Ilustrasi bekerja tidak mengenal waktu. (SUmber Gambar; Unsplash/Victoria Health)

Pemerintah dan ILO Sebut Jam Kerja Berebih Tingkatkan Risiko Cacat dan Kematian

28 March 2022   |   15:00 WIB
Image
Desyinta Nuraini Jurnalis Hypeabis.id

Jumlah kecelakaan dan penyakit akibat kerja masih jadi tantangan yang belum bisa diatasi pemerintah karena angkanya meningkat setiap tahun. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mencatat sepanjang Januari hingga September 2021, terdapat 82.000 kasus kecelakaan kerja dan 179 kasus penyakit akibat kerja.

Sementara itu, per Februari 2021, BPJS Ketenagakerjaan mendata peserta aktif jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) dari unsur penerima upah sebanyak 19,26 juta orang dan pekerja formal swasta 40 juta orang. 

Direktur Bina Pengujian K3 Kementerian Ketenagakerjaan Muhammad Idham menyebut mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja angkanya masih tinggi.

Pertama, rendahnya kesadaran pekerja untuk hidup sehat dan displin menggunakan alat pelindung diri (APD) pada saat bekerja di lingkungan yang berisiko kecelakaan.

Kedua, jumlah personel pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang belum memadai. Ketiga, kurang terpenuhinya keselamatan dan kesehatan kerja. Terakhir, kurangnya edukasi K3 kepada pengusaha, pekerja, dan masyarakat umum.

K3 menurut Idham sangat penting diimplementasikan. Selain memberikan perlindungan hidup dan kesehatan di tempat kerja yang menjadi hak dasar pekerja, K3 juga berpengaruh terhadap ekonomi perusahaan karena karyawannya produktif dan sehat. “Kalau tidak ada kecelakaan timbul, perusahaan akan mendapat profit yang banyak,” sebutnya dalam Media Gathering Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sedunia 2022, Senin (28/3/2022).

Lebih lanjut dia mengatakan Indonesia dihadapkan dengan revolusi Industri 4.0 yang menghadirkan beberapa jenis pekerjaan baru. Digitalisasi industri berpengaruh pada hubungan industrial, relasi kerja, tata kerja, dan potensi bahaya perusahaan.

“Munculnya jenis pekerjaan baru kemungkinan potensi bahaya baru bisa terjadi termasuk adanya beban kerja berlebih,” ujar Idham. . 

Untuk itu, menurutnya perlu strategi pengendalian agar tidak terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja, termasuk risiko baru seperti Covid-19. 

Kemenaker pun membuat roadmap dari menyusun Permenaker sampai dengan sosialisasi, termasuk persoalan yang berhubungan dengan stress dalam bekerja. 

“Permen 5 Nomor 18 sedang buatkan mengenai psikologi kerja agar bisa diterapkan dan menurunkan. Kami juga usulkan di G20 agar persoalkan K3 masalah stres akibat Covid menjadi perhatian,” tutur Idham. 

Manajer proyek ILO Abdul Hakim menjabarkan ada 19 faktor risiko di tempat kerja dan menimbulkan kematian. Paling utama ternyata waktu kerja yang panjang.

“Ini yang membahayakan. 750.000 angkanya (yang menimbulkan risiko kecacatan dan kematian),” kata Abdul. 

Kedua, paparan gas dan bau. Ketiga yakni kecelakaan kerja. Keempat yakni pajanan asbestos atau bahan tambang yang terdiri dari magnesium, kalsium, dan silikat yang berbentuk serat. “Kita sampai sekarang belum melarang asbestos,” imbuhnya. 

Sementara itu, Abdul menyampaikan jam kerja panjang juga mempengaruhi faktor kecacatan akibat kerja. Kemudian faktor ergonomi. “Hati-hati jangan ngetik sembarangan di laptop bertahun-tahun. Jangan duduk bersila terus,” tambahnya. 

Hal ini menurutnya harus menjadi perhatian agar bisa mencapai pembangunan berkelanjutan. Karena kebanyakan yang meninggal akibat kerja bisa menjadi faktor meningkatnya kemiskinan.

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Ada Layanan Baru GTA Plus, Apa yang Didapat Pemain? 

BERIKUTNYA

Mengenal Budaya Taplak Haft Sin pada Perayaan Tahun Baru Persia

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: