"Turning Red" dan Nostalgia Masa Remaja
26 March 2022 |
15:37 WIB
3
Likes
Like
Likes
Dalam beberapa waktu terakhir, terlihat bahwa Pixar mencoba membawa film dengan tema introspektif yang berhubungan tentang pencarian jati diri dan juga kekeluargaan. Sumber dari konflik mereka berasal dari diri sendiri atau orang-orang terdekat yang disayang oleh protagonis kita, dan bukan karakter antagonis seperti yang biasanya kita kenal. Bulan Maret ini, Pixar merilis film dengan formula yang sama, yaitu Turning Red.
Turning Red menceritakan tentang Mei Lee (Rosalie Chiang), seorang gadis 13 tahun dari keluarga Tiongkok yang tinggal di Kanada, yang mendapat kutukan menjadi panda merah raksasa di tengah-tengah semangatnya memulai tahun ajaran baru. Sama seperti anak 13 tahun lainnya, Mei menyukai cowok seumurannya, suka main dengan teman-temannya yang juga sama-sama ngefans dengan boyband yang sedang populer saat itu, 4*TOWN. Konflik datang ketika orangtuanya tidak memberikan izin dan mempermasalahkan hal-hal yang ia ingin lakukan—meskipun Mei sendiri selama ini telah menurut dalam menjalankan tugasnya sehari-hari di rumah. Terlebih lagi ketika kutukannya muncul. Dilema Mei ada di bagaimana ia bisa mendapatkan yang ia inginkan, namun tanpa membuat keluarganya—terutama ibunya—marah.
Disutradarai oleh Domee Shi—dikenal dengan film pendeknya berjudul “Bao”, yang memenangkan Academy Award untuk Animasi Film Pendek Terbaik tahun 2019 lalu, Turning Red sangat kental dengan elemen budayanya. Sebagai seorang penduduk Kanada berdarah Tionghoa, Shi menggambarkan berbagai elemen narasi yang erat dengan masa lalunya. Tema sentral dari ceritanya juga berbicara tentang dilema untuk mencapai keinginan diri sendiri di tengah-tengah ekspektasi keluarga.
Oleh karena itu, penggambaran desain karakter dan juga konflik yang diangkat dapat dibilang cukup sederhana dan realistis—meskipun layaknya film Pixar lainnya, elemen fantasi sangat kental di film ini. Mencoba mendapatkan izin orangtua untuk dapat melakukan hal yang kita inginkan, membeli sesuatu yang kita inginkan, merupakan sebuah tekanan tertentu ketika kita berumur 13-tahun. Bahkan, jika tidak diizinkan, kita bisa menganggap seolah-olah itu hal terburuk di dunia!
Kutukan Mei membuatnya berubah menjadi panda merah raksasa setiap ia merasakan sesuatu secara intens: sangat senang, sangat sedih, sangat marah, dan seterusnya. Karena panda merah ini didapatkan secara turun-temurun, para wanita di keluarga Mei (ibu, nenek, dan tante-tantenya) juga pernah mendapatkan hal yang sama. Namun, mereka memutuskan untuk mencabut panda merah mereka supaya dapat menjalankan hidup seperti semula. Sehingga, ritual pencabutan dapat dipahami sebagai sebuah tradisi di keluarga Mei.
Penempatan konser 4*Town, boyband yang Mei sukai, sebagai bagian dari klimaks konflik tersebut merupakan sesuatu yang masuk akal untuk remaja berumur 13 tahun. Dan simbolis terhadap dilema Mei yang ia rasakan sejak awal. Selain menjadi representasi yang cocok dengan Mei sebagai individu versus Mei yang peduli dengan keluarganya, pengadaan ritual di tengah arena konser boyband tersebut merupakan analogi yang menarik tentang kepercayaan spiritual yang menjadi tradisi bertemu dengan kesenangan budaya populer.
Dalam sisi desain visual karakternya, Turning Red sama sekali tidak membosankan. Layaknya Bao yang menggambarkan karakternya secara imajinatif, Turning Red juga menerapkan hal yang sama dalam penggambaran karakternya: dengan berbagai bentuk wajah dan tubuh, serta penampilan yang berbeda dan beragam. Dapat dibilang kata kuncinya adalah keragaman. Variasi dari setiap orang yang muncul di layar sangat beragam, dan mirip dengan bentuk orang-orang yang kita temui di kehidupan sehari-hari.
