One Night Stand, untuk Kecewa yang Sebentar
27 March 2022 |
06:46 WIB
Menjamah singkatnya kasih pada ruang-ruang asing sembari berefleksi tidak habis-habis diceritakan kembali. “Momen” menggantung tegang diluar narasi besar hidup seseorang dalam waktu yang seolah membeku dan konsekuensi yang nyaris tak berarti. Ketegangan tersebut semakin lama kian mengencang hingga timbul suspensi, apakah akan terputus atau tersentak balik ke arus utama? Selepas deskripsi tersebut, penggambaran yang terjadi tak se-melodrama itu melainkan ditunggangi keresahan yang gagal ekspresikan secara lugas selain dirasa semata. Kecamuk batin dan disillusionment ini mewadahi bagaimana One Night Stand menginterpretasikan konfigurasi ini.
Ringkasnya, One Night Stand (2021) merupakan film talking head romantis nanggung arahan Adriyanto Dewo menyoal cinta dan tenggat. Berkisah tentang tentang sepintasnya hubungan Ara (Jourdy Pranata) dan Lea (Putri Marino), dua orang asing bersama mengelilingi Yogyakarta untuk menghadiri berbagai perayaan. Mereka dipertemukan oleh momen duka, kematian seorang kenalan hingga menyambung perjalanan ke sebuah perayaan nikah sampai akhirnya terbenam dalam ekspresi kasih. Hubungan mereka yang perlahan semakin erat memuncak pada hasrat tubuh, lalu mengasing kembali sampai akhirnya tidak sinambung.
Tentang Film
Membincangkan latar cerita, Yogyakarta terkesan menjadi sebatas proscenium terjadinya cerita. Tekstur sosial budaya agaknya redam ketika yang dipertontonkan ialah moleknya alam serta berbagai titik destinasi. Rona-rona rustic tinggal bersama dominasi hijau kebun botani, Putih dan Beige meperarak sukacita pernikahan dan satu-satunya ruang urban diwarnai pendar biru lampu artifisial yang ada menutup perjalanan mereka. Yogyakarta menjadi ruang ephemeral dengan bingkai sinematografi sederhana pula untuk memfasilitasi bentuk cerita yang teramat dialogue-driven. Adegan berlangsung secara panjang, blocking berupaya memasukan banyak karakter, serta guncang-guncangan imut handheld menjadi harmoni yang tak banyak gaya.
Ara dan Lea dihadapkan oleh ritual-ritual soal awal dan akhir dari hubungan kasih, till death do us apart. Namun disaat yang bersamaan seringkali sebelum maut datang menjemput, cinta gagal kekal. Tapi cinta seperti apa yang dibahas? Dalam perkiraan saya pandangan cinta dalam naratif ini ialah sesuatu yang eksklusif dan romantis, dipeluk oleh kepercayaan ataupun menjadi ruang nyaman bagi satu sama lain. Disrupsi yang hadir pun berbentuk ketidakpuasan maupun ketidaksetiaan antar-partner.
Peletakan Ara dan Lea dalam cerita menjadikan mereka seperti pengamat yang tak mengintervensi selain berpartisipasi pasif dalam momen suka-duka cita. Mereka lah si twenty-something dewasa muda yang melakukan observasi kepada representasi nasib-nasib cinta. Ditopang oleh kekecewaan tersendiri akan gagal kekalnya cinta dalam kehidupan privat mereka. Ara batal nikah setelah mengetahui hubungan pacarnya dengan orang lain, Lea berhadapan kenangan akan Ayahnya ketika berkesimpulan ditengah jalan marriage isn’t for him. Sekuens pemakaman pun memendam kekecewaan yang serupa, seperti lukisan Om Rendra (Tegar Satyra) yang ditutupi kain dalam keadaan tidak tuntas. Bahkan dalam adegan pernikahan pun masih dikuasai firasat buruk yang mengisi suasana subjektif karakter, Ara dan Lea menatap banyak pasangan berdansa pelan dengan raut pasi. Kandas masih menjadi hantu-hantu yang bernaung dibelakang pikiran mereka sehingga, apa tidak mudah untuk jadi untuk jadi sinis?
