Yuni: Tentang "Di Sana" dan "Di Sini"

27 March 2022   |   09:28 WIB
Image
Muhammad Nanda Fauzan Menulis prosa, bermukim di Kota Serang, Banten.

Dalam gerak-laku Yuni (Arawinda Kirana), terhampar ketaksaan—jika bukan ambiguitas. Ia digambarkan sebagai tokoh yang terlatih dalam perkara bela diri, tapi terlampau polos sebagai remaja. Ia dicitrakan sebagai gadis baik dengan prestasi hampir gemilang, namun beroleh kebiasaan ganjil untuk mengutil aneka benda berwarna ungu (kliptomania). Ketaksaan mungkin dihadirkan sebagai perkembangan psikologi tokoh agar tertib nalar, atau juga dibentuk untuk tak tunduk pada logika biner—suatu sikap yang khas dalam kultur feminisme.

Mungkin oleh karenanya, impresi yang hadir setelah menonton Yuni (2021) garapan Kamila Andini adalah; film bertendens yang tidak tendensius.
           
Bertendens karena, film ini secara terang-terangan mengusung nilai tertentu. Jelas itu bukan perilaku tercela dalam produksi film, mengingat mustahil membuat karya seni di antara kekosongan moral (moral vacuum). Tapi kita perlu mewawas diri, bahwa tak sedikit film bertendens kita yang gagal untuk menghindar dari jebakan didaktisme; seolah-olah, karena beban ideologis yang hendak ditampilkan di layar, film menjadi saudara kembar dari khotbah di atas mimbar. Beruntungnya Yuni tak tampil tendensius, sebagaimana telah disinggung di awal, sehingga bisa dijadikan tolok ukur agar film-film ‘ideologis’ menemukan kemasan yang apik. Moral para tokohnya tak dijajakan secara verbal, gagasan silang-sengkarut tetapi dalam porsi yang presisi, dan—seolah berbalik dari struktur naratif pada umumnya—tokoh yang dominan ‘jahat’ abstain sepanjang durasi.

Agaknya, oponen utama dalam film ini adalah jerat-struktural di masyarakat, dan bukan tokoh. Ada memang konfrontasi antara Yuni dengan tokoh lainnya, tapi bagian itu tak dieksplorasi lebih jauh. Yang tampak jelas, konflik dibuat fragmentatif; penonton akan dipandu untuk bertualang dari satu problem ke problem lainya, beralih dari satu isu ke isu yang lain, dalam kehidupan seorang gadis remaja yang tumbuh di lingkungan sub-urban. Kecenderungan semacam ini membikin film yang kompleks—dan sesungguhnya hendak ‘berbicara tentang banyak hal’ itu—menjadi tetap bersahaja.

Tanpa tedeng aling-aling, memasuki lima belas menit pertama, film ini akan segera menghadapkan kita pada bagaimana kecenderungan sekolah, sebagai institusi pendidikan, justru mengatur tubuh wanita secara sporadis. Mereka menginisiasi tes keperawanan, hingga melarang wanita untuk bersenandung.

Sebagai pembuka, ia mungkin menghadirkan efek kejut terlalu dini bagi penonton. Tapi ia juga berarti momentum untuk mengambil ancang-ancang, sebab setelahnya, problem Yuni semakin  kompleks dan berlarut; lamaran datang dari Iman (Muhammad Khan), seorang pria yang baru saja dikenalnya, tepat ketika Yuni mulai merancang mimpi untuk melanjutkan pendidikan; Mang Dodi (Toto Radik), seorang pria tua beristri, juga datang meminang Yuni dengan jaminan sejumlah rupiah bila gadis incarannya terbukti masih perawan; tak menerima dua kali pinangan, Yuni menjadi objek olok-olok, di rumah dan sekolah; hinffa terbongkarnya identitas Pak Damar (Dimas Aditya), seorang guru yang diidolakannya.

Aneka konflik tersebut, yang berlapis-lapis dan tiba tanpa jeda, tidak pernah berujung pada penyelesaian yang solutif—atau semacam resolusi. Dalam Yuni, yang terhidang adalah penjajakan terhadap dunia alternatif, dunia luar dengan segala kemungkinannya.

Ketika sekolah—melalui ekstrakurikuler bernama Rohis—melarang kegiatan bernyanyi dan bermain musik, Yuni pada akhirnya dipertemukan dengan kelompok musisi rock  di jalanan (dengan wanita separuh baya sebagai vokalis, yang kelak akan dipertemukan kembali dengan Yuni), dan melesatlah suatu pertanyaan lugu yang terkesan tak dibuat-buat; “Di sini, suara bukan aurat, kan?”.

Kita perlu memberi aksentuasi pada “di sini,” dalam pertanyaan yang diutarakan Yuni. Frasa tersebut, sebagai penunjuk tempat, berangkat dari pengandaian tentang yang “di sana.

