Seniman Albert Yonathan Setyawan (Sumber gambar: tangkapan layar unggahan akun IG Tumurun Museum)

Cara Perupa Albert Yonathan Setyawan Merekam Waktu Lewat Eksplorasi Tanah Liat

08 June 2024   |   08:02 WIB
Image
Yudi Supriyanto Jurnalis Hypeabis.id

Pameran tunggal Albert Yonathan Setyawan bertajuk Transitory Nature of Earthly Joy akan berlangsung selama 6 bulan di Tumurun Museum. Dalam pameran yang menampilkan banyak karya dengan menggunakan medium tanah liat itu, sang seniman berbicara tentang waktu yang terekam dalam benda.

Karya yang dilihat pada saat ini oleh para pengunjung bukan bentuk akhir dan akan mengalami perubahan bentuk dalam beberapa waktu yang akan datang dalam beberapa waktu mendatang. Lewat seni keramik, Albert ingin menunjukkan banyak hal kepada para pengunjung tentang waktu dan perubahan yang dihasilkannya.

Baca juga: Albert Yonathan Setyawan Gelar Pameran Tunggal Transitory Nature of Earthly Joy di Tumurun Museum

Tidak hanya itu, dia juga mencoba untuk menunjukkan waktu yang terekam dalam bisa membuat benda terlihat dalam sudut pandang yang berbeda. Awal bisa saja menjadi akhir, begitu juga sebaliknya.  

Albert mengungkapkan gagasan pameran ini datang pada 2016 ketika melakukan residensi di Australia. Pada saat itu, pria yang lahir pada 1983 sedang mengerjakan suatu proyek tertarik untuk mengeksplorasi tanah lempung lebih jauh.

Pria yang keseniannya fokus pada seni keramik itu merasa akrab dengan tanah lempung, sehingga tahu karakter dan sebagainya. “Yang menarik saya waktu itu adalah rasa penasaran terhadap media ini [tanah liat] yang bisa ditarik lebih jauh dari kebiasaannya,” ujarnya.

Dalam pemikirannya, tanah liat yang pada umumnya dibentuk dan dibakar untuk menjadi sebuah karya sebenarnya memiliki banyak potensi lantaran terdiri dari berbagai jenis. Selain itu, tanah liat juga memiliki kandungan yang berbeda berdasarkan sumber materialnya.

Ketika memikirkan tentang eksplorasi tanah liat, ingatannya akan kenangan ketika belajar teknik dasar di Institut Teknologi Bandung juga mencuat. Pada suatu waktu, Albert yang sedang mengerjakan karya kecil dengan tanah liat lupa untuk membungkus karya yang belum selesai dengan plastik.

Setelah sekian bulan, dia baru teringat dan mendapati ada tanaman hidup dalam karya yang dibuat dari tanah merah. Keberadaan tanaman yang tumbuh itu menunjukkan bahwa tanah liat yang menjadi medium untuk membuat karya memiliki kandungan banyak mineral dan bahan organik.
 


Perpaduan antara keinginan untuk mengeksplorasi tanah liat dan ingatan masa lampau serta kenyataan bahwa seringkali karya seni memiliki penekanan terhadap hasil yang cenderung tetap dan tidak statis menimbulkan banyak pertanyaan dalam kepalanya dan menjadi kegelisahan.

Dia pun mencoba untuk membuat karya seni yang hasilnya bergerak atau berubah. “Menurut saya, materi apa pun itu, kayu, tanah, logam, tidak pernah tinggal tetap,” katanya.

Albert beranggapan bahwa materi yang ada selalu bereaksi dengan kondisi di sekitarnya. Dia mencontohkan kursi yang kerap dibeli akan mengalami perubahan warna setelah bertahun-tahun digunakan.

Selain itu, batu kasar yang berada di alam lama-lama menjadi halus karena tergerus air, udara, dan sebagainya. Pada akhirnya, Albert berpikir untuk menghasilkan karya seni yang tidak statis dan berkembang terus.

Pada 2016, Albert memutuskan untuk membuat satu set mangkuk dari tanah liat dan merekam proses penghancuranya. Pada saat itu, tanah liat dibentuk, dan dikeringkan. Namun, tidak mengalami pembakaran.

“Jadi, di dalam air hancur perlahan-lahan,” ujarnya. Dalam prosesnya, benda yang sudah jadi menjadi hilang. Setelah itu, dia yang ingat akan tumbuhan yang muncul dalam karyanya ketika masih belajar di perguruan tinggi mencoba untuk bereksperimen dengan menggunakan benih tanaham dan media tanam kompos.

Dia membutuhkan waktu selama 1 tahun dan mengalami banyak kegagalan sampai akhirnya menghasilkan satu karya dengan benih yang tumbuh dan karya yang mengalami perubahan karena pertumbuhan itu. Dalam karya yang mengalami perubahan, Albert ingin berbicara tentang cara waktu terekam dalam benda yang dibuat oleh manusia.

Tidak hanya itu, dia juga mencoba membalikkan waktu dalam karyanya melalui benih tanaman, tanah kompos, dan juga tanah liat lewat karya berbentuk guci.

Guci dalam kebudayaan masyarakat China adalah tempat terakhir individu setelah mengalami kremasi ketika meninggal dunia. Lewat benih dan tanah kompos, karya guci yang dihadirkannya menjadi tempat awal kehidupan tanaman bertumbuh.

Adapun, guci dalam pameran ini bersifat personal dan puitis. Karya ini berangkat dari pengalaman ketika kedua orang tuanya tutup usia saat diri masih kuliah tingkat pertama. Kala itu, dia bertanya-tanya ke mana nyawa seseorang yang telah meninggal.

Dia juga bertanya tentang kehidupan dan kematian akibat kehilangan yang dialaminya itu. Karya seni guci ini merupakan bentuk refleksi tentang diri pribadi, berpikir tentang filosofis, konsep keagamaan, dan sebagainya.

Rekaman waktu tentang kematian dan kehidupan juga terdapat dalam karya-karya replika altar. Tempat bagi banyak masyarakat China untuk berkomunikasi dengan roh leluhur atau keluarga yang sudah tiada itu juga dibuat dalam kondisi berbeda.

Jika pada umumnya banyak orang membuat altar secara permanen, Albert membuat altar, patung dan dupa dari campuran material tanah. Dia berharap, susunan dan bentuk altar akan mengalami perubahan bersamaan dengan benih yang tumbuh dari waktu ke waktu.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda

SEBELUMNYA

Eksplorasi Media & Material dalam Pameran Redefine di Elcanna Gallery

BERIKUTNYA

Band Fiksi Drakor Lovely Runner, Eclipse Masuk Chart Billboard Global 200

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: