Yuni: Berani Menolak Istilah "Pamali"
21 March 2022 |
23:26 WIB
29
Likes
Like
Likes
Yuni : Berani Menolak Istilah Pamali
Raih penghargaan bergengsi di ajang Toronto International Film Festival (TIFF) 2021 karya Kamila Andini ini, berhasil membuat saya atau bahkan banyak penikmat film lainnya begitu penasaran tentang apa yang mereka coba ceritakan tentang Yuni.
Arawinda Kirana yang mulanya yakin hanya ingin berkarya saja dalam seni akting, malah benar-benar mengejutkan siapa saja yang sudah menyaksikan kebolehannya dalam beradu akting. Hal pertama yang begitu membuat semuanya terasa nyata dari film ini adalah pelafalan Bahasa Jawa Serang, yang Yuni dan kawan-kawannya sampaikan. Hal ini juga jadi moment kebanggaan buat warga Serang, untuk menampilkan Bahasa daerah mereka di kancah dunia.
Penonton akan dibuat terkekeh sejak awal bagian kisah Yuni di sekolah. Tentang kegiatan tes keperawanan yang tadinya di sekolah akan diselenggarakan, atas dasar pencegahan hal-hal yang katanya “tidak diinginkan”. Greget saya dengarnya. Yuni dan teman-teman polosnya bahkan tidak tahu menahu soal sakit atau tidak nya berhubungan seks. Alih-alih memberikan pemahaman pada siswa-siswinya tentang seks, ibu bapak guru dan pihak sekolah lainnya malah bertindak cepat untuk menghindarkan siswa-siswi mereka dari seks. Issue yang akrab rasanya didengar dikuping kita, bahwa Indonesia masih terbilang awam dan diberangkati dengan embel-embel “pamali” kalau kita mau bicara soal seks.
Sebenarnya ada beberapa issue menarik yang menjadi “daging segar” untuk dinikmati pada film Yuni. Boleh lah Yuni memang berlatar belakang di sebuah daerah kecil di Serang. Tapi issue yang terjadi rasanya membuat penonton juga cukup akrab dan sama merasakan geregetnya. Selain pengetahuan seks yang begitu minim di Indonesia, Yuni juga mengangkat tentang perempuan yang masih dianggap begitu mudah rasanya diakhiri masa depannya dengan menikah. Di usia belianya, Yuni digambarkan sebagai seorang gadis yang berani menolak dua lamaran dari pria-pria yang bahkan tak pernah terbayangkan untuk menjadi suaminya.
Memang berakhir masa depannya kalau menikah? Tidak juga sih. Dalam