Penyalin Cahaya: Sebuah Upaya Penggandaan Harapan Lewat Mesin Fotokopi

27 March 2022   |   06:42 WIB

Like

INTRODUCTION

Setelah ditayangkan di Busan International Film Festival dan sukses mendominasi perhelatan akbar Festival Film Indonesia, Penyalin Cahaya menjadi salah satu film paling ditunggu di awal tahun 2022. Untuk debut penyutradaraan film panjang, Wregas Bhanuteja bisa dibilang cukup berani mengangkat sebuah isu yang berat, pelecehan seksual. Wregas lantas membungkus film ini dengan bumbu detektiv dimana penonton diajak untuk memecahkan misteri “apa yang sebenarnya terjadi?” atau “siapa yang telah melakukannya?”. Sebuah keputusan yang tepat karena manusia menyukai cerita yang dibumbui dengan misteri.
 

PLOT SUMMARY

Penyalin Cahaya menitikberatkan pada perjuangan Sur, seorang mahasiswi semester awal yang berusaha untuk mendapatkan keadilan. Setelah foto dirinya yang sedang mabuk tersebar secara online, Sur terancam tidak mendapatkan beasiswa di kampusnya. Padahal beasiswa tersebut adalah satu-satunya harapan supaya ia bisa tetap kuliah, mengingat bahwa Sur bukan berasal dari keluarga yang kaya.

Ia lantas mengumpulkan bukti untuk meyakinkan pihak kampus bahwa dirinya adalah korban atas keusilan kakak kelasnya. Bukti yang ia kumpulkan justru mengungkap sebuah kasus yang jauh lebih serius yaitu sebuah tindakan pelecehan seksual yang terkubur karena para korban memilih untuk bungkam.
 

REVIEW

Pengalaman menonton Penyalin Cahaya memang memberikan kesan yang depresif. Bagaimana tidak, selama dua jam sepuluh menit durasi film, Sur datang kesana kemari untuk mengumpulkan bukti, namun tidak ada satupun orang yang peduli dengan apa yang coba ia katakan. Kakak kelasnya yang sempat menjadi korban, merasa kapok untuk memperjuangkan keadilan. Sedangkan pihak kampus memilih untuk mencari aman demi nama baiknya.

Sungguh sebuah isu yang pantas mendapatkan atensi dari banyak pihak. Film ini berhasil menyampaikan isu perjuangan para penyintas pelecehan seksual ini dengan rapih dan dapat diterima dengan baik berkat bumbu misteri yang dipakainya.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, manusia cenderung menyukai cerita misteri. Logikanya, hal ini disebabkan karena otak kita sendiri adalah mesin untuk memecahkan teka-teki. Ketika seseorang dihadapkan dengan masalah, dia akan mencoba untuk menyelasaikannya. Dalam film ini, kita diajak untuk menjadi Sur yang berusaha menyelesaikan dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

Shenina Chinnamon menggambarkan karakter Sur sebagai mahasiswi yang pantang menyerah demi meraih apa yang dia inginkan. Performanya dalam film ini mampu mengaduk emosi hingga penonton dibuat bersimpati terhadap karakter Sur. Setelah membintangi sekian judul film, Shenina akhirnya mendapatkan porsi yang lebih banyak dalam sebuah film panjang.

Pencapaianya dalam film ini tidak terlepas dari performa jajaran supporting cast yang tidak kalah menarik perhatian. Percaya atau tidak, walaupun Penyalin Cahaya menampilkan banyak karakter, namun penonton bisa dengan mudah mengingat semua karakter tersebut. Amin (Chicco Kurniawan) si tukang fotokopi, Farah (Lutesha) si kakak kelas yang bad*ss, hingga Tariq (Jerome Kurnia) si kuat yang ternyata rapuh. Senang rasanya melihat aktor aktris muda Indonesia berada dalam satu layar dan menampilkan performa terbaik mereka. Dialog yang mereka ucapkan juga terdengar sangat natural, sewajarnya anak-anak kampus pada umumnya.

Wregas Bhanuteja selaku sutradara berusaha sekuat mungkin supaya ceritanya tetap fokus. Penyalin Cahaya adalah tipikal film dimana sebuah masalah besar terungkap oleh masalah kecil. Maksudnya, Sur awalnya hanya ingin mencari bukti untuk mendapatkan beasiswanya. Namun perlahan ia malah menemukan sebuah masalah bahwa telah terjadi pelecehan seksual.

Formula ini diterapkan dalam film besar lainnya seperti Zootopia (2016) dimana officer Judy Hopps yang mengungkap kasus besar di kota Zootopia yang berawal dari hilangnya seekor berang-berang. Chinatown (1974) karya Roman Polanski juga memiliki formula yang sama dimana film berawal dari kasus perselingkuhan berujung pada konspirasi perusahaan air yang besar.

