Soul (2020) : Belajar Menghargai Kehidupan

24 March 2022   |   19:30 WIB
Image
Iyank Ika P loves drawing, writing, music, dreams, and Akemi Homura

Like
Aku pernah dengar kisah seekor ikan kecil. Ia berenang menghampiri ikan tua dan berkata, “Aku mau mencari sesuatu bernama Lautan.” “Lautan?” kata si ikan tua. “Itu tempat di mana kau berada sekarang.” “Ini lautan?” kata si ikan kecil. “Ini cuma air. Aku mau Lautan!”

--Dorothea Williams, Soul (2020)--

Sekiranya kutipan dialog di atas dapat mewakili pesan dari film karya Pixar Studios yang disutradarai oleh Pete Docter ini. Film Soul rilis pada tahun 2020, bercerita tentang seorang guru musik bernama Joe Gardner, yang bercita-cita menjadi musisi jazz.

Setelah melalui sekian banyak rintangan, akhirnya ia berkesempatan tampil bermain musik bersama Dorothea Williams, seorang penyanyi jazz ternama. Sayangnya, tepat setelah menerima kabar baik itu, ia mengalami kecelakaan hingga jiwanya tiba di alam lain.

Di alam itu, jiwa Joe hendak dibawa ke The Great Beyond, di mana jiwa-jiwa orang mati akan berpisah dari dunia. Tidak terima dengan kenyataan itu, jiwa Joe kabur sampai ke The Great Before, di mana jiwa-jiwa mungil disiapkan sebelum lahir ke dunia.

Di sana, Joe bertemu dengan salah satu jiwa yang belum lahir bernama 22, yang tampak tidak punya minat untuk hidup di dunia. Joe minta bantuan pada 22 dan jiwa lain bernama Moonwind, agar ia kembali ke dunia dan bisa tampil di panggung. Tapi karena ceroboh, Joe malah membuat 22 ikut jatuh ke bumi.

Siapa sangka, kecerobohan itu justru membawa pelajaran berharga bagi Joe dan 22, tentang betapa indahnya sebuah kehidupan.

Dari segi sinematografi, film ini sudah tak diragukan lagi. Studio Pixar selalu terampil dalam menampilkan visual yang menggugah emosi. Atmosfir antara dunia nyata dan dunia arwah terasa begitu kontras.

Pemandangan di dunia nyata tampak kurang berwarna, penuh sesak, dan “membosankan”, sementara alam sebelum dan sesudah kehidupan tampak luas, bercahaya, dipenuhi warna-warna terang dan makhluk-makhluk berwujud unik. Penggambaran ini cukup ampuh untuk menampilkan hal-hal di luar nalar manusia.

Kendati begitu, Pixar masih mampu membuat dunia nyata yang terkesan kusam itu menjadi tak kalah indah di momen-momen tertentu. Nuansa musik jazz juga cukup dominan di sepanjang film. Ketika Joe memainkan piano dengan sangat mumpuni, menghasilkan nada-nada yang menawan, sampai seakan-akan ia masuk ke dalam dunianya sendiri, penonton pun dapat ikut larut dalam permainan musiknya.

Namun yang paling menyentuh hati saya adalah pesan dalam film ini ; alasan  mengapa dunia nyata yang membosankan bisa terasa indah, dan mengapa Joe bisa terlarut dalam permainan pianonya.

Lelah Mengejar Masa Depan, Lupa Hidup di Masa Kini

Sekilas, konsep cerita film Soul mengingatkan saya pada film Pixar lain dengan tema serupa—yaitu mengulik aspek psikologis manusia : Inside Out (2015). Soul pun punya konsep-konsep tersendiri yang mewakili kejiwaan manusia. Salah satu konsep yang paling sering disebutkan dalam film adalah “spark” (percikan).

Jerry, penjaga alam sebelum kehidupan menyebutkan, “spark” adalah salah satu hal yang harus dimiliki sebuah jiwa sebelum siap dilahirkan ke dunia. Sebelum kembali ke dunia, Joe diberi kesempatan untuk menjadi mentor bagi 22.

Sayang, 22 belum juga menemukan “spark” bagi dirinya, karena tidak ada yang membuatnya tertarik untuk memulai hidup. Tapi setelah mencicipi kehidupan di dunia dengan merasuki tubuh Joe, 22 baru mendapatkan “spark”nya, dan dianggap siap lahir.

Joe sempat bingung, mencari tahu apa “spark” 22, karena ia yakin “spark” adalah bentuk tujuan hidup, seperti ia yakin bahwa “spark” dirinya adalah bermain piano. Namun Jerry membantah anggapan itu. “Spark” bukan tujuan hidup.

