"KUAT" ?
21 March 2022 |
23:27 WIB
19
Likes
Like
Likes
"Hanya orang yang nggak bisa ngaceng, yang ngapain aja nggak takut mati", gambar di balik bak truk tiba-tiba bisa berbicara, adegan opening itu langsung membuat saya tertawa. Setelah menonton film, saya merasa bersalah karena saya selalu menertawakan burung Ajo Kawir yang tidak bisa berdiri tegak. Sebagai manusia, saya seharusnya bisa lebih baik dari sekedar tertawa ketika mendengar kondisi Ajo Kawir yang menyedihkan. Saya berpikir kembali, mengapa saya tertawa?. Apakah karena itu benar-benar lucu?, atau masyarakat kita saja yang punya hobi untuk merundung orang-orang yang dianggap lemah?. Padahal, Ajo Kawir bukan orang yang lemah, dia hanya lemah syahwat tapi tidak lemah dalam keberanian untuk menghabisi siapapun yang dia jadikan musuh.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memang pantas mendapatkan Golden Leopard dari Locarno Film Festival 2021. Film yang diangkat dari novel karya Eka dengan judul yang sama memberikan gambar-gambar yang lebih bagus dari ekspektasi yang saya harapkan ketika menonton trailernya. Saya sempat khawatir ketika film sejenis ini ditayangkan secara komersial di bioskop. Saya khawatir akan ada bagian-bagian yang dipaksa gamblang agar lebih mudah dipahami oleh penonton-penonton awam. Namun, Edwin tetap memberikan ruang interpretasi tanpa batas bagi penonton untuk memaknai film ini melalui pesan tersirat nan absurd khas gaya film alternatif. Dia memasukkan alur maju mundur dengan lompatan waktu yang dibuat kasar sehingga penonton dituntut untuk fokus dalam memahami makna dari setiap adegan yang ada. Sayang sekali bagi penonton yang kurang fokus karena pesan-pesan implisit dalam film ini cukup menampar diri saya karena masih sangat relate dengan issue yang berkembang saat ini meskipun film ini berlatar pada tahun 80-an.
Adegan favorit saya adalah masa-masa indah berpacaran Ajo Kawir dan Iteung. Perkelahian sengit menjadi momen mereka pertama kali bertemu sebenarnya cukup kasar dan mengerikan. Namun, bagi saya itu romantis dan menggemaskan karena memang tokoh pasangan ini memiliki karakter yang tidak biasa. Momen titip salam melalui radio, bergalau di depan kulkas yang terbuka, pasar malam, dan lagu dangdut membangkitkan nostalgia keterbatasan teknologi bagi dua insan yang sedang kasmaran. Penonton diajak kembali untuk mengenang masa-masa tanpa media sosial dimana tidak ada wadah untuk mengetahui kabar dan kondisi orang yang sedang jauh namun dekat di hati dan pikiran.
Kehidupan kota kecil kecamatan di pesisir Pantura dengan plat nomor AK membuat penonton belajar bahwa kehidupan disana sesungguhnya tidak lugu seperti yang dibayangkan orang-orang metropolitan. Menurut saya, film ini mengkritisi peristiwa kriminalitas kelas kampung yang selalu gempar setelah terjadi namun tidak ada upaya agar kejadian itu benar-benar tidak terulang. Para pembesar yang bertugas tidak pernah menganalisa dan menemukan akar masalah dari kejahatan yang terjadi karena biasanya korban adalah orang-orang kecil yang memang sudah penuh kemalangan sebelumnya. Padahal, kejahatan-kejahatan yang terjadi adalah siklus pembiaran kejahatan yang berulang namun tidak dianggap darurat untuk diberantas. Salah satu contohnya, yaitu pelecehan seksual.
