Review "The Invisible Man": Horor Thriller Berani tentang Domestic Abuse
27 March 2022 |
23:52 WIB
7
Likes
Like
Likes
Remember that time when Universal thought it would be a lucrative idea to reboot the Universal Monsters cinematic universe into a darker approach, aptly (and unimaginatively) named it Dark Universe, and starting off their plan by falling on their face with the critical-and-commercial-flop 2017’s The Mummy? We sure as hell didn’t!
Pertama-tama, saya ingin berterima kasih kepada kritikus serta penonton sekalian atas upaya kalian dalam mengubah pikiran Universal. Entah karena mungkin terlalu banyak cinematic universe dengan plot segunung dan puluhan karakter yang harus kalian hapal supaya tidak ketinggalan obrolan, atau mungkin karena ide untuk mengangkat kembali Universal Monsters yang terkenal dengan makhluk-makhluk yang ikonik dan campy ke dalam kemasan action/blockbuster itu terlalu berlebihan. Satu hal yang pasti, kegagalan Dark Universe membuat Universal memilih untuk menggarap cerita tiap karakter ke dalam semestanya masing-masing, dimulai dengan The Invisible Man. Dengan arahan dari Leigh Whannell (Insidious: Chapter 3, Upgrade) dan disokong oleh Blumhouse Productions, film ini lebih berpihak kepada pembangunan ambiance dan character study ketimbang visual effect ratusan juta dolar dan star-power selevel Tom Cruise. Hasilnya? The Invisible Man sukses menjadi awal yang baru bagi Universal untuk memperkenalkan kembali Universal Monsters di dekade ini sekaligus juga menjadi film yang lumayan bagus.
Dari plotnya, The Invisible Man terlihat simpel. Terlalu klise, malah, untuk film horor tahun 2020 dari studio konglomerat; seorang wanita yang baru keluar dari abusive relationship yakin dirinya dikuntit oleh mantan pacarnya karena ia mempunyai alat yang dapat membuat manusia menjadi tidak kasat mata. Adaptasi ini berbeda jauh dengan versi tahun 1933 dan sumber aslinya yang ditulis oleh H. G. Wells. Jika cerita kedua materi tersebut menitikberatkan pada genre science fiction dan komedi, Whannell lebih memilih condong ke drama/thriller dengan mengambil elemen KDRT dan trauma yang timbul karenanya (ada satu scene dimana The Invisible Man-nya menyalakan kompor sampai timbul api—gaslighting). Jauh lebih serius dan mudah diinterpretasi sebagai eksploitatif jika jatuh ke screenwriter yang salah. Untungnya, Whannell menggunakan trope yang sering kita jumpa di film-film horor modern dengan cermat tanpa selalu bertumpu ke klise-klise yang sama. Cerita yang dihadirkan pun tetap terasa fresh walaupun sepertinya kita sudah dihadapkan dengan problem yang sama di berbagai film horor beberapa tahun ke belakang. Ia juga berhasil menyusun cerita dimana tindakan para karakternya dapat dipercaya dan audiens dapat berempati dengan hampir semua tokoh di film ini.
Elisabeth Moss (The Handmaid’s Tale, Mad Men) berperan sebagai Cecilia, seorang korban yang kabur dari hubungannya bersama Adrian, yang diperankan secara cemerlang oleh Oliver Jackson-Cohen (The Haunting of Hill House). Adrian adalah makhluk yang keji dan manipulatif. Anjing miliknya dipakaikan kalung setrum. “He was in complete control of everything,” ujar See—panggilan akrab Cecilia—dalam salah satu scene, merujuk kepada Adrian yang merupakan seorang CEO perusahaan optik. Saat Cecilia merasa masih dalam kekangan Adrian yang diduga sudah mati, teman dan saudaranya malah tidak menganggap kekhawatirannya. Dengan segala cara, Cecilia akan membuktikan kalau Adrian masih hidup dan tidak terlihat.
Back-and-forth yang intens antara 2 karakter tersebut sepanjang film dalam mencapai motivasi masing-masing merupakan tiang pancang The Invisible Man. Kedua karakter tidak mengambil tindakan-tindakan bodoh. Mereka tahu di mana mereka harus mengambil celah dan langkah apa yang masing-masing akan perbuat. Hal tersebut juga ditambah dengan performa kedua aktor yang kuat—Moss yang dapat menampilkan bagaimana lemah serta tegarnya seorang korban kekerasan dan Jackson-Cohen sebagai narcissistic psycopath hanya dengan total akting kurang lebih 10 menit.
Performa lain dari film ini yang patut disorot adalah Michael Dorman (Pirates of Caribbean: Dead Men Tell No Tales) yang secara believable memerankan "a jellyfish version of [Adrian]," sekali lagi mengutip kata Cecilia dalam film. Sound design dan score dari Benjamin Wallfisch juga menjadi bintang di sini, film ini tahu bagaimana cara mengimbangkan keduanya (adegan pembuka menjadi salah satu contoh utamanya). Berkat semua elemen-elemen yang disusun oleh Whannell secara rapi tanpa bertele-tele, The Invisible Man menjadi film 2 jam yang menghibur namun juga dapat berbicara tentang fenomena yang serius.