Film Penyalin Cahaya ini minim scoring, sekalinya ada, bisa memberikan atmosfir yang dalam. Sebagai contoh di bagian ending ketika para penyintas mulai kehilangan harapan. Berterima kasihlah pada Yennu Ariendra yang sebelumnya juga memegang jobdesk komposer musik dalam film Istirahatlah Kata-Kata karya Yosep Anggi Noen.

Yang tidak kalah menarik perhatian adalah sinematografi film ini yang benar-benar efektif menyampaikan emosi dan pesan. Beberapa adegan berhasil membuat penonton terharu hingga merasa tegang. Mungkin yang akan paling diingat adalah adegan ketika Sur harus meminta maaf atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Ia berdiri di depan orang-orang yang seharusnya mendukung aksinya. Benar-benar sebuah shot yang memorable.

Sebagus apapun film ini, sungguh naif rasanya jika tidak membicarakan kontroversi yang menyelimutinya. Penulis naskah Penyalin Cahaya yang diduga melakukan pelecehan seksual, membuat pengalaman menonton menjadi semakin mengerikan. Kita bisa saja berfikir mengapa film ini bisa terasa sangat real karena ternyata penulis naskahnya sendiri melakukan pelecehan seksual tersebut.


SEMIOTIKA MESIN FOTOKOPI

Wregas Bhanuteja adalah salah seorang sutradara yang senang bermain dengan simbolisme. Film pendeknya berjudul Lemantun yang dirilis pada tahun 2014 silam, menampilkan lemari kayu lawas untuk ditafsirkan oleh penonton maksud dari lemari tersebut. Penyalin Cahaya juga tidak terlepas dari simbol-simbol yang multitafsir. Mulai dari kisah Medusa yang menjadi lakon teater Mata Hari, kegiatan fogging yang mengulang kata “menguras, menutup, mengubur”, hingga mesin fotokopi yang menjadi alat utama dalam film ini.

Simbolisme atau hidden meaning dalam sebuah film terkadang membuat film tersebut memiliki makna yang lebih dalam. Ketika berada di titik itu, penonton akan menyadari bahwa film tidak hanya sebagai sebuah kumpulan gambar indah yang bergerak, melainkan menjadi sebuah media komunikasi massa.

Ada sesuatu yang ingin disampaikan dalam film tersebut. Oleh sebab itu, isu sosial dalam film menjadi salah satu poin penting dalam film karena mampu menggerakkan cerita, namun tetap fokus pada tempatnya.

Penyalin Cahaya digerakkan oleh isu pelecehan seksual. Film ini berusaha memberitahu penonton bagaimana para penyintas berusaha untuk memperjuangkan keadilannya. Sebuah keadilan yang mungkin tidak selalu ia dapatkan.

Mesin fotokopi dalam film ini sendiri bukan hanya sebagai sebuah alat untuk menggandakan tulisan di kertas, tapi sebagai sebuah alat untuk menggandakan harapan. Jika dilihat secara harfiah, Penyalin Cahaya dengan judul internasional Photocopier, terdiri dari dua kata yaitu photo dan copy. Photo artinya cahaya dan copy bermakna kegiatan menduplikasi atau penggandaan.

Cahaya disana dapat diartikan sebagai cahaya harapan, sebuah semangat untuk mengembalikan keadilan bagi para penyintas. Jika keadilan tersebut tidak bisa didapatkan karena sistemnya yang rusak, maka gandakanlah cahaya tersebut dengan menyebarkannya pada orang lain. Harapannya, cahaya harapan tersebut bisa kembali bersinar dan para penyintas mendapatkan haknya.

Hidden meaning ini tergambar jelas di ending film Penyalin Cahaya ketika Sur dan Farah membawa mesin fotokopi ke rooftop, memfotokopi selebaran kertas berisi bukti pelecehan seksual, dan menyebarkannya ke seluruh area fakultas. Kita bisa melihat lambat laun mahasiswa mulai bersimpati pada Sur dan Farah.

KESIMPULAN

Penyalin Cahaya adalah sebuah pencapaian sinematik perfilman Indonesia yang patut diperhitungkan. Isu sosial yang relevan, ensemble cast yang mantap, hingga penyutradaraan yang kuat membuat film ini sulit untuk menemukan celah kekurangan. Terlepas dari kontroversinya, saya pribadi tidak sabar menunggu film panjang lainnya dari Wregas Bhanuteja.

#hypefilm #hypeabismoviereview