Ilustrasi restoran (Photo by Rod Long on Unsplash)

Pelaku Kuliner, Ini Lho Strategi Agar Sukses Berbisnis di Masa Pandemi

03 July 2021   |   17:50 WIB
Image
Dewi Andriani Jurnalis Hypeabis.id

Genhype tentu sering kan memesan makanan melalui layanan pesan antar dari ojek online, terutama selama masa pandemi Covid-19 ini. Apalagi pemerintah juga melarang kita untuk makan di restoran atau tempat makan, terutama pada saat PSBB atau PPKM.

Kondisi ini ternyata sejalan dengan laporan Food for thought: evolution of food services post-COVID-19 in Asia oleh Kearney, bahwa pengiriman makanan online di Asia meningkat sebanyak 30 persen pada tahun 2020. Padahal di tahun sebelumnya tidak mencapai 20 persen.

Dari survei online yang dilakukan Kearney terhadap lebih dari 900 perwakilan konsumen Indonesia, 34 persen konsumen telah beralih memesan makanan via delivery atau takeout. Namun, 50 persen masih lebih memilih makan di restoran. Adapun 24 persen konsumen telah beralih dari warung makan dan jajanan pinggir jalan ke restoran modern atas faktor prioritas kesehatan dan keselamatan dibandingkan dengan rasa dan harga.

Seiring dengan hal tersebut, agregator makanan juga mengalami pertumbuhan lebih dari 30 persen. Pasalnya, 65 persen dari pengiriman makanan online berasal dari agregator. Di sisi lain, konsep cloud-kitchen juga kian populer dan sudah diterapkan oleh sebagian besar restoran cepat saji untuk mendorong pertumbuhan.

Siddharth Pathak, Partner di Kearney mengatakan selama masa pandemi preferensi masyarakat terus berkembang sehingga perusahaan jasa makanan harus segera melakukan pengaturan dan investasi ulang yang signifikan pada bisnis mereka.

Sebab pelaku industri yang berkembang pesat di tengah penurunan pasar adalah mereka yang beradaptasi dengan model bisnis berbasis teknologi inovatif.  “Dengan pengaturan ulang, biaya bisnis dapat dialokasikan sebanyak 30 persen ke dalam model operasi baru, seperti cloud-kitchen, restoran yang baru, atau restrukturisasi,” ujarnya.

Shirley Santoso, Partner di Kearney mengatakan bahwa restoran perlu beralih ke model hybrid network atau jaringan hibrida yang menggabungkan toko fisik yang lebih kecil, cloud-kitchen dan outlet khusus untuk takeaway.

“Kehadiran restoran flagship akan tetap relevan untuk membangun kehadiran brand, tetapi ukuran akan lebih kecil 15 persen karena berkurangnya pelanggan yang makan di tempat. 30 persen portofolio perusahaan juga akan dialokasikan untuk cloud-kitchen,” ujarnya.

Adapun untuk bisnis layanan makanan mandiri yang lebih kecil, akan lebih baik jika menutup toko fisik mereka kemudian beralih sepenuhnya ke cloud-kitchen. Dalam hal ini, mereka harus memaksimalkan pengguanaan jasa layanan pesan antar makanan agregator.

Pasalnya, sekitar 15 persen hingga 20 persen pesanan akan dipimpin oleh agregator. Industri jasa makanan akan menjadi lebih terkonsolidasi karena agregator makanan mengambil bagian besar dari pasar layanan makanan.

“Para agregator akan terus tumbuh pesat dan mendominasi ekosistem layanan makanan. Agregator telah berhasil membangun loyalitas pelanggan, contohnya dengan memberi kemudahan dalam pemesanan, pelacakan pembayaran, dan pengiriman. Agregator juga terus meningkatkan pengalaman konsumen dengan memberikan platform untuk ulasan restoran serta program langganan atau loyalitas,” ujar Siddharth.


Editor: Indyah Sutriningrum

 

SEBELUMNYA

Yuk Isi Liburan Anak dengan Pilihan Mainan dari Rumah

BERIKUTNYA

Intip Rumah Petakan Triliuner Elon Musk Seharga US$50.000

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: