Belle - Kisah Klasik Beauty and The Beast yang Serupa namun Tak Sama

27 March 2022   |   23:55 WIB

Like
Setelah Summer Wars (2009), sutradara Mamoru Hosoda sekali lagi menggarap film animasi bertajuk dunia virtual. Di bawah naungan rumah produksi Studio Chizu yang ia dirikan di tahun 2011, film terlaris ketiga di Jepang pada tahun 2021 ini mengambil cerita klasik Beauty and The Beast sebagai inspirasi utamanya dan membaurkannya dengan elemen-elemen fantasy-magical khas anime. Film bergenre drama musikal ini dibalut dengan elemen visual khasnya Hosoda, dan musik-musik garapan musisi ternama Jepang yang bisa melelehkan perasaan penonton.

Cerita Lama, Namun Baru
Suzu seorang gadis desa yang duduk di bangku SMA mengalami trauma untuk bernyanyi setelah kematian ibunya, hingga ia mendengar tentang “U”, sebuah dunia virtual di mana siapa pun bisa memulai hidup baru secara anonim dalam wujud avatar. Dibantu oleh temannya, Hiro, Suzu mendaftarkan dirinya sebagai Belle, avatar virtual berwujud gadis cantik yang dengan cepat menjadi sensasi internasional.
 

Suzu (kiri) dan Belle (kanan)

Suzu (kiri) dan Belle (kanan).


Tidak seperti iterasi-iterasi Beauty and The Beast sebelumnya yang menjadikan genre romansa sebagai fokus utamanya, film Belle lebih menekankan ke sisi character development dari seorang Suzu/Belle. Namun meskipun begitu, Belle tentu saja tidak melupakan unsur-unsur ikonik dari cerita asli Beauty and The Beast, seperti si misterus dan temperamental, Beast; antagonis utama, Gaston (Justin); dan pelayan-pelayan Beast yang dikutuk menjadi perabot (di sini diubah menjadi peri). Dan tentu saja unsur semiotik paling ikonik dari Beauty and The Beast, mawar merah.

Sebuah cerita overcoming yang menceritakan perjalanan Suzu dari seorang gadis desa yang tak percaya diri hingga menjadi seorang diva internasional ini, tentu saja tidak akan sukses tanpa dukungan unsur-unsur storytelling yang membantu memegahkan ceritanya. Dualisme dua dunia antara dunia virtual dan dunia nyata, ditambah lagi dengan world building-nya yang apik menjadi unsur paling menarik dari film ini.

Di satu sisi, penonton dibawa ke dunia virtual “U” yang digambarkan sebagai dunia virtual fantasi penuh warna yang dihuni oleh avatar-avatar unik mulai dari yang berwujud humanoid, hewan, sampai ke yang benar-benar abstrak. “U” sendiri selain merupakan rumah dari Belle, avatar dari Suzu, sekaligus sebagai tempat pelarian Suzu dari dunia nyatanya yang menyebalkan. Di sini penonton diperlihatkan kepada sisi sesungguhnya dari Suzu, seorang gadis yang hanya ingin hidup normal. Saat menjadi Belle, Suzu bisa berekspresi dengan leluasa dan bernyanyi lagi tanpa harus dihantui oleh trauma masa lalunya.

Di sisi lain, penonton dibawa ke dunia nyatanya Suzu yang terbalik seratus delapan puluh derajat dari “U”. Dunia yang di mana Suzu hanyalah seorang gadis desa yang bahkan sama sekali tak populer di sekolahnya. Dunia yang di mana setiap detiknya mengingatkan Suzu kepada insiden yang merenggut nyawa ibunya.

Selain dari sisi world building, penggarapan karakter merupakan unsur lainnya yang tak bisa diabaikan dari film ini. Beast yang secara konsisten digambarkan sebagai sosok yang kesakitan dibalik sikapnya yang garang nan misterius, berhasil menarik simpati penonton dan membuat penonton menebak-menebak siapa sosok dibaliknya selama film berlangsung.
 

Beast.

Beast.


Selain itu, karakter Justin yang digambarkan sebagai kepala keamanan “U”, yang ingin menangkap Beast karena telah mengganggu ketenteraman “U”, membuatnya menjadi antagonis dengan tujuan yang jelas dan bukan hanya sebatas karakter satu dimensi. Bahkan motivasinya juga dapat membuat penonton mempertanyakan penilaian mereka terhadapnya.

Visual yang Unik
Tidak seperti film animasi pada umumnya yang menggunakan salah satu dari visual dua dimensi ataupun tiga dimensi, Belle mengambil approach yang cukup unik dalam hal visual dengan menggunakan keduanya. Dualisme dunia yang telah dibahas di atas tidak hanya berfungsi untuk memperkaya narasi, tapi juga sebagai wadah untuk memperkaya visual.

Keputusan Hosoda untuk menggunakan visual tiga dimensi dalam menggambarkan dunia “U” dirasa sangat tepat karena dengan ini kesan virtual reality dari dunia tersebut menjadi semakin terasa. Selain itu, penggunaan visual tiga dimensi juga memungkinkan animator untuk menempatkan lebih banyak objek dan warna ke dalam suatu landskap, faktor ini tentu saja berkontribusi terhadap kenampakan “U” yang terlihat lebih megah dan berwarna dari dunia nyatanya Suzu.
 

U

U.
 

Berbeda dari dunia “U”, Hosoda memilih visual dua dimensi untuk menggambarkan dunia nyata Suzu. Menggunakan teknik visual khasnya yang menggabungkan background realistik dengan karakter yang ber-artstyle shadeless, pilihan visual ini menciptakan suasana yang tampak lebih tenteram dan sepi.
 

Artstyle karakter tanpa bayangan.

Artstyle karakter tanpa bayangan.
 

Selain untuk memperindah, jika ditelaah lebih dalam lagi, pemilihan visual ini secara tidak langsung menggambarkan suasana perasaan Suzu, sebagaimana ia merasa penuh warna saat berada di “U”, namun merasa sepi di dunia nyata.

Sebagai film yang terinspirasi dari Beauty and The Beast, Belle mampu menyajikan suatu fresh take dari kisah klasik ini dengan cukup menarik baik dari sisi cerita, visual dan audio.