Terutama terlihat pada kelompok teman Mei sendiri. Ada Miriam yang berbehel dan berpenampilan seperti seorang remaja yang gemar skateboard, Priya yang selalu berekspresi datar dan menyukai hal-hal yang berbau goth, dan Abby yang sangat berapi-api dalam melakukan segala hal. Penampilan mereka yang berbeda menambah unsur menarik dari film ini. Dan meskipun mereka memiliki karakteristik dan hal-hal kesukaan yang berbeda pula, mereka tetap mencerminkan perilaku dan antusiasme anak 13 tahun pada umumnya dengan percaya diri. Mereka menerima Mei apa adanya, dan tidak segan untuk berterus terang dengannya.
Penggambaran ini membawa sudut pandang yang baik dan positif terhadap femininitas di umur praremaja. Contohnya, dapat terlihat dari histerisnya mereka membicarakan tentang 4*TOWN, atau sekadar melihat cowok ganteng.
Beberapa penonton menganggap penggambaran ini sebagai ‘memalukan’, atau ‘cringe’. Sebaliknya, beberapa penonton menanggapi bahwa Mei dan teman-temannya secara akurat merepresentasikan kita di umur 13 tahun. Respon ini menciptakan sebuah hashtag di Twitter: #at13. Isinya adalah cerita orang-orang tentang mereka di umur 13 tahun, atau hal-hal yang mereka sukai, sebagai bukti dari benarnya representasi tersebut.
Penggambaran femininitas lainnya adalah topik tentang menstruasi, sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya di film anak-anak. Meskipun tujuan Shi adalah membuat analogi tentang pubertas dengan panda merah, salah satu adegannya menunjukkan ibu Mei yang membawa sejumlah pembalut dan juga obat. Hal ini dapat dibilang sebuah pendekatan yang positif dalam mewajarkan ‘proses kedewasaan’ terhadap penonton yang lebih muda.
Dengan pemilhan warna yang cerah dan visual yang luwes, Turning Red terlihat sangat hidup dan menarik. Kentalnya identitas Shi sebagai seorang penduduk Kanada dengan darah Tionghoa diterjemahkan dalam film ini tanpa membuatnya membosankan. Pesan moral yang diangkat juga baik untuk penonton dari segala umur—baik untuk mereka yang lebih muda, maupun untuk kita yang bernostalgia tentang masa remaja.
Turning Red sudah dapat ditonton di platform streaming Disney+ sejak 11 Maret lalu.
Turning Red menceritakan tentang Mei Lee (Rosalie Chiang), seorang gadis 13 tahun dari keluarga Tiongkok yang tinggal di Kanada, yang mendapat kutukan menjadi panda merah raksasa di tengah-tengah semangatnya memulai tahun ajaran baru. Sama seperti anak 13 tahun lainnya, Mei menyukai cowok seumurannya, suka main dengan teman-temannya yang juga sama-sama ngefans dengan boyband yang sedang populer saat itu, 4*TOWN. Konflik datang ketika orangtuanya tidak memberikan izin dan mempermasalahkan hal-hal yang ia ingin lakukan—meskipun Mei sendiri selama ini telah menurut dalam menjalankan tugasnya sehari-hari di rumah. Terlebih lagi ketika kutukannya muncul. Dilema Mei ada di bagaimana ia bisa mendapatkan yang ia inginkan, namun tanpa membuat keluarganya—terutama ibunya—marah.
Disutradarai oleh Domee Shi—dikenal dengan film pendeknya berjudul “Bao”, yang memenangkan Academy Award untuk Animasi Film Pendek Terbaik tahun 2019 lalu, Turning Red sangat kental dengan elemen budayanya. Sebagai seorang penduduk Kanada berdarah Tionghoa, Shi menggambarkan berbagai elemen narasi yang erat dengan masa lalunya. Tema sentral dari ceritanya juga berbicara tentang dilema untuk mencapai keinginan diri sendiri di tengah-tengah ekspektasi keluarga.
Oleh karena itu, penggambaran desain karakter dan juga konflik yang diangkat dapat dibilang cukup sederhana dan realistis—meskipun layaknya film Pixar lainnya, elemen fantasi sangat kental di film ini. Mencoba mendapatkan izin orangtua untuk dapat melakukan hal yang kita inginkan, membeli sesuatu yang kita inginkan, merupakan sebuah tekanan tertentu ketika kita berumur 13-tahun. Bahkan, jika tidak diizinkan, kita bisa menganggap seolah-olah itu hal terburuk di dunia!
