Turning Red: Dari Realita Pubertas Sampai Trauma Antargenerasi
Likes
(Sumber gambar: twitter @PixarTurningRed)
Setiap hari, dalam kehidupan anak-anak Asia (saya pun), bisa dibilang punya pandangan hidup seperti Mei. Pandangan untuk selalu patuh dan melakukan semua perintah dari orang tua. Alasannya, karena mereka telah melakukan banyak hal untuk kita sedari kecil, hal ini disampaikan oleh Mei, “Peraturan pertama di keluargaku? Hormatilah orang tuamu”. Tapi -- selain punya kebebasan layaknya orang dewasa, Mei juga punya tanggung jawab untuk mengurus kuil leluhur di rumah.
Bicara tentang pubertas
Saat masa remaja tiba, memang menyenangkan bisa melakukan banyak hal dengan bebas, seperti – dapat izin untuk bisa berangkat sekolah sendiri naik bus? Namun tetap saja, ada hal-hal sulit yang muncul di keseharian. Ketika Mei pertama kali berubah menjadi panda merah, ia bersembunyi dan berteriak di kamar mandi.
“Apakah peony merahnya, mekar?” Ibu Ming Lee (Sandra Oh) mengira Mei mendapatkan menstruasi pertamanya dan segera membawa perlengkapan menstruasi, ibuprofen, vitamin B, hingga berbagai macam jenis pembalut. Dalam hal ini, Turning Red mampu mengemas kecanggungan topik itu dengan tampilan visual dan humor yang apik. Turning Red, melalui scene ini, bisa dijadikan rekomendasi sebagai awal obrolan keluarga yang memiliki anak remaja.
Selain itu, masa ini juga ditunjukkan dengan perubahan fisik dan emosional. Dalam film ini, ketika Mei sedang kewalahan atau terlalu excited maka “poof!”, seketika ia akan berubah menjadi panda merah besar. Mei juga sering merasa sedih dan malu, karena badannya tumbuh banyak bulu, bau – hal yang banyak ditemui saat remaja -- dan dia juga tidak punya otoritas atas tubuhnya sendiri. Namun seiring berjalannya waktu, Mei menemukan cara untuk mengatasi perubahan emosionalnya itu, agar fisiknya bisa kembali menjadi anak perempuan. Dan juga, ia memiliki Miriam (Ava Morse), Priya (Maitreyi Ramakrishnan), dan Abby (Hyein Park) -- sahabat-sahabatnya yang selalu mendukung dan menerima Mei apa adanya.
(Sumber gambar: twitter @PixarTurningRed)
Rasanya, anak remaja pada umumnya juga begitu kan? Mencoba menerima dan melewati hal-hal sulit, dengan berbagi cerita pada orang lain agar tidak sedih. Saat melihat scene ini, saya benar-benar nostalgia karena teringat masa sekolah dulu -- sering curhat tentang apapun lewat tulisan di buku diari. Layaknya anak 2000-an pada umumnya, Mei juga mengekspresikan banyak hal dalam buku, dari tugas sekolah sampai menggambar laki-laki yang disukainya, Devon (Addison Chandler), seorang pramuniaga yang biasa ia lihat di toko saat pulang sekolah.
Apalah arti remaja tanpa kehidupan bersama teman-teman? Mei dan sahabatnya selain punya gelang kembar, mereka juga bersenang-senang cari uang agar mimpi melihat konser musik 4*town bisa terwujud! Namun saat tiba di rumah, ia langsung frustrasi karena Ibunya. Rasanya mirip dengan masa remajaku yang banyak senang-senang tapi sesaat juga bisa frustasi.
Trauma antargenerasi
Sebagai anak dari keluarga diaspora Asia, ada banyak harapan agar mereka bisa berhasil dalam kesehariannya. Mei selalu sempurna pada seluruh mata pelajaran dan aktivitas non-akademik yang diikutinya. Namun seiring Mei tumbuh, ada masa dimana ia lelah dan sadar kalau gak cocok sama sifat protektif dari sang Ibu. Sifat itu banyak ditunjukkan Ibunya pada beberapa scene sebelum dan sesudah Mei jadi panda merah.
Kalau ditelisik, hal ini muncul karena trauma-trauma keluarga yang ada di beberapa scene film ini. Tiap anak perempuan dalam keluarga Mei punya turunan roh panda merah dari kuil leluhur keluarga. Karena hal itu, keluarga leluhur Mei selama turun-temurun memaksa anak agar bisa sepenuhnya menekan atau bahkan menghilangkan sisi diri mereka yang berantakan dan gak menyenangkan yang dimiliki sejak lahir – menjadi panda merah, karena takut terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan.
Ketika Mei masih belajar buat mengontrol panda merah dalam dirinya, dia gak pingin sepenuhnya menghilangkan sifat-sifat itu. Berbeda dengan leluhur sebelumnya, Mei lebih memilih untuk menerimanya, seperti yang ia katakan dalam film: “Kita semua memiliki bagian diri kita yang berantakan, keras, dan aneh yang tersembunyi, dan banyak dari kita tidak pernah membiarkannya keluar.”
(Sumber gambar: TheGamer)
Meski banyak orang masih mengira bahwa Turning Red adalah film anak-anak, namun orang dewasa gak perlu khawatir kesusahan buat mahamin jalan ceritanya.
Secara teknis, film ini unik karena pemimpin timnya mulai dari sutradara, penulis, desainer produksi sampai visual effects supervisor adalah para perempuan. Hingga Disney juga membuat film documenter “Embrace The Panda: Making Turning Red” khusus membahas tentang tim utama perempuan yang terlibat dalam pembuatan film ini. Selain menggagumi visual animasi dan karakter mata berkilau ala manga yang lucu banget, film ini juga bisa menyatukan keluarga dengan memulai percakapan yang sesuai dengan usia, bisa tentang isu-isu yang ada kaitannya sama memvalidasi perjuangan anak remaja.
Di akhir, saya merasa film ini melihatkan kita bagaimana perjalanan sosok orang tua yang tidak mudah, dan terkadang mereka juga tidak selalu punya jawaban atas hal yang terjadi.
Jadi, masih penasaran dengan Turning Red? Film ini meski tidak jadi tayang di bioskop, tapi kamu masih bisa menikmati filmnya di Disney+
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.