Aum!: Perlawanan, Sinema, dan Orde Baru

26 March 2022   |   17:04 WIB

Like
Satriya (Jefri Nichol) muncul dari balik pakaian yang dijemur, berlari di lorong sebuah rumah susun. Ia berlari dan tetap mewaspadai sekitar, sesekali melihat ke belakang. Ia sembunyi, dan berlari lagi dari kejaran orang-orang yang mengenakan pakaian laiknya ‘preman’—umumnya ini bagian dari militer, kaki-tangan di era Orde Baru. Sampai pada Satriya menemui jalan buntu dan berbalik arah, lalu dari balik tembok muncul kepalan tangan tepat ke wajahnya.

Adegan berdurasi 1:30 menit itu menjadi pembuka dalam Aum! (2021). Setidaknya dari awal cerita, narasi aktivisme di akhir era Orde Baru sudah cukup kental. Satriya tampak sebagai representasi para mahasiswa yang berjibaku dengan aktivisme untuk memperjuangkan reformasi.

Di Pertunjukan (Bagian I) dalam Aum! ini, diceritakan bahwa ternyata Satriya memiliki saudara yang berprofesi sebagai militer, yakni Adam (Aksara Dena). Di tengah ketegangan akhir kejayaan Orde Baru, di mana militer tengah gencar-gencarnya memburu siapa saja yang dianggap sebagai pemberontak, Satriya sebagai mahasiswa ialah salah satu target militer.

Linda Salim (Agnes Natasya Tjie) sebagai produser dan tim produksi Pertunjukan lainnya, berupaya membuat film dengan sekepal narasi menyoal wacana reformasi di era Orde Baru. Bagi Linda dan teman-temannya, penuturan lewat sinema berisi wacana reformasi sama pentingnya dengan ribuan kepalan tangan mahasiswa di jalanan yang memperjuangkan tumbangnya sang diktator.

Praksis Gerilya Produksi Film di Akhir Orde Baru

Hakikatnya Aum! merupakan film dalam film. Pada Perjalanan (Bagian II) kita disuguhkan bagaimana proses produksi film independen di era Orde Baru. Khusus konteks film ini, Perjalanan sebagai proses produksi Pertunjukan. Hal inilah yang membedakan Aum! dengan film-film bertemakan reformasi lainnya. Di mana itu menggambarkan titik-titik penting dalam peristiwa ’98; demonstrasi mahasiswa, kerusuhan yang mengakibatkan etnis Tionghoa sebagai korban, dan kebejatan rezim Orde Baru. Namun setelah melewati 25 menit pertama dalam Aum! hadirlah Perjalanan dan menegaskan tema seperti ini ternyata sama pentingnya.

Bambang Kuntara Mukti sebagai sutradara Aum! termasuk jeli dalam memilih narasi produksi film independen di era Orde Baru untuk mendapatkan sisi human interest lainnya. Selain itu, produksi film independen juga menjadi tepat ketika hal ini ditekankan dalam  menyuarakan kebebasan berekspresi.

Membuat film independen bukanlah hal yang mudah di Orde Baru. Membuat film independen sama saja seperti melawan negara. Pada era Orde Baru, mengutip Eric Sasono, terdapat satu-satunya organisasi perfilman bernama KFT (Karyawan Film dan Televisi). Ini berkaitan dengan pelarangan negara terkait adanya lebih dari satu organisasi profesi agar mudah dikendalikan. Otomatis, melanggar ketentuan KFT berarti sama sekali tak mungkin bisa masuk ke industri film dan televisi.

Dalam Perjalanan, hadir sosok Paul Whiteberg (Richard) sebagai wartawan dari Amerika Serikat yang meliput seputar reformasi ‘98 di Indonesia. Dari lensa kamera Paul inilah Perjalanan disajikan serupa film dokumenter. Awal kehadirannya tentu menjadi momok bagi para kru film, karena rezim Orde Baru sangat berhubungan dengan Amerika Serikat. Namun, Linda meyakinkan rekan-rekannya termasuk Panca Kusuma Negara (Chicco Jerikho) sebagai sutradara, bahwasanya Paul berada di pihak mereka.

Senada dengan Pertunjukan, dalam Perjalanan juga menarasikan ketegangan dan kewaspadaan mahasiswa terhadapa rezim Orde Baru. Pertama-tama, yang paling menonjol adalah saat produksi film, Linda kerap kali mengingatkan kru lainnya untuk tidak berisik dan sebisa mungkin bekerja dengan keadaan senyap. Hal itu tentu saja mengantisipasi suara dan wacana yang mereka tuang dalam film agar tidak terdengar oleh orang lain. Apalagi, di era Orde Baru, dwifungsi ABRI benar-benar berjalan dalam tatanan idealnya. Sehingga bisa jadi tukang sapu, pedagang bakso, dan profesi sipil lainnya diperankan oleh militer. Sebab itu, Linda tak henti-hentinya bersikap sangat hati-hati.

