We couldn't Become Adults (2021): Masa Lalu Yang Belum Tuntas
26 March 2022 |
17:35 WIB
We couldn't become adults debut film panjang Yoshihiro Mori yang diadaptasi dari novel berjudul Bokutachi wa Minna Otona ni Narenakatta karya penulis Moegara. Mungkin sebuah melodrama tentang menyusuri kejadian masa lalu seorang lelaki berusia 46 tahun di sebuah hotel kelas melati Tokyo yang kerlap-kerlip Intagramable dengan seorang mantan pacarnya. Sebuah observasi tentang eskapisme masa muda yang naif karena katanya menjadi normal itu membosankan.
Film yang digerakan dengan struktur naratif non-linear ini mengarahkan kita ke kejadian masa lampau yang dialami Makoto Sato (Mirai Moriyama) yang selalu gagal dalam hubungan percintaan dengan pacar-pacarnya beberapa tahun belakangan. Terlebih dengan pacar pertamanya Kaori Kato (Sairi Ito), orang yang secara tidak langsung membentuk kesuraman pada diri Sato karena meninggalkannya secara tiba-tiba dengan kalimat perpisahan yang janggal “akan kubawakan CD-nya lain kali”.
Diawali undangan pertemanan Facebook dari Kaori secara tiba-tiba pada malam-malam sunyi di sebuah kamar hotel yang menyebabkan rusaknya move on bertahun-tahun atau belum? kemudian Sato mulai melakukan stalking isi halaman Facebook Kaori, menampilkan foto-fotonya bersama keluarga kecilnya yang menimbulkan kebingungan pada diri Sato. Apa yang dibayangkan Sato tentang Kaoiri selama ini seolah salah, ia menjalankan kehidupan yang biasa sama seperti dengan kebanyakan orang-orang di luar sana setelah berpisah darinya sekian lama. Hal ini berbeda dengan apa yang pernah diucapkan Kaori ketika mereka terlibat kegiatan check in-check out di sebuah hotel waktu muda. Saat itu Sato mengajaknya untuk tinggal bersama yang dijawab Kaori "itu terlalu biasa". Oleh karena tidak menginginkan kehidupan yang "biasa" mereka tampak seperti alien di tengah-tengah semesta ketika muda dahulu. Menariknya sekuens dalam kamar hotel yang penuh ornamen kerlap-kerlip bintang seperti di ruang antargalaksi ini jadi metafora yang pas untuk mereka berdua. Kehidupan yang "biasa" ini bukan hanya simbol untuk perpisahan mereka, tetapi juga kunci untuk memahami apa yang salah dalam kehidupan percintaan Sato berikutnya.
Bayangan tentang Kaori pun terus merembes di dalam isi kepala Sato. Hingga bagian saat mereka melakukan short-trip dadakan ke sebuah pemandian air panas dengan menyewa sebuah mobil di musim panas. Sebuah sekuens perjalanan yang dibidik dengan melakukan transisi kamera ke 16mm pada layar menurutku adalah pilihan yang manis, mengingat jika ingatan manusia yang terfregmentasi dengan efek mengendap-ngendap, rapuh, dan hancur.
Praktis setelah hubungannya yang berakhir dengan Kaori, Sato, mulai menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan sebagai designer grafis untuk sebuah agency dengan upah murah dan jam kerja yang melelahkan. Atau di dalam masyarakat Jepang sering disebut dengan istilah "Salaryman Culture" yang ditandai dengan kerja lembur, minum-minum di bar dengan teman selepas bekerja, kurang tidur kemudian hal tersebut akan berulang esok harinya.
Di sinilah pembuat film jeli menyelipkan isu dengan konteks lingkungan kerja di Jepang ke dalam cerita sebagai subteks. Misal, budaya nongkrong pada kelas pekerja yang ditampilkan melalui orang-orang terdekat di sekitar Sato.
Di pabrik pembuatan makanan ringan tempat Sato pertama kali bekerja ia akan menghabiskan waktunya selepas bekerja dengan berkumpul bersama rekan-rekannya untuk sekedar menikmati mie instan. Atau ketika mulai pindah ke agency ia menghabiskan malam-malamnya di bar kota Tokyo, menjadikan alkohol sebagai ansiolitik untuk membius dirinya sendiri dari depresi. Pada bagian ini ada adegan menonjol yang coba dilakukan oleh pembuat film. Saat rekan-rekan kerja Sato melakukan flirting terhadap gadis-gadis di bar, ia tampak melihat kaca yang memantulkan bayangan dirinya yang murung sebelum kamera bergerak perlahan ke dirinya yang asli.
