacaan taktil langsung.
Braille kemudian mulai mengadaptasi dan menyempurnakan sistem Charles Barbier de la Serre antara usia 12 – 16 tahun, dan berhasil membuat alfabet lengkap, termasuk tanda baca, angka dan simbol matematika, dan not musik.
Braille pun berhasil membuat simbol untuk not musik ketika berusia 19 tahun. tidak hanya itu, dia juga berhasil menciptakan penemuan lainnya, yakni decapoint atau raphigraph yang membuat individu dengan kondisi tunanetra dapat menulis untuk orang yang memiliki penglihatan normal.
Braille meninggal pada 6 Januari 1852 karena penyakit tuberkulosis yang diderita di Royal Institut for Blind Youth. Selama hidupnya, sang penemu tidak pernah merasakan kesuksesan dari penemuannya lantaran alfabet Braille baru digunakan 20 tahun setelah kematiannya.
Huruf Braille dalam setiap bahasa dapat berbeda. Misalnya, tanda = dalam bahasa Indonesia berbeda dengan tanda = dalam bahasa Inggris. Dalam bentuknya yang paling sederhana, satu huruf diwakili oleh simbol, tetapi sistem penulisan Braille mengenal apa yang disebut tulisan pendek (tusing) atau dalam tingkat internasional disebut contracted braille, di mana dalam sistem ini satu huruf atau simbol mewakili satu kata.
Braille tidak hanya digunakan untuk menulis buku atau publikasi. Di banyak negara, terutama negara maju, sistem ini juga digunakan pada papan nama di ruang publik, seperti nomor pada lift, pintu, dan menu restoran, serta untuk melabeli barang sehari-hari seperti obat-obatan bahkan nominal pada uang.
Perkembangannya di Indonesia juga telah banyak membantu tunanetra di Tanah Air. Indonesia memiliki majalah berformat Braille sejak 1959 yang diberi nama Gema Braille. Sejauh ini, Gema Braille merupakan satu-satunya majalah berformat Braille di Indonesia yang diproduksi oleh Kementerian Sosial melalui Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) Abiyoso.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.