Ajo Kawir dan Iteung adalah orang-orang yang melawan trauma dengan caranya sendiri. Mereka beruntung masih memiliki mental yang kuat untuk membalaskan dendam di tengah banyaknya orang senasib yang kebanyakan hancur dan semakin tidak berdaya. Ajo Kawir dan Iteung menunjukkan kepada penonton bahwa bekal mengalahkan musuh adalah keberanian menjadi diri sendiri. Tidak peduli sebesar apapun nama, pangkat, dan status yang dimiliki oleh musuh-musuhnya, keberanian Ajo Kawir dan Iteung sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan semua embel-embel sosial itu.
Hal yang paling saya suka dari film ini adalah alurnya yang cepat dan pengambilan adegan yang efisien. Tokoh-tokoh yang sangat banyak mampu diingat dan dipahami dengan mudah karena adegan yang tidak bertele-tele dan akting yang menyakinkan. Edwin sangat cerdas dalam memilih cara dalam menceritakan masa lalu yang tidak selalu digambarkan dengan flashback tetapi juga dengan dialog-dialog sehari-hari pada adegan-adegan yang kreatif. Saya sangat suka pada adegan bercinta Iteung dan Budi Baik di masa lalu dimana Budi Baik mengungkap masa lalu kelam Iteung untuk merangsang gairah Iteung. Lagi-lagi, penonton dibuat guilty karena sudah salah menilai Iteung karena sebenarnya Iteung adalah hasil dari pengalaman pahit yang kerap dibiarkan. Iteung hanya memilih untuk tetap menjadi jagoan karena dirinya sendiri memang kuat, tidak seperti musuh-musuhnya yang hanya berani pada orang yang lebih lemah.
Kehadiran sosok Jelita yang misterius membuat film ini semakin membingungkan. Sosoknya membuat saya bertanya-tanya, siapakah dia?, apakah dia hantu dari Rona Merah?. Namun, saya memilih untuk menikmati kebingungan daripada terburu-buru untuk menemukan jawaban karena film ini sangat enak untuk dinikmati, sehingga saya tidak mau film ini berakhir dengan cepat. Saking nikmatnya, saya sampai tidak sadar bahwa Jelita diperankan oleh Ratu Felisha hingga credit title muncul di akhir film. Ternyata Jelita adalah teman seperjuangan Iteung dan Ajo Kawir dalam menuntaskan dendam. Lagi-lagi, penonton dibuat merasa bersalah karena pernah menilai tabu hal-hal yang seharusnya dibicarakan namun enggan diceritakan karena "batasan moral" padahal sesungguhnya moral itu hanya dibatasi dalam pembicaraan namun tidak dalam perbuatan. Apa yang dilakukan Iteung, Ajo Kawir, dan Jelita masih dalam tahap dendam pribadi atas luka yang mendalam. Moral mereka masih lebih baik dibandingkan orang-orang yang hanya kuat untuk menghancurkan orang-orang lemah dengan bersembunyi di balik kekuatan jabatan dan kekuasaan.
Tidak hanya Ratu Felisha, semua pemeran berhasil membawakan cerita dengan efisien dan elegan hingga membuat penonton selalu terpana dengan peran yang disuguhkan. Meskipun, saya merasa ada sisi kekinian Marthino Lio yang sempat terlihat pada scene pernikahan dan jembatan. Tetapi secara keseluruhan, dari tokoh-tokoh pendukung seperti Rona Merah (Djenar Maesa Ayu), Codet (Lukman Sardi), Kumis (Eduwart Manalu), Tokek (Sal Priadi), Wa Sami (Ayu Laksmi), Mono Ompong (Kevin Ardilova), Kumbang (Kiki Narendra), Iwan Angsa (Yudi Ahmad Tajudin), Mak Jerot (Christine Hakim) dan sampai kedua tokoh utama, Iteung dan Ajo Kawir memberikan kualitas akting yang lebih dari baik. Saya memberikan pujian besar kepada Lady Cheryl, Marthino Lio, Ratu Felisha, Reza Rahadian, dan Kevin Ardilova karena berhasil memerankan tokoh yang sangat berbeda dengan peran-peran yang pernah saya lihat dari penampilan mereka dalam film-film sebelumnya.