Ada juga sekuens-sekuens yang mencerminkan bagaimana hierarki berperan dalam banalitas lingkungan kerja di Jepang. Ambil contoh saat Sato menunjukan hasil design kepada bosnya lalu si bos ini marah-marah sambil merevisi hasil kerjanya karena dianggap tidak sesuai dengan seleranya, rekan kerja Sato yang harus sampai berkelahi untuk sekedar menagih invoice kepada klien. Hal-hal yang membuat rekannya muak hingga memutuskan untuk berhenti bekerja karena merasa lelah menjalani hidup yang seperti fotokopi.
Tapi ada yang membuat risih ketika menonton We Couldn't Become Adult, isu representasi queer pada dua pemeran pendukung yang berperan sebagai rekan kerja Sato di pabrik makanan ringan dan seorang bar tender klub malam. Ini disebabkan oleh identitas queer mereka yang hanya menjadi sebuah tempelan. Mereka yang tampak memiliki perasaan terhadap Sato tapi seolah dibungkam oleh script ketika hendak menyatakan perasaannya terhadap Sato saat berpisah. Pertama saat Sato hendak keluar dari pekerjaan lamanya, rekan kerjanya ini hanya berdiri sambil memberikan buket bunga tanda perpisahan. Kedua saat Sato bertemu dengan rekan lamanya yang seorang bar tender secara tidak sengaja di tengah jalan, ia berucap "andai kita tidak pernah bertemu" sebelum mereka akhirnya berpisah. Sudut pandang seperti ini seolah-olah menempatkan identitas mereka sebagai queer berjarak dengan lingkungan sekitar. Atau bagi sebagian orang, ini mungkin tampak seperti masalah kecil, tapi bukankah kita sebagai penonton terkadang berharap dengan alur cerita atau perkembangan karakter? bukan hanya memanfaatkan representasi tanpa benar-benar mewakilinya.
Pada klimaksnya memori bukan seperti wadah pasif dalam hidup Sato, tapi ia aktif berproses di mana setiap potongannya dapat dipertahankan, disusun ulang, atau dibuang untuk mendapatkan sebuah pencerahan. Dalam pengertian yang lebih mendasar; masa lalu tidak dapat diucapkan, sebaliknya kita harus mengatakan masa lalu akan hadir setiap kali disusun ulang.
Film yang digerakan dengan struktur naratif non-linear ini mengarahkan kita ke kejadian masa lampau yang dialami Makoto Sato (Mirai Moriyama) yang selalu gagal dalam hubungan percintaan dengan pacar-pacarnya beberapa tahun belakangan. Terlebih dengan pacar pertamanya Kaori Kato (Sairi Ito), orang yang secara tidak langsung membentuk kesuraman pada diri Sato karena meninggalkannya secara tiba-tiba dengan kalimat perpisahan yang janggal “akan kubawakan CD-nya lain kali”.
Diawali undangan pertemanan Facebook dari Kaori secara tiba-tiba pada malam-malam sunyi di sebuah kamar hotel yang menyebabkan rusaknya move on bertahun-tahun atau belum? kemudian Sato mulai melakukan stalking isi halaman Facebook Kaori, menampilkan foto-fotonya bersama keluarga kecilnya yang menimbulkan kebingungan pada diri Sato. Apa yang dibayangkan Sato tentang Kaoiri selama ini seolah salah, ia menjalankan kehidupan yang biasa sama seperti dengan kebanyakan orang-orang di luar sana setelah berpisah darinya sekian lama. Hal ini berbeda dengan apa yang pernah diucapkan Kaori ketika mereka terlibat kegiatan check in-check out di sebuah hotel waktu muda. Saat itu Sato mengajaknya untuk tinggal bersama yang dijawab Kaori "itu terlalu biasa". Oleh karena tidak menginginkan kehidupan yang "biasa" mereka tampak seperti alien di tengah-tengah semesta ketika muda dahulu. Menariknya sekuens dalam kamar hotel yang penuh ornamen kerlap-kerlip bintang seperti di ruang antargalaksi ini jadi metafora yang pas untuk mereka berdua. Kehidupan yang "biasa" ini bukan hanya simbol untuk perpisahan mereka, tetapi juga kunci untuk memahami apa yang salah dalam kehidupan percintaan Sato berikutnya.
