Sepak Terjang Jagoan dari Bojongsoang

27 March 2022   |   20:25 WIB

Film Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas mengkritik maskulinitas toksik berlatar kehidupan 1980-an. Film garapan Edwin itu diadaptasi dari novel Eka Kurniawan.  
 
Ajo Kawir tersohor seantero Bojongsoang. Laki-laki berandalan ini jagoan di sembarang tempat. Ia  bakal menggasak siapa saja yang menghalangi atau menantangnya. Tak melulu untuk urusan bayaran sebagai pembunuh bayaran atau judi receh adu cepat meraih botol dari motor yang ngebut dari arah berlawanan. Semua hal akan dia hadapi. Termasuk urusan cinta. Tak ada kata takut di kamus hidupnya.

Semua itu demi membuktikan ia masih punya sesuatu yang berharga yakni kekuatan dan keperkasaan secara fisik. Ia berusaha menutupi kelemahannya yang lain, yakni soal seksualitas.
Semua orang tahu, Ajo Kawir (Marthino Lio)  tidak bisa ereksi. Ia berusaha telah berusaha untuk sembuh dengan beragam cara, mulai dari pijat sampai dipancing terapi anal oleh seorang mami germo bernama Mak Jerot (Christine Hakim). Penampilannya di sini sangat mengejutkan.

Tapi kegarangan Ajo Kawir takluk oleh Iteung (Ladya cheryl), centeng pengawal juragan tambang batu. Meski pernah babak belur oleh tendangan dan pukulan Iteung, namun cinta sang jagoan kepada Iteung makin besar. Rupanya Iteung pun jatuh hati pada sang bajingan. Iteung mengirim ucapan salam rindu lewat radio, khas cara anak muda era 1980-an. “Dari Iteung untuk jagoan Bojongsoang, salam rindu katanya,” ujar si penyiar Radio.  Hati Ajo Kawir penuh bunga. Senyumnya mengembang. Tubuhnya merapat ke dinding.

Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas garapan Edwin itu diadaptasi dari novel Eka Kurniawan dengan judul sama. Karya ini menjadi film terbaik dalam seksi kompetisi utama di Locarno Internasional Film Festival 2021 dan diganjar Golden Leopard Award. Film ini mengolah ide tentang maskulinitas beracun. Maskulinitas dianggap identik dengan kekerasan, kejantanan, kekuatan, dan kekuasaan. Laki-laki seolah tak memiliki sisi lemah.
 
Kisah film ini mengambil setting waktu sekitar 1980-an, ketika isu kekerasan, kekuatan, dan kekuasaan sangat dominan. Ajo Kawir adalah representasinya. Namun ia pun dibungkam dengan ketidakberdayaan. Sepanjang hidupnya ia terkungkung dengan stigma, luka, dan trauma. Penonton disuguhkan perjalanan dan perjuangan hidupnya dari waktu ke waktu, dari yang kocak hingga satir. Penonton diajak menengok ke belakang mengapa Ajo Kawir impoten.

Iteung pun punya kisah hidup yang sangat berwarna. Masa lalunya kelam.  Ia korban kekerasan seksual guru kelasnya. Kemudian ia tumbuh bersama preman kampung pengusaha minyak lintah, Budi Baik (Reza Rahadian).  Hal itu membuatnya menjelma sebagai perempuan perkasa dan berani memutuskan nasib hidupnya sendiri, termasuk soal dendamnya. Hanya saja, keputusannya meninggalkan bayi merahnya terasa mengganjal.  
Sementara Budi Baik adalah simbol sisi lain maskulin toksik. Reza dengan cemerlang bermimikri sebagai Budi Baik yang jauh dari perilaku baik.

Ia preman tengik yang sangat menyebalkan. Setiap saat ia meludah di sembarang tempat. Ia selalu meremehkan Ajo Kawir, saingannya itu. Apalagi ketika tahu Iteung punya hati pada Ajo Kawir. Di matanya, Iteung adalah saudara seperguruan bela diri, pasangan berkelahi sekaligus seks. Ia merasa dirinya tumpuan perempuan itu memuaskan hasratnya. Iteung pun jadi korban Budi. Iteung pun terbawa ikut menjadi perempuan maskulin. Ia tersiksa dalam rasa jijik sebagai korban kebiadaban guru dan Budi Baik, pelatih silat di perguruan mereka. Ia hidup bersama trauma dan penderitaan. Porsi Iteung ditampilkan cukup dominan dalam film ini.

Eka dan Edwin menggarap naskah menjadi sajian visual yang ‘gila’ dan liar. Mereka berani menyodorkan betapa racun maskulinitas begitu dalam menyeruak dalam hidup yang banal. Kekerasan demi kekerasan, baik personal hingga ke level negara, dipertontonkan sedemikian gamblang. Lewat tokoh-tokohnya – seperti Iteung, Budi Baik, Tokek, Codet, Kumis,  Rona Merah, Iwan Angsa, hingga Paman Gembul yang bisa menghilangkan orang yang tidak ia suka   – mereka mengkritik persepsi seolah kekerasan sah saja terjadi dan maskulitas selalu dipuja-puja.

Sepintas, film ini memperlihatkan kekerasan (termasuk kekerasan seksual) yang paling kasatmata. Tapi Edwin juga hendak mengupas lapisan kekerasan yang lebih dalam, mengendap sedemikian lama dan berdampak panjang, dan menggerogoti kehidupan seseorang. Suasana itu begitu kuat pada era 1980-an yang penuh tekanan sosial-politik, memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sehingga bagi mereka yang pernah mengalami zaman itu akan bisa langsung terhubung. Bahkan, ikut menertawakan beberapa adegan. Misalnya, adegan yang menyindir tokoh politik yang suka memancing ikan.
 
Di film ini, Edwin dengan seluloidnya menuntaskan kerinduan film era 1980-an. Atmosfer eighthies dibangun dari dialog dalam bahasa yang agak formal, kostum, suasana, dan setting yang komplet menggambarkan situasi saat itu. Lengkap dengan poster-poster film yang jaya pada masa itu, yakni laga, thriller, dan horor. Film ini penuh adegan mengejutkan, jenaka sekaligus satir. Edwin pun menyelipkan sentuhan horor, sesuatu yang absurd dan surealis.
 
Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas
Sutradara: Edwin
Penulis naskah : Eka Kurniawan, Edwin
Pemain: Marthino Lio, Ladya Cherryl, Reza Rahadian, Lukman Sardi, Sal Priadi, Jenar Maesa Ayu, Christine Hakim, Eduwart Manalu, Yudi Ahmad Tajuddin, Ratu Felisha
Produser: Muhammad Zaidy,  Meiske Taurisia
Produksi: Palari Film
Kategori usia: 18 +
DIAN YULIASTUTI
#hypefilm #hypeabismoviereview