Menyoal cinta satu malam
Konotasi yang timbul dari judul One Night Stand menghadirkan suatu imaji percintaan yang diejawantahkan melalui gairah. Perilaku ini kerap ditabukan sebagai sesuatu yang singkat dan hanya ada untuk memenuhi hasrat banal, bahkan dikecam oleh normatif yang berlaku. Namun secara tematis, One Night Stand eksis sebagai resistensi kekecewaan dua karakter ini ketika merespon nasib-nasib cinta yang terjadi. One Night Stand hadir sebagai cinta tanpa komitmen panjang, sesuatu yang kerap terbantah dalam hidup mereka. Biarlah hal singkat ini memabukan, toh masih hadir berdasarkan kesepakatan mutual sama-sama butuh bukan?
Tualang adalah tema lain yang meranggas diatas tubuh cerita. Posisi Yogyakarta yang “bukan rumah” memberikan kesempatan bagi Ara untuk mengaktualisasikan dirinya. Sebagaimana Lea lari ke sumba sampai 2 tahun dalam upaya memahami trauma lamanya. Tualang adalah cara tiap karakter mengkaji keinginan masing-masing dengan melepaskan berbagai konteks yang menjerumuskan mereka kedalam kekecewaan. Menyediakan ruang simbolik untuk mencari tahu dan mengelola kenangan. Hal ini khas mengingat mereka anak muda yang masih memiliki sisa-sisa potensialitas. Buruk rupanya adalah ruang fisik dibatasi ke dalam lensa miopik berdasarkan kepengalamanan pribadi tokoh alih-alih ikut merespon bagaimana ruang memiliki karakternya sendiri.
Diantara dua kutub yang bermain, antipati cinta dan romantisir relasi. Ada suatu akhir yang bisa dikaji. Till death do us apart, Hubungan Mia dan Rendra tak lagi bisa dinegosiasi selain direfleksikan kembali. Hubungan mereka jauh dari sempurna, diisi dengan perandaian dan kasih yang semu- tapi apakah pantas disebut semu? Rendra pun tidak berakhir membenci Mia, ia berhenti melukis karena kematian bukan kecemburuan. Mia melalui puisi Joko Pinurbo melihat segalanya menyatakan ia menerima apa yang telah terjadi daripadanya. Lukisan itu hanya nampak melalui montase awal diatas lagu pasir, gaya abstrak Basquiat-esque menolak kepastian indah maupun pedih tapi campur aduk.
Kekecewaan menjadi motif utama kisah, hubungan One Night Stand seolah mencegah kecewa bisa terjadi dengan meletakan waktu. Disaat yang bersamaan segala hal didunia bertenggat, sesuatu yang diciptakan seperti hubungan cinta tak mengandung muasal mutlak. Akhirnya semua menjurus pada komitmen yang lebih besar lagi, menerima apapun itu bisa kandas. Kecewa melekat didalam tiap hubungan berdasarkan komitmen dengan ketidak sempurnaan masing-masing. Pretensi ideal romansa yang kodrati bisa dilepas dengan menjadikan tindakan lebih bermakna daripada ikrar. Yang diperlukan adalah Langkah pertama membuka diri, seperti Ara batal pulang dan bediri di horizon pantai mencintai dirinya sendiri dahulu setelah sekian lama diitari kekecewaan dan ekspektasi.
Catatan Kritik
Agaknya 10 menit pertama film ini cukup rocky, walaupun bila mau dimaafkan kualitas penulisannya makin baik semakin ke belakang kok. Saya curiga chemistry antara Jourdy dan Putri terlanjur intim sehingga ketika harus memperagakan ulang kecanggungan malah overshoot ke wilayah-wilayah hah? Pun demikian, Putri Marino walaupun berhadapan dengan dialog 2 segmen pertama yang cukup point-to-point hadir sebagai tour de force dalam keaktorannya. Ia tampil tersakiti, kecewa, mencoba riang sambil bermonolog nelangsa. Apalagi dialognya banyak memaksakan selipan-selipan kepercayaan personal yang dirasa kurang tepat secara waktu untuk diungkap sehingga terjadi disonans dan menarik diri dari sihir cerita.
Permasalahan lain adalah bagaimana adegan seks tidak memperlakukan karakter secara setara. Tatapan pria masih kuat dengan meletakan Ara pada punggungnya dan Lea serta Ayu (Agnes Naomi) dihadapan kamera. Bisa jadi ini tidak disengaja, mungkin yang diupayakan ialah mengakui Ara sebagai karakter utama dan conduit cerita bagi audiens. Yang saya khawatirkan adalah bagaimana posisi Lea menjadi conduit Ara dalam membenahi hidupnya sehingga Lea dan Yogyakarta dalam cerita derajatnya menjadi sama.