Bayangan tentang Kaori pun terus merembes di dalam isi kepala Sato. Hingga bagian saat mereka melakukan short-trip dadakan ke sebuah pemandian air panas dengan menyewa sebuah mobil di musim panas. Sebuah sekuens perjalanan yang dibidik dengan melakukan transisi kamera ke 16mm pada layar menurutku adalah pilihan yang manis, mengingat jika ingatan manusia yang terfregmentasi dengan efek mengendap-ngendap, rapuh, dan hancur.
Praktis setelah hubungannya yang berakhir dengan Kaori, Sato, mulai menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan sebagai designer grafis untuk sebuah agency dengan upah murah dan jam kerja yang melelahkan. Atau di dalam masyarakat Jepang sering disebut dengan istilah "Salaryman Culture" yang ditandai dengan kerja lembur, minum-minum di bar dengan teman selepas bekerja, kurang tidur kemudian hal tersebut akan berulang esok harinya.
Di sinilah pembuat film jeli menyelipkan isu dengan konteks lingkungan kerja di Jepang ke dalam cerita sebagai subteks. Misal, budaya nongkrong pada kelas pekerja yang ditampilkan melalui orang-orang terdekat di sekitar Sato.
Di pabrik pembuatan makanan ringan tempat Sato pertama kali bekerja ia akan menghabiskan waktunya selepas bekerja dengan berkumpul bersama rekan-rekannya untuk sekedar menikmati mie instan. Atau ketika mulai pindah ke agency ia menghabiskan malam-malamnya di bar kota Tokyo, menjadikan alkohol sebagai ansiolitik untuk membius dirinya sendiri dari depresi. Pada bagian ini ada adegan menonjol yang coba dilakukan oleh pembuat film. Saat rekan-rekan kerja Sato melakukan flirting terhadap gadis-gadis di bar, ia tampak melihat kaca yang memantulkan bayangan dirinya yang murung sebelum kamera bergerak perlahan ke dirinya yang asli.
Ada juga sekuens-sekuens yang mencerminkan bagaimana hierarki berperan dalam banalitas lingkungan kerja di Jepang. Ambil contoh saat Sato menunjukan hasil design kepada bosnya lalu si bos ini marah-marah sambil merevisi hasil kerjanya karena dianggap tidak sesuai dengan seleranya, rekan kerja Sato yang harus sampai berkelahi untuk sekedar menagih invoice kepada klien. Hal-hal yang membuat rekannya muak hingga memutuskan untuk berhenti bekerja karena merasa lelah menjalani hidup yang seperti fotokopi.
Tapi ada yang membuat risih ketika menonton We Couldn't Become Adult, isu representasi queer pada dua pemeran pendukung yang berperan sebagai rekan kerja Sato di pabrik makanan ringan dan seorang bar tender klub malam. Ini disebabkan oleh identitas queer mereka yang hanya menjadi sebuah tempelan. Mereka yang tampak memiliki perasaan terhadap Sato tapi seolah dibungkam oleh script ketika hendak menyatakan perasaannya terhadap Sato saat berpisah. Pertama saat Sato hendak keluar dari pekerjaan lamanya, rekan kerjanya ini hanya berdiri sambil memberikan buket bunga tanda perpisahan. Kedua saat Sato bertemu dengan rekan lamanya yang seorang bar tender secara tidak sengaja di tengah jalan, ia berucap "andai kita tidak pernah bertemu" sebelum mereka akhirnya berpisah. Sudut pandang seperti ini seolah-olah menempatkan identitas mereka sebagai queer berjarak dengan lingkungan sekitar. Atau bagi sebagian orang, ini mungkin tampak seperti masalah kecil, tapi bukankah kita sebagai penonton terkadang berharap dengan alur cerita atau perkembangan karakter? bukan hanya memanfaatkan representasi tanpa benar-benar mewakilinya.
Pada klimaksnya memori bukan seperti wadah pasif dalam hidup Sato, tapi ia aktif berproses di mana setiap potongannya dapat dipertahankan, disusun ulang, atau dibuang untuk mendapatkan sebuah pencerahan. Dalam pengertian yang lebih mendasar; masa lalu tidak dapat diucapkan, sebaliknya kita harus mengatakan masa lalu akan hadir setiap kali disusun ulang.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.