Film ini membuat para penonton ibarat sopir truk yang selama ini berkelana jauh dari istri yaitu bioskop, menikmati kembali 'orgasme' dari peraduan yang sudah lama ditinggalkan. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas tidak hanya melunasi utang Iteung dan Ajo Kawir namun juga penonton setia film Indonesia yang selalu menantikan puncak kejayaan film Indonesia dengan film-film berkualitas yang disuguhkan. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih dan selamat kepada Edwin dan Palari Films yang sekali lagi telah berhasil menciptakan karya film yang luar biasa dan sungguh mengagumkan.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memang pantas mendapatkan Golden Leopard dari Locarno Film Festival 2021. Film yang diangkat dari novel karya Eka dengan judul yang sama memberikan gambar-gambar yang lebih bagus dari ekspektasi yang saya harapkan ketika menonton trailernya. Saya sempat khawatir ketika film sejenis ini ditayangkan secara komersial di bioskop. Saya khawatir akan ada bagian-bagian yang dipaksa gamblang agar lebih mudah dipahami oleh penonton-penonton awam. Namun, Edwin tetap memberikan ruang interpretasi tanpa batas bagi penonton untuk memaknai film ini melalui pesan tersirat nan absurd khas gaya film alternatif. Dia memasukkan alur maju mundur dengan lompatan waktu yang dibuat kasar sehingga penonton dituntut untuk fokus dalam memahami makna dari setiap adegan yang ada. Sayang sekali bagi penonton yang kurang fokus karena pesan-pesan implisit dalam film ini cukup menampar diri saya karena masih sangat relate dengan issue yang berkembang saat ini meskipun film ini berlatar pada tahun 80-an.
Adegan favorit saya adalah masa-masa indah berpacaran Ajo Kawir dan Iteung. Perkelahian sengit menjadi momen mereka pertama kali bertemu sebenarnya cukup kasar dan mengerikan. Namun, bagi saya itu romantis dan menggemaskan karena memang tokoh pasangan ini memiliki karakter yang tidak biasa. Momen titip salam melalui radio, bergalau di depan kulkas yang terbuka, pasar malam, dan lagu dangdut membangkitkan nostalgia keterbatasan teknologi bagi dua insan yang sedang kasmaran. Penonton diajak kembali untuk mengenang masa-masa tanpa media sosial dimana tidak ada wadah untuk mengetahui kabar dan kondisi orang yang sedang jauh namun dekat di hati dan pikiran.
Kehidupan kota kecil kecamatan di pesisir Pantura dengan plat nomor AK membuat penonton belajar bahwa kehidupan disana sesungguhnya tidak lugu seperti yang dibayangkan orang-orang metropolitan. Menurut saya, film ini mengkritisi peristiwa kriminalitas kelas kampung yang selalu gempar setelah terjadi namun tidak ada upaya agar kejadian itu benar-benar tidak terulang. Para pembesar yang bertugas tidak pernah menganalisa dan menemukan akar masalah dari kejahatan yang terjadi karena biasanya korban adalah orang-orang kecil yang memang sudah penuh kemalangan sebelumnya. Padahal, kejahatan-kejahatan yang terjadi adalah siklus pembiaran kejahatan yang berulang namun tidak dianggap darurat untuk diberantas. Salah satu contohnya, yaitu pelecehan seksual.
Ajo Kawir dan Iteung adalah orang-orang yang melawan trauma dengan caranya sendiri. Mereka beruntung masih memiliki mental yang kuat untuk membalaskan dendam di tengah banyaknya orang senasib yang kebanyakan hancur dan semakin tidak berdaya. Ajo Kawir dan Iteung menunjukkan kepada penonton bahwa bekal mengalahkan musuh adalah keberanian menjadi diri sendiri. Tidak peduli sebesar apapun nama, pangkat, dan status yang dimiliki oleh musuh-musuhnya, keberanian Ajo Kawir dan Iteung sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan semua embel-embel sosial itu.