Saya rasa One Night Stand tidak menawarkan refleksi mendalam terhadap cinta. Bagi saya genre talking head dan menjadikan ruang (umumnya tempat wisata) sebagai wahana aktualisasi hubungan bukanlah hal yang revolusioner. Kita masih memiliki before trilogy dan AADC 2. Disaat yang bersamaan saya merasa film ini cukup baik adanya untuk menemani tontonan malam minggu. Karena tidak segala hal harus berdenyut takdir dan perubahan, yang sehari-haripun memiliki tempat untuk berada.
Ringkasnya, One Night Stand (2021) merupakan film talking head romantis nanggung arahan Adriyanto Dewo menyoal cinta dan tenggat. Berkisah tentang tentang sepintasnya hubungan Ara (Jourdy Pranata) dan Lea (Putri Marino), dua orang asing bersama mengelilingi Yogyakarta untuk menghadiri berbagai perayaan. Mereka dipertemukan oleh momen duka, kematian seorang kenalan hingga menyambung perjalanan ke sebuah perayaan nikah sampai akhirnya terbenam dalam ekspresi kasih. Hubungan mereka yang perlahan semakin erat memuncak pada hasrat tubuh, lalu mengasing kembali sampai akhirnya tidak sinambung.
Tentang Film
Membincangkan latar cerita, Yogyakarta terkesan menjadi sebatas proscenium terjadinya cerita. Tekstur sosial budaya agaknya redam ketika yang dipertontonkan ialah moleknya alam serta berbagai titik destinasi. Rona-rona rustic tinggal bersama dominasi hijau kebun botani, Putih dan Beige meperarak sukacita pernikahan dan satu-satunya ruang urban diwarnai pendar biru lampu artifisial yang ada menutup perjalanan mereka. Yogyakarta menjadi ruang ephemeral dengan bingkai sinematografi sederhana pula untuk memfasilitasi bentuk cerita yang teramat dialogue-driven. Adegan berlangsung secara panjang, blocking berupaya memasukan banyak karakter, serta guncang-guncangan imut handheld menjadi harmoni yang tak banyak gaya.
Ara dan Lea dihadapkan oleh ritual-ritual soal awal dan akhir dari hubungan kasih, till death do us apart. Namun disaat yang bersamaan seringkali sebelum maut datang menjemput, cinta gagal kekal. Tapi cinta seperti apa yang dibahas? Dalam perkiraan saya pandangan cinta dalam naratif ini ialah sesuatu yang eksklusif dan romantis, dipeluk oleh kepercayaan ataupun menjadi ruang nyaman bagi satu sama lain. Disrupsi yang hadir pun berbentuk ketidakpuasan maupun ketidaksetiaan antar-partner.
Peletakan Ara dan Lea dalam cerita menjadikan mereka seperti pengamat yang tak mengintervensi selain berpartisipasi pasif dalam momen suka-duka cita. Mereka lah si twenty-something dewasa muda yang melakukan observasi kepada representasi nasib-nasib cinta. Ditopang oleh kekecewaan tersendiri akan gagal kekalnya cinta dalam kehidupan privat mereka. Ara batal nikah setelah mengetahui hubungan pacarnya dengan orang lain, Lea berhadapan kenangan akan Ayahnya ketika berkesimpulan ditengah jalan marriage isn’t for him. Sekuens pemakaman pun memendam kekecewaan yang serupa, seperti lukisan Om Rendra (Tegar Satyra) yang ditutupi kain dalam keadaan tidak tuntas. Bahkan dalam adegan pernikahan pun masih dikuasai firasat buruk yang mengisi suasana subjektif karakter, Ara dan Lea menatap banyak pasangan berdansa pelan dengan raut pasi. Kandas masih menjadi hantu-hantu yang bernaung dibelakang pikiran mereka sehingga, apa tidak mudah untuk jadi untuk jadi sinis?
Menyoal cinta satu malam
Konotasi yang timbul dari judul One Night Stand menghadirkan suatu imaji percintaan yang diejawantahkan melalui gairah. Perilaku ini kerap ditabukan sebagai sesuatu yang singkat dan hanya ada untuk memenuhi hasrat banal, bahkan dikecam oleh normatif yang berlaku. Namun secara tematis, One Night Stand eksis sebagai resistensi kekecewaan dua karakter ini ketika merespon nasib-nasib cinta yang terjadi. One Night Stand hadir sebagai cinta tanpa komitmen panjang, sesuatu yang kerap terbantah dalam hidup mereka. Biarlah hal singkat ini memabukan, toh masih hadir berdasarkan kesepakatan mutual sama-sama butuh bukan?