Kutukan Mei membuatnya berubah menjadi panda merah raksasa setiap ia merasakan sesuatu secara intens: sangat senang, sangat sedih, sangat marah, dan seterusnya. Karena panda merah ini didapatkan secara turun-temurun, para wanita di keluarga Mei (ibu, nenek, dan tante-tantenya) juga pernah mendapatkan hal yang sama. Namun, mereka memutuskan untuk mencabut panda merah mereka supaya dapat menjalankan hidup seperti semula. Sehingga, ritual pencabutan dapat dipahami sebagai sebuah tradisi di keluarga Mei.
“The number one rule in my family? Honor your parents. [..] The least you can do in return is every single thing they ask.”
Penempatan konser 4*Town, boyband yang Mei sukai, sebagai bagian dari klimaks konflik tersebut merupakan sesuatu yang masuk akal untuk remaja berumur 13 tahun. Dan simbolis terhadap dilema Mei yang ia rasakan sejak awal. Selain menjadi representasi yang cocok dengan Mei sebagai individu versus Mei yang peduli dengan keluarganya, pengadaan ritual di tengah arena konser boyband tersebut merupakan analogi yang menarik tentang kepercayaan spiritual yang menjadi tradisi bertemu dengan kesenangan budaya populer.
Dalam sisi desain visual karakternya, Turning Red sama sekali tidak membosankan. Layaknya Bao yang menggambarkan karakternya secara imajinatif, Turning Red juga menerapkan hal yang sama dalam penggambaran karakternya: dengan berbagai bentuk wajah dan tubuh, serta penampilan yang berbeda dan beragam. Dapat dibilang kata kuncinya adalah keragaman. Variasi dari setiap orang yang muncul di layar sangat beragam, dan mirip dengan bentuk orang-orang yang kita temui di kehidupan sehari-hari.
Terutama terlihat pada kelompok teman Mei sendiri. Ada Miriam yang berbehel dan berpenampilan seperti seorang remaja yang gemar skateboard, Priya yang selalu berekspresi datar dan menyukai hal-hal yang berbau goth, dan Abby yang sangat berapi-api dalam melakukan segala hal. Penampilan mereka yang berbeda menambah unsur menarik dari film ini. Dan meskipun mereka memiliki karakteristik dan hal-hal kesukaan yang berbeda pula, mereka tetap mencerminkan perilaku dan antusiasme anak 13 tahun pada umumnya dengan percaya diri. Mereka menerima Mei apa adanya, dan tidak segan untuk berterus terang dengannya.
“We’ve all got an inner beast. We’ve all got a messy, loud, part of ourselves hidden away. And a lot of us never let it out.”
Penggambaran ini membawa sudut pandang yang baik dan positif terhadap femininitas di umur praremaja. Contohnya, dapat terlihat dari histerisnya mereka membicarakan tentang 4*TOWN, atau sekadar melihat cowok ganteng.
Beberapa penonton menganggap penggambaran ini sebagai ‘memalukan’, atau ‘cringe’. Sebaliknya, beberapa penonton menanggapi bahwa Mei dan teman-temannya secara akurat merepresentasikan kita di umur 13 tahun. Respon ini menciptakan sebuah hashtag di Twitter: #at13. Isinya adalah cerita orang-orang tentang mereka di umur 13 tahun, atau hal-hal yang mereka sukai, sebagai bukti dari benarnya representasi tersebut.
Penggambaran femininitas lainnya adalah topik tentang menstruasi, sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya di film anak-anak. Meskipun tujuan Shi adalah membuat analogi tentang pubertas dengan panda merah, salah satu adegannya menunjukkan ibu Mei yang membawa sejumlah pembalut dan juga obat. Hal ini dapat dibilang sebuah pendekatan yang positif dalam mewajarkan ‘proses kedewasaan’ terhadap penonton yang lebih muda.
Dengan pemilhan warna yang cerah dan visual yang luwes, Turning Red terlihat sangat hidup dan menarik. Kentalnya identitas Shi sebagai seorang penduduk Kanada dengan darah Tionghoa diterjemahkan dalam film ini tanpa membuatnya membosankan. Pesan moral yang diangkat juga baik untuk penonton dari segala umur—baik untuk mereka yang lebih muda, maupun untuk kita yang bernostalgia tentang masa remaja.
Turning Red sudah dapat ditonton di platform streaming Disney+ sejak 11 Maret lalu.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.