Di sana” (baca: sekolah), adalah ruang pengap di mana ekspresi tubuh mendapatkan sensor.  Sementara “di sini,” Yuni beroleh panggung—dalam arti harafiah—untuk tampil bernyanyi; suatu kemewahan yang sukar didapatkannya di sekolah. Kamila Andini, sang Sutradara, konsisten menggambarkan batas tegas antara—sebagaimana idiom yang digunakan Yuni—“di sana”  dan “di sini”,  dengan cara perlahan-lahan namun intens, melalui interaksi antara Yuni dan tokoh-tokoh asing yang ditemuinya.

Tokoh-tokoh asing punya peran penting untuk mengenalkan Yuni dengan realitas dunia luar, mengingat kedua orang tuanya bekerja di Kota. Misalnya, di samping vokalis rock, tokoh asing hadir dalam diri Suci (Asmara Abigail).

Suci, melalui dialog akrab dan hangat bersama Yuni di salon miliknya, menceritakan pengalaman autentiknya sebagai perempuan yang menikah muda; berkali-kali mengalami keguguran karena—sebagaimana diagnosa Dokter—rahimnya masih muda; mendapatkan trauma sebab diperlakukan buruk oleh Suami; diceraikan sepihak karena tak bisa memberi keturunan. Suci, meski tak mengetahui latar belakang Yuni, enteng saja menceritakan pengalaman kelamnya di masa lalu. Percayalah, laku semacam ini hanya mungkin digerakkan oleh roda bernama solidaritas.

Suci dan Yuni berjumpa pada momen yang tepat. Sesaat setelah tokoh protagonis kita menolak lamaran Iman.  Kita kembali menemukan ambivalensi antara “di sana” dan “di sini”. "Di sana" (baca; rumah) Yuni mengalami kegamangan, setelah sang nenek mengatakan bahwa setiap pernikahan adalah rezeki, dan tak elok bila ditolak. Di sini (baca; salon milik Suci) Yuni menemukan realitas lain, bahwa menikah—terlebih di usia muda—tak selamanya berakhir indah.  Singkatnya, Yuni mendapatkan validasi, bahwa pilihan yang ia ambil tak sepenuhnya keliru.

Dalam keadaan krisis semacam ini,  Yuni sadar bahwa yang ia miliki sesungguhnya hanya pilihan—dan itu pun serba terbatas. Kondisi semacam itu, saya yakini, turut membuat film terhindar dari deskripsi-deskripsi sophisticated.  Yuni tak dibentuk sebagai hero. Ia, dengan segala keterbatasannya, berusaha mengurai setiap peristiwa, lalu meresponsnya dengan tabiat-tabiat yang khas remaja.  

Di samping itu, Kamila Andini juga paham betul bagaimana memberi narasi pada gambar. Kita akan menemukan bagaimana penjajaran (jukstaposisi) dibuat dengan sangat cermat. Lima menit pertama, saat Yuni berangkat menuju sekolah dengan menggunakan motor maticnya (berwarna ungu!), kamera menangkap suatu pemandangan kontradiktif. Bangunan-bangunan pabrik yang tinggi menjulang bersisian dengan perumahan padat penduduk, warga yang hendak beraktivitas di pagi berbagi ruang dengan para pekerja di jalan raya, dan atap Masjid menjadi titik akhir adegan tersebut. Seolah menagih interpretasi, bahwa film akan berjalan dalam tegangan antara “modern” dan “tradisional”, atau situasi sosial yang berada dalam transisi di antara keduanya.

Komponen-komponen tersebut ajek dipertahankan Kamila Andini, bukan hanya melalui teknik pengambilan gambar yang utuh, tapi juga watak dan aktivitas para tokohnya. Modernitas tampak melalui atribut-atributnya yang khas, dari TikTok hingga idiom-idiom yang mencirikan praktik xenoglosofilia, seperti “cool pisan,” hingga “freedom abis,” tentu dengan dialek Jawa-serang yang medok. Sementara aspek tradisional disuguhkan sesuai tempat, sehingga jauh dari pandangan eksotik khas turisme, seperti berlatih debus hingga pemberian jejabur yang tampak kontekstual dengan cerita.

Ah... Jiwa kekanak-kanakan saya muncul dalam bentuk pertanyaan; jika tubuh kita diciptakan berwarna ungu (seperti Thanos), dan merangsang kleptomania yang diidap Yuni kambuh, apa yang akan ia curi dari kita? Saya tidak punya jawaban yang akurat. Tapi setelah menonton Yuni, ada sesuatu yang lenyap dari diri saya. Ialah pandangan normatif, bahwa sekolah dan rumah bisa menjadi ruang yang aman bagi remaja. Nyatanya tidak. Sebab, bagi figur seperti Yuni—dan teman-temannya—dua tempat itu sangat mungkin beralih rupa menjadi neraka. (*)

#hypefilm #hypeabismoviereview