Hal yang paling saya suka dari film ini adalah alurnya yang cepat dan pengambilan adegan yang efisien. Tokoh-tokoh yang sangat banyak mampu diingat dan dipahami dengan mudah karena adegan yang tidak bertele-tele dan akting yang menyakinkan. Edwin sangat cerdas dalam memilih cara dalam menceritakan masa lalu yang tidak selalu digambarkan dengan flashback tetapi juga dengan dialog-dialog sehari-hari pada adegan-adegan yang kreatif. Saya sangat suka pada adegan bercinta Iteung dan Budi Baik di masa lalu dimana Budi Baik mengungkap masa lalu kelam Iteung untuk merangsang gairah Iteung. Lagi-lagi, penonton dibuat guilty karena sudah salah menilai Iteung karena sebenarnya Iteung adalah hasil dari pengalaman pahit yang kerap dibiarkan. Iteung hanya memilih untuk tetap menjadi jagoan karena dirinya sendiri memang kuat, tidak seperti musuh-musuhnya yang hanya berani pada orang yang lebih lemah.
Kehadiran sosok Jelita yang misterius membuat film ini semakin membingungkan. Sosoknya membuat saya bertanya-tanya, siapakah dia?, apakah dia hantu dari Rona Merah?. Namun, saya memilih untuk menikmati kebingungan daripada terburu-buru untuk menemukan jawaban karena film ini sangat enak untuk dinikmati, sehingga saya tidak mau film ini berakhir dengan cepat. Saking nikmatnya, saya sampai tidak sadar bahwa Jelita diperankan oleh Ratu Felisha hingga credit title muncul di akhir film. Ternyata Jelita adalah teman seperjuangan Iteung dan Ajo Kawir dalam menuntaskan dendam. Lagi-lagi, penonton dibuat merasa bersalah karena pernah menilai tabu hal-hal yang seharusnya dibicarakan namun enggan diceritakan karena "batasan moral" padahal sesungguhnya moral itu hanya dibatasi dalam pembicaraan namun tidak dalam perbuatan. Apa yang dilakukan Iteung, Ajo Kawir, dan Jelita masih dalam tahap dendam pribadi atas luka yang mendalam. Moral mereka masih lebih baik dibandingkan orang-orang yang hanya kuat untuk menghancurkan orang-orang lemah dengan bersembunyi di balik kekuatan jabatan dan kekuasaan.
Tidak hanya Ratu Felisha, semua pemeran berhasil membawakan cerita dengan efisien dan elegan hingga membuat penonton selalu terpana dengan peran yang disuguhkan. Meskipun, saya merasa ada sisi kekinian Marthino Lio yang sempat terlihat pada scene pernikahan dan jembatan. Tetapi secara keseluruhan, dari tokoh-tokoh pendukung seperti Rona Merah (Djenar Maesa Ayu), Codet (Lukman Sardi), Kumis (Eduwart Manalu), Tokek (Sal Priadi), Wa Sami (Ayu Laksmi), Mono Ompong (Kevin Ardilova), Kumbang (Kiki Narendra), Iwan Angsa (Yudi Ahmad Tajudin), Mak Jerot (Christine Hakim) dan sampai kedua tokoh utama, Iteung dan Ajo Kawir memberikan kualitas akting yang lebih dari baik. Saya memberikan pujian besar kepada Lady Cheryl, Marthino Lio, Ratu Felisha, Reza Rahadian, dan Kevin Ardilova karena berhasil memerankan tokoh yang sangat berbeda dengan peran-peran yang pernah saya lihat dari penampilan mereka dalam film-film sebelumnya.
Film ini membuat para penonton ibarat sopir truk yang selama ini berkelana jauh dari istri yaitu bioskop, menikmati kembali 'orgasme' dari peraduan yang sudah lama ditinggalkan. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas tidak hanya melunasi utang Iteung dan Ajo Kawir namun juga penonton setia film Indonesia yang selalu menantikan puncak kejayaan film Indonesia dengan film-film berkualitas yang disuguhkan. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih dan selamat kepada Edwin dan Palari Films yang sekali lagi telah berhasil menciptakan karya film yang luar biasa dan sungguh mengagumkan.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.