Tualang adalah tema lain yang meranggas diatas tubuh cerita. Posisi Yogyakarta yang “bukan rumah” memberikan kesempatan bagi Ara untuk mengaktualisasikan dirinya. Sebagaimana Lea lari ke sumba sampai 2 tahun dalam upaya memahami trauma lamanya. Tualang adalah cara tiap karakter mengkaji keinginan masing-masing dengan melepaskan berbagai konteks yang menjerumuskan mereka kedalam kekecewaan. Menyediakan ruang simbolik untuk mencari tahu dan mengelola kenangan. Hal ini khas mengingat mereka anak muda yang masih memiliki sisa-sisa potensialitas. Buruk rupanya adalah ruang fisik dibatasi ke dalam lensa miopik berdasarkan kepengalamanan pribadi tokoh alih-alih ikut merespon bagaimana ruang memiliki karakternya sendiri.
Diantara dua kutub yang bermain, antipati cinta dan romantisir relasi. Ada suatu akhir yang bisa dikaji. Till death do us apart, Hubungan Mia dan Rendra tak lagi bisa dinegosiasi selain direfleksikan kembali. Hubungan mereka jauh dari sempurna, diisi dengan perandaian dan kasih yang semu- tapi apakah pantas disebut semu? Rendra pun tidak berakhir membenci Mia, ia berhenti melukis karena kematian bukan kecemburuan. Mia melalui puisi Joko Pinurbo melihat segalanya menyatakan ia menerima apa yang telah terjadi daripadanya. Lukisan itu hanya nampak melalui montase awal diatas lagu pasir, gaya abstrak Basquiat-esque menolak kepastian indah maupun pedih tapi campur aduk.
Kekecewaan menjadi motif utama kisah, hubungan One Night Stand seolah mencegah kecewa bisa terjadi dengan meletakan waktu. Disaat yang bersamaan segala hal didunia bertenggat, sesuatu yang diciptakan seperti hubungan cinta tak mengandung muasal mutlak. Akhirnya semua menjurus pada komitmen yang lebih besar lagi, menerima apapun itu bisa kandas. Kecewa melekat didalam tiap hubungan berdasarkan komitmen dengan ketidak sempurnaan masing-masing. Pretensi ideal romansa yang kodrati bisa dilepas dengan menjadikan tindakan lebih bermakna daripada ikrar. Yang diperlukan adalah Langkah pertama membuka diri, seperti Ara batal pulang dan bediri di horizon pantai mencintai dirinya sendiri dahulu setelah sekian lama diitari kekecewaan dan ekspektasi.
Catatan Kritik
Agaknya 10 menit pertama film ini cukup rocky, walaupun bila mau dimaafkan kualitas penulisannya makin baik semakin ke belakang kok. Saya curiga chemistry antara Jourdy dan Putri terlanjur intim sehingga ketika harus memperagakan ulang kecanggungan malah overshoot ke wilayah-wilayah hah? Pun demikian, Putri Marino walaupun berhadapan dengan dialog 2 segmen pertama yang cukup point-to-point hadir sebagai tour de force dalam keaktorannya. Ia tampil tersakiti, kecewa, mencoba riang sambil bermonolog nelangsa. Apalagi dialognya banyak memaksakan selipan-selipan kepercayaan personal yang dirasa kurang tepat secara waktu untuk diungkap sehingga terjadi disonans dan menarik diri dari sihir cerita.
Permasalahan lain adalah bagaimana adegan seks tidak memperlakukan karakter secara setara. Tatapan pria masih kuat dengan meletakan Ara pada punggungnya dan Lea serta Ayu (Agnes Naomi) dihadapan kamera. Bisa jadi ini tidak disengaja, mungkin yang diupayakan ialah mengakui Ara sebagai karakter utama dan conduit cerita bagi audiens. Yang saya khawatirkan adalah bagaimana posisi Lea menjadi conduit Ara dalam membenahi hidupnya sehingga Lea dan Yogyakarta dalam cerita derajatnya menjadi sama.
Saya rasa One Night Stand tidak menawarkan refleksi mendalam terhadap cinta. Bagi saya genre talking head dan menjadikan ruang (umumnya tempat wisata) sebagai wahana aktualisasi hubungan bukanlah hal yang revolusioner. Kita masih memiliki before trilogy dan AADC 2. Disaat yang bersamaan saya merasa film ini cukup baik adanya untuk menemani tontonan malam minggu. Karena tidak segala hal harus berdenyut takdir dan perubahan, yang sehari-haripun memiliki tempat untuk berada.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.