Yuni: Perempuan dalam Empat Babak

23 March 2022   |   17:32 WIB

Like
Pada tahun 1908, Kamsidi Samsuddin menulis lagu Ibu Pertiwi. Sejak saat itu, lagu ini menjadi bagian dari masa kecil kita dan tumbuh bersama kita, dinyanyikan dengan khidmat sambil posisi tegak. Liriknya bercerita air mata Ibu berlinang sembari merintih dan berdoa.

Tubuhnya terkoyak-koyak oleh anak-anaknya—manusia—yang tega memperalatnya. Tanahnya digarap, buminya dikuasai, dan hutan-hutannya diperkosa. Personifikasi alam sebagai entitas perempuan ini seakan masih relevan sampai sekarang. Perempuan dan alam dipandang sebagai objek dan properti yang layak dieksploitasi sistem patriarki. 

Kamila Andini membawa kita menilik bagaimana pemaknaan perempuan baik dalam ranah publik maupun privat menjadikan perempuan pada posisi subordinat, menciptakan kerentanan sosial baik pada fisik, reproduksi, dan bahkan eksistensi perempuan itu sendiri. Lewat Yuni, kita diajak mencari titik-titik kecil kebebasan ketika perempuan-perempuan Indonesia lahir, mencari arah, merekah, dan berserah. 
 

I. Lahir

Kita pertama kali bertemu Yuni (Arawinda Kirana) seadanya, tanpa busana, seakan baru lahir ke dunia. Dikenakannya pakaian dalam serba ungu, dengan perlahan namun pasti ia atributkan kebebasan pada tubuh bersihnya. Yuni bersiap menjemput kebebasan dengan motor ungunya. Dibawa olehnya harapan tersebut ke sekolah, gerbang menuju dunia. Sekolah sedianya menjadi tempat membina manusia sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan religius, membawa setiap anak ke arah masa depan yang lebih baik dengan memenuhi hak-haknya. Hak anak merupakan keniscayaan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara humanis sejalan dengan perkembangan kejiwaannya. Namun, di sekolah pula, tempat Yuni dilanggar haknya dan mendapat ketidakadilan untuk pertama kalinya. Disambut rintik hujan, Yuni dan teman-temannya dikumpulkan dalam sebuah aula. Layar proyektor terus menampilkan berita remaja perempuan yang hamil di luar nikah dan aborsi. Seorang perempuan asing berpenampilan bak orang penting membawa kabar, setiap murid perempuan akan dites keperawanannya. Satu per satu selaput dara mereka akan dianalisa untuk keperluan data. Urusan keperawanan menjadi titik sentral nilai moral orang kita hingga tidak lagi ditemukan ruang sakral bagi harga diri perempuan di Indonesia. Di hadapan Yuni dan teman-temannya ada seorang ibu, sesama perempuan, yang membawa tuntutan konformitas terhadap suatu norma dimana yang menjaga ‘kesucian’nya yang akan diterima. Alih-alih penyelarasan fungsi-fungsi sosial, yang dikorbankan justru kehidupan emosional. Tak peduli guncangan psikologis yang diakibatkannya dan berapa lama luka tersebut akan hidup bersama mereka. Dalam satu momen saja, sekolah dan pemangku kepentingan di sekitarnya telah berhasil menciptakan momok yang dapat merenggut masa depan anak-anaknya. 
 

II. Mencari Arah

Di tahun terakhirnya menjejak pendidikan menengah, Yuni dihadapkan pada pilihan untuk lanjut ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak. Daerah Yuni bukan yang paling terbelakang, tapi keterbatasan panutan. Bagi Yuni dan perempuan sebaya di sekitarnya, ‘tidak’ berarti menikah dan mengabdikan hidup pada suami. Katanya, ini bentuk ibadah kepada Tuhan, namun bagi Yuni ini ‘kutukan’. Saking sudah mengakarnya, masyarakat lupa bahwa yang melekat itu bukan kodrat, tapi hak. Perjalanan Yuni mencari kebebasan lagi-lagi harus bertemu dengan ketidakadilan.

Bu Lies (Marissa Anita) menjadi satu-satunya orang dewasa yang melihat Yuni bukan dari jenis kelaminnya, tapi dari potensi yang dimilikinya. Nilai Yuni bagus hampir di seluruh mata pelajaran. Dirinya bahkan mungkin berkualifikasi mendapat beasiswa untuk kuliah. Bu Lies tak hanya menjadi perantara bagi Yuni menuju kebebasannya, namun juga menjadi pengingat bahwa dalam menentukan pilihan hidup, lawannya bukan nilai-nilai keyakinan masyarakat, melainkan dirinya sendiri. Bahwa perempuan berhak menentukan jalan, bukan hanya untuk dirinya sekarang, tapi juga untuk perempuan-perempuan lain di masa yang akan datang. 

Di tengah usahanya menavigasikan diri, ada satu hal yang tak berubah dari Yuni, yaitu obsesinya pada warna ungu. Barang apapun yang berwarna ungu, jika ada di depan matanya, harus menjadi miliknya. Bagi Yuni, ini bukan perkara perempuan suka koleksi barang-barang cantik, tapi bagaimana Yuni mengidentifikasi dirinya. Setiap barang ungu yang diambil Yuni mewakili kebebasan-kebebasan yang direnggut darinya. Aksinya merupakan perlawanan simbolis terhadap hegemoni patriarkat yang berlaku dalam masyarakat.


