Cinta Pertama, Kedua & Ketiga: Ajang Pembuktian Gina S Noer

27 March 2022   |   16:08 WIB

Like
Rilis di bioskop 6 Januari 2022, Cinta Pertama, Kedua & Ketiga mencoba mengangkat beberapa isu sekaligus. Mulai dari sandwich generation, pandemi, orangtua tunggal, keluarga dan tentu saja, cinta. Mendapat respon yang tidak begitu positif sepanjang penayangan dan berlabuh lumayan cepat ke Netflix (hanya beberapa minggu setelah filmnya turun dari layar lebar) membuat saya penasaran dengan film ini. Tidak ada niatan lain selain ingin memastikan apakah benar film kedua yang Mbak Gina S. Noer tulis dan sutradarai jelek?

Raja (Angga Yunanda) adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang ingin mandiri namun masih harus mengurus ayahnya Pak Dewa (Slamet Rahardjo) yang mulai sakit-sakitan. Sementara Asia (Putri Marino) memilih untuk berbakti dan menjaga ibunya Bu Linda (Ira Wibowo) yang jadi survivor kanker payudara. Di tengah masa pandemi yang mencekik, Pak Dewa dan Bu Linda berkenalan dan tumbuh benih-benih cinta di antara mereka. Raja yakin dengan pilihan ayahnya sedangkan Asia penuh keraguan. Saat Raja berhasil meyakinkan Asia tentang hubungan orangtua mereka, perasaan cinta justru mulai muncul di antara Raja dan Asia.


Setelah selesai menontonnya, harus diakui, sulit untuk 'membalas' Dua Garis Biru dengan film ini. Tapi film ini berhak dapat keadilan. Tidak seburuk itu,  paling tidak menurut saya. Ada beberapa catatan di sana-sini, tapi masih bisa dinikmati. Mari kita bahas lebih dalam. Semoga yang katanya review ini bisa membantu kamu memutuskan untuk menonton filmnya atau tidak.
 

Film dimulai dengan kita diantar pada kehidupan empat pemeran utama dalam film. Raja, Asia, Pak Dewa, dan Bu Linda. Raja yang baru saja dipecat dari pekerjaannya, Asia yang sedang mengajar dance, Pak Dewa yang sibuk dengan cat rambutnya, dan Bu Linda yang asik mengajar dansa jenis Waltz. Kemudian berlanjut, Nenek Nur, ibu dari Pak Dewa dan nenek dari Raja muncul. Adegan demi adegan yang sejak awal sudah menunjukkan kelebihan sekaligus kekurangan dalam film ini. Kompleksitas.


Bayangkan. Keluarga Pak Dewa dengan Raja dan Nenek Nur ditambah dua kakak perempuan Raja yang jadi peran pendukung, Ratu (Widi Mulia) dan Suri (Ersa Mayori), ditambah Bu Linda dan anaknya Asia. 4 pemeran utama dan 3 pemeran pendukung yang coba ditangkap perspektifnya oleh film ini. Bagus dan berhasil dari segi mencoba mengambil sebanyak mungkin sudut pandang, tapi menyebabkan keteteran di sana-sini. Alhasil, alih-alih simpati dan bisa mengerti, saya malah lebih banyak bingungnya. Belum sempat selesai memahami masalah karakter yang satu, sudah diajak pindah ke masalah yang satu lagi. Begitu terus sampai film selesai.

Bicara soal ending, Cinta Pertama, Kedua & Ketiga juga agak bermasalah. Plot yang dibangun sejak awal dengan berputar-putar ke banyak karakter dan terkesan lambat kesulitan menemukan klimaks dan jalan keluar cerita yang baik.  Di tengah puncak konflik yang serba nanggung tiba-tiba datang sebuah keajaiban untuk menyelesaikan permasalahan.

Performa empat aktor utama cukup membantu kita untuk keluar dari kejenuhan. Dua pasangan Pak Dewa-Bu LInda dan Raja-Asia berhasil membawakan tiap-tiap emosi dengan baik. Marah, kecewa, jatuh cinta, bahagia. Sayang, Ratu dan Suri rasanya kurang bisa menyeimbangi karakter utama lain. Peran kakak sebenarnya cukup penting untuk menambah tekanan pada Raja, namun beberapa scene terlihat cukup canggung.

Nenek Nur adalah pembeda. Meski porsinya tipis dan tidak banyak dialog, sebagai generasi 'pertama' dalam film ini, Nenek Nur melakukan tugasnya dengan baik. Adegan paling hangat dalam film ini menurut saya justru ada di scene Nenek Nur memegang tangan Raja cucunya dengan senyuman hangat dan menenangkan. Oh iya, catatan positif tambahan mesti diberikan pada kemampuan berdansa empat karakter utama dan koreografi yang oke punya.

Terkait teknis, ada satu hal yang paling mengganggu saya. Voice over. Entah dikonsep atau memang ada kesalahan pada kualitas audio/video saat syuting, ada terlalu banyak line dialog dalam bentuk voice over dalam film ini. Paham kan maksudnya ya? Audio diisi dengan voice over sementara layar menampilkan potongan video lain. Cukup mengganggu jujur.

Sebagai kesimpulan, film ini sebenarnya punya potensi untuk jadi baik, tapi sayangnya tidak bisa memberi porsi yang ideal pada tiap komponen dalam film. Bukan hanya dari segi banyaknya karakter akan tetapi juga dari banyaknya masalah yang ingin diangkat. Andai saja dibuat lebih sederhana dengan membahas lebih dalam tentang generasi 'roti lapis', mungkin akan lebih baik. Atau kalau memang ingin membahas lebih banyak hal, rasanya perlu penambahan durasi untuk memperdalam semua aspek. 1 jam 52 menit rasanya masih terlalu singkat.

Semua orang di keluarga pasti ada musimnya bikin repot. Tapi justru mungkin ini yang bikin kita jadi bisa jadi keluarga yang lebih baik. - Raja