Pertama-tama, saya ingin berterima kasih kepada kritikus serta penonton sekalian atas upaya kalian dalam mengubah pikiran Universal. Entah karena mungkin terlalu banyak cinematic universe dengan plot segunung dan puluhan karakter yang harus kalian hapal supaya tidak ketinggalan obrolan, atau mungkin karena ide untuk mengangkat kembali Universal Monsters yang terkenal dengan makhluk-makhluk yang ikonik dan campy ke dalam kemasan action/blockbuster itu terlalu berlebihan. Satu hal yang pasti, kegagalan Dark Universe membuat Universal memilih untuk menggarap cerita tiap karakter ke dalam semestanya masing-masing, dimulai dengan The Invisible Man. Dengan arahan dari Leigh Whannell (Insidious: Chapter 3, Upgrade) dan disokong oleh Blumhouse Productions, film ini lebih berpihak kepada pembangunan ambiance dan character study ketimbang visual effect ratusan juta dolar dan star-power selevel Tom Cruise. Hasilnya? The Invisible Man sukses menjadi awal yang baru bagi Universal untuk memperkenalkan kembali Universal Monsters di dekade ini sekaligus juga menjadi film yang lumayan bagus.
Dari plotnya, The Invisible Man terlihat simpel. Terlalu klise, malah, untuk film horor tahun 2020 dari studio konglomerat; seorang wanita yang baru keluar dari abusive relationship yakin dirinya dikuntit oleh mantan pacarnya karena ia mempunyai alat yang dapat membuat manusia menjadi tidak kasat mata. Adaptasi ini berbeda jauh dengan versi tahun 1933 dan sumber aslinya yang ditulis oleh H. G. Wells. Jika cerita kedua materi tersebut menitikberatkan pada genre science fiction dan komedi, Whannell lebih memilih condong ke drama/thriller dengan mengambil elemen KDRT dan trauma yang timbul karenanya (ada satu scene dimana The Invisible Man-nya menyalakan kompor sampai timbul api—gaslighting). Jauh lebih serius dan mudah diinterpretasi sebagai eksploitatif jika jatuh ke screenwriter yang salah. Untungnya, Whannell menggunakan trope yang sering kita jumpa di film-film horor modern dengan cermat tanpa selalu bertumpu ke klise-klise yang sama. Cerita yang dihadirkan pun tetap terasa fresh walaupun sepertinya kita sudah dihadapkan dengan problem yang sama di berbagai film horor beberapa tahun ke belakang. Ia juga berhasil menyusun cerita dimana tindakan para karakternya dapat dipercaya dan audiens dapat berempati dengan hampir semua tokoh di film ini.
Elisabeth Moss (The Handmaid’s Tale, Mad Men) berperan sebagai Cecilia, seorang korban yang kabur dari hubungannya bersama Adrian, yang diperankan secara cemerlang oleh Oliver Jackson-Cohen (The Haunting of Hill House). Adrian adalah makhluk yang keji dan manipulatif. Anjing miliknya dipakaikan kalung setrum. “He was in complete control of everything,” ujar See—panggilan akrab Cecilia—dalam salah satu scene, merujuk kepada Adrian yang merupakan seorang CEO perusahaan optik. Saat Cecilia merasa masih dalam kekangan Adrian yang diduga sudah mati, teman dan saudaranya malah tidak menganggap kekhawatirannya. Dengan segala cara, Cecilia akan membuktikan kalau Adrian masih hidup dan tidak terlihat.
Back-and-forth yang intens antara 2 karakter tersebut sepanjang film dalam mencapai motivasi masing-masing merupakan tiang pancang The Invisible Man. Kedua karakter tidak mengambil tindakan-tindakan bodoh. Mereka tahu di mana mereka harus mengambil celah dan langkah apa yang masing-masing akan perbuat. Hal tersebut juga ditambah dengan performa kedua aktor yang kuat—Moss yang dapat menampilkan bagaimana lemah serta tegarnya seorang korban kekerasan dan Jackson-Cohen sebagai narcissistic psycopath hanya dengan total akting kurang lebih 10 menit.
Performa lain dari film ini yang patut disorot adalah Michael Dorman (Pirates of Caribbean: Dead Men Tell No Tales) yang secara believable memerankan "a jellyfish version of [Adrian]," sekali lagi mengutip kata Cecilia dalam film. Sound design dan score dari Benjamin Wallfisch juga menjadi bintang di sini, film ini tahu bagaimana cara mengimbangkan keduanya (adegan pembuka menjadi salah satu contoh utamanya). Berkat semua elemen-elemen yang disusun oleh Whannell secara rapi tanpa bertele-tele, The Invisible Man menjadi film 2 jam yang menghibur namun juga dapat berbicara tentang fenomena yang serius.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.