III. Merekah

Realita Yuni dan perempuan Serang lainnya mungkin berbeda dengan realita perempuan di daerah lain, namun setiap remaja 16 tahun pasti pernah melewati masa aktualisasi diri lewat eksperimen. Erikson dalam Identity: Youth and Crisis menjelaskan masa ini sebagai psychological moratorium, yaitu bentuk eksplorasi identitas ketika terdapat kesenjangan antara rasa aman pada masa kanak-kanak dengan otonomi individu dewasa yang dialami pada masa remaja. Saat mempertanyakan identitas budayanya, remaja akan sering bereksperimen dengan peran-peran yang berlainan dan mengeksplorasi identitas-identitas yang bertentangan. 

Bak lebah yang mencabik-cabik daun untuk memaksa bunga mekar sebelum waktunya, laki-laki berdatangan layaknya koloni yang mengusik masa muda Yuni. Yuni tak mau menyerah dengan keadaan, kini dirinya ambil alih dalam permainan bernama pendewasaan. Kesempatan ini digunakannya untuk menerobos stigma bahwa perempuan hanya bisa menurut, tidak rasional, dan membutuhkan belas kasih, bahwa eksistensinya didomestikasi menjadi sebatas inferior bagi laki-laki. Lewat keputusannya sendiri, ia hampiri Iman (Muhammad Khan) untuk menolak mentah-mentah lamarannya. Lewat keputusannya sendiri, ia ajak Yoga (Kevin Ardilova) pergi kencan ke klub malam. Lewat keputusannya sendiri pula lah, ia bawa dirinya menuju Teh Suci (Asmara Abigail), seorang penyintas kekerasan rumah tangga dari pernikahan dini yang dibuang keluarganya sendiri, yang menjadi bahan bakarnya menuju kebebasan. Dalam masa ini, Yuni sedang bebas-bebasnya. Mekarnya perlawanan Yuni turut ditampilkan lewat cat ungu di rambutnya. Kini kebebasan tak hanya ia atributkan, tapi dijadikan satu dengan tubuhnya yang ia bawa kemana-mana. 
 

IV. Berserah

Sekuat-kuatnya Yuni, beban yang dipikul untuk menjaga harga diri perempuan tak mungkin ia tanggung sendiri. Sarah, Bu Lies, dan orang-orang terdekatnya satu demi satu mulai meninggalkannya berjuang sendiri. Hati perempuan mana yang tak hancur saat sedang berusaha mencari kuasa atas entitas diri, malah keperawanannya mau dibeli. Yuni dihargai 25 juta dalam bursa istri kedua seorang bapak-bapak mabuk agama. Kapasitasnya kini hanya sebatas perawan atau tidak. Sadar bahwa tak ada institusi sosial yang dapat mempertanggungjawabkan dan mengontrol ego patriarki kapitalis dan isme-isme destruktif lain yang dihasilkannya, Yuni membuka sendiri jalan keluarnya. Sebelum terjadi kesepakatan, Yuni pastikan dirinya bukan lagi seorang perawan. 

Yuni, juga seperti kita, tak selalu tahu apa yang dimau hati kecilnya, tapi Yuni paham bagaimana pentingnya kebebasan dapat membantu meraihnya. Bagaimana kebebasan dari kemiskinan dapat membuka begitu banyak peluang. Bagaimana kebebasan dari keterbatasan ilmu pengetahuan dapat membuka wawasan dan kematangan berpikir suatu kelompok. Bagaimana kebebasan dari belenggu intergenerasi dapat membuka harapan-harapan baru untuk hidup bahagia. Begitu banyak kebebasan yang ingin diraihnya, namun keadaan tak pernah berpihak padanya. Yuni berserah, suatu hari nanti suaranya tak akan didengar dan impiannya tak akan dikenal lagi. Intuisinya dengan ritme alam membawanya menghilang bersama hujan, membiarkan yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga. Tiap rintik hujan yang membasahi bumi menjadi doa dan harapan agar impiannya, perjuangannya, dan kebebasan-kebebasan kecil yang pernah dipeluknya, tetap hadir dan hidup lewat perempuan-perempuan lainnya meski jasadnya tak ada lagi.

                                                               ------------------------------------------------

Perempuan, layaknya manusia biasa, adalah makhluk yang kompleks. Bukan karena emosinya yang tak stabil karena kedatangan ‘tamu’ bulanan, namun karena perempuan berhak dilihat dalam keutuhannya sebagai manusia. Perempuan dapat bekerja, dapat menjadi anggota intelektual, dapat melakukan transformasi sosial masyarakat, tapi juga dapat kehilangan arah, dapat membutuhkan dan meminta bantuan, dapat stuck dalam proses pencarian kehidupan apa yang diinginkannya, semuanya dapat dilakukan saat dia memegang kendali atas opininya, emosinya, dan keputusannya sendiri. Seharusnya perjuangan perempuan di dalam memperoleh hak-haknya tidak lantas diterjemahkan sebagai langkah oposisi perlawanan terhadap kekuasaan. Sebab, merdeka bukanlah jenis kelamin.