Penyajian narasi proses produksi film independen dalam Aum! bukan tanpa alasan, atau sekadar agar terlihat berbeda dari film bertemakan reformasi lainnya. Produksi film independen di era Orde Baru, sejatinya memang benar-benar dilakukan. Meski pergerakan dibatasi dan  adanya penyensoran film, produksi film independen tetap bergerilya, baik kelompok maupun individu.

Lihat Quirine Van Heeren dalam Jiwa Reformasi dan Hantu Masa Lalu: Sinema Indonesia Pasca Orde Baru (2019) memberi contoh film independen yang diproduksi di era Orde Baru yakni Kuldesak (1999), diproduksi secara bawah tanah oleh empat sutradara Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovani, dan Nan Achnas. Mereka, sebut Heeren, melanggar semua peraturan produksi film yang diberlakukan pada masa Orde Baru. Sekilas, Orde Baru melakukan praktik sebagaimana disebutkan Heeren, cursive practices (praktik miring) dalam mediasi film di tahapan produksi, distribusi, dan penayangan film guna mempropagandakan dan merepresentasikan nilai dan politik negara dalam film.

Masih mengutip Heeren, Kuldesak diproduksi secara sembunyi-sembunyi selama dua tahun (1996-1998) dan keempat sutradara itu mengabaikan peraturan legal-formal rezim Orde Baru soal produksi film untuk menghemat tenaga, waktu, dan biaya. Uniknya, para sutradara Kuldesak sengaja tidak mendaftarkan rencana produksi Kuldesak kepada Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan.

Paling tidak, narasi Aum! mendekati itu. Produksi film independen oleh mahasiswa dengan peralatan seadanya dan melanggar asas-asas peraturan membuat film di Orde Baru, menyatakan bahwa film ini mengingatkan tentang bagaimana represifnya Orde Baru dari perspektif  pembuatan film.

Warisan Orde Baru Hari Ini

Hari ini, 23 tahun sudah reformasi berlangsung di Indonesia. Harapan para reformis yang memperjuangkan reformasi pada 1998 silam, menjadi aspek penting yang bisa ditarik pada Aum! Dengan pola naratif yang kompleks, Aum! mencoba memberikan penggambaran hidup di era Orde Baru, khususnya kepada saya yang tidak merasakan hidup di era tersebut.

Dengan adegan-adegan dalam Aum! bisa dikatakan sebenarnya tak jauh beda dengan keadaan saat ini. Lihat saja, ketika Linda tak bosan-bosan mengingatkan kru film lainnya agar sesenyap mungkin dalam bekerja. Walaupun berbeda konteks, hari ini kita juga tak bosan-bosan mengingatkan diri sendiri untuk bersuara, berpendapat, dan berekspresi dengan hati-hati terutama di media sosial agar tidak terjerat UU ITE.

Selain itu, Aum! secara halus menarasikan sifat militer Panca saat berlangsungnya produksi film. Orde Baru diketahui tak suka dengan pers, bahkan beberapa perusahaan pers seperti Tempo, DeTik, dan Editor dibredel. Panca sebagai sutradara yang idealis justru tidak suka jika kamera Paul menyorotinya. Padahal seperti yang dikatakan Linda, posisi Paul di situ untuk liputan. Selain itu Panca juga bertingkah semaunya sendiri, sampai-sampai Linda mengatakan, “Tidak ada tempat untuk orang yang keras kepala, apalagi semaunya sendiri”.

Terlalu banyak korban dalam peristiwa ’98 yang belum diselesaikan negara hingga hari ini. Menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal ditembak aparat militer dan 681 orang dari berbagai kampus  mengalami luka-luka. Pada rentang 13-15 Mei 1998 juga korban berjatuhan di Jakarta, Bandung, Solo, dan beberapa kota, sebanyak 1.300 lebih orang tewas dan ratusan perempuan diperkosa tanpa mendapatkan keadilan hingga sekarang. Itu data kasar yang sampai ke Kontras, saya yakin bisa jadi jumlahnya lebih banyak dari itu.

Singkatnya, hari ini “Orde Baru” masih bekerja dan difasilitasi negara. Pemerintah melanggengkan perlakuan Orde Baru kepada rakyat, dengan cara yang berbeda namun sama menyakitkannya. Reformasi mungkin saja terjadi, tapi sifat-sifat kediktatoran dan kekerasan negara itu mendarah daging.

Aum! dengan penuturannya sepanjang film menegaskan produksi film independen bagian dari perlawanan terhadap negara, baik di era Orde Baru maupun hari ini. Isyarat dalam Aum! bisa ditarik sebagai bahwasanya pembuat film independen sebenarnya dekat sekali dengan militer. Institusi penyiaran hari ini juga melanggengkan sikap militeristik era Orde Baru. Di negara yang militeristik, bisa jadi orang-orang terdekat kita—saudara, orang tua, sahabat, dll—bagian dari militer. Dan tentu saja, dari dekat sekali, memeriksa isi kepala kita sendiri perihal kelanggengan militeristik.