Joe juga merasa terpukul saat ia dapat kembali ke dunia dan tampil di panggung—sesuai impiannya, namun yang dirasakannya setelah itu tidak semenakjubkan yang ia kira. Lalu Dorothea menuturkan padanya cerita yang saya kutip di awal artikel ini. Itu membuat Joe (dan saya) merenungkan banyak hal.

Joe mengingat bagaimana 22 begitu menikmati detail-detail remeh di dunia nyata, seperti jalan kaki, dedaunan yang jatuh dan pizza yang enak. Ia juga ingat cerita seorang tukang cukur yang tetap hidup bahagia walaupun cita-citanya tidak tercapai.

Dari situ Joe sadar, hidup bukan melulu tentang impian atau tujuan. Ia telah melewatkan banyak momen indah dalam hidupnya karena terlalu sibuk mengejar impiannya. Ia lupa, bahwa tanpa impian pun ia masih bisa menikmati hidup.

“Spark” adalah sesuatu yang membuat jiwa kita membuncah. “Spark” bisa didapat dari sekadar jalan-jalan pagi, bermain bola, mendengarkan lagu favorit, atau bersenda gurau dengan teman. “Spark” adalah segala yang membuat kita merasa lebih “hidup”, seremeh apapun itu, dan itu tidak mesti berupa impian.

“Jangan lupa untuk nikmati hidup,” begitulah pesan utama film ini. Tapi bagaimana jika kita telanjur terjerembab dalam lembah obsesi?

Nikmati Hidup dengan Terapi Mindfulness

Selain “spark”, konsep kejiwaan lain yang dipaparkan film Soul adalah “the zone” dan “the lost souls”. “The zone” adalah sebuah dimensi khusus bagi jiwa manusia yang masih hidup. Setiap kali seorang manusia terhanyut dalam sebuah kegiatan, jiwanya akan terbawa melayang ke dalam “the zone”.

Contohnya adalah ketika Joe bermain piano, hingga seolah ia terpisah dari ruang dan waktu dunia nyata selama sesaat. Ketika itu, Joe masuk ke dalam “the zone”. Jika “the zone” terletak di lapisan atas dimensi jiwa, maka “the lost souls” berkeliaran di lapisan bawah.

Mereka adalah jiwa-jiwa yang menghitam akibat obsesi yang menekan terlalu kuat hingga jiwa itu terkungkung, tak dapat melihat dengan pikiran jernih, dan putus asa. Salah satu tokoh utama film Soul sempat menjadi “the lost soul”, dan tidaklah mudah untuk menjernihkan jiwanya kembali.

Sebagai seorang penyintas gangguan Bipolar, saya bisa merasakan peralihan dari larut dalam “the zone” sampai menjadi “the lost soul” secara intens. Selama beberapa hari saya bisa bersemangat menggeluti sesuatu hingga lupa waktu, sampai akhirnya hal itu menjadi obsesi berkelanjutan yang membawa saya pada fase “the lost soul” di kemudian hari.

Di fase itu, saya mudah cemas, frustrasi, bahkan depresi. Tapi akhirnya saya mempelajari sebuah terapi agar jiwa saya lebih stabil : Terapi Mindfulness. Terapi ini bertujuan agar kita senantiasa “hidup” di masa kini, tidak lagi terjebak dalam masa lalu maupun masa depan. Caranya beragam—bahkan sebagian caranya bisa dipelajari dari tindak-tanduk tokoh 22.

Bisa dengan melakukan pernapas teratur, meditasi, yoga, atau sekadar mengamati dan meresapi apa yang dapat kita lihat, dengar, hirup, dan raba di masa kini, sekecil apapun itu. Selain memperkuat konsentrasi, metode ini juga mampu membuat kita lebih sadar akan potensi diri dan mengurangi overthinking, kecemasan, maupun depresi.

Tentu tidak mudah melakukan terapi ini untuk menangani depresi, tapi perkembangan sekecil apapun patut diapresiasi untuk kesehatan mental kita. Kemampuan untuk hidup di masa kini menjadi penting agar sisa usia kita tidak terasa terbuang sia-sia.

Kita boleh punya tujuan dan cita-cita, namun jangan lupa untuk menghargai apa yang sudah ada di sekitar kita. Demikian pula pelajaran yang didapat Joe menuju penghujung film. Ketika ditanya oleh Jerry, “Bagaimana kau akan menjalani hidupmu?”

Joe menjawab, “Aku tidak yakin. Tapi yang jelas, aku akan menikmati setiap menit dalam hidupku.” Ini pula sebabnya ending film Soul dibuat terbuka tanpa penutupan yang konkret, menyiratkan pesan bahwa sebaik atau seburuk apapun ke depannya, hidup tetap patut dihargai.


(Perhatian : Artikel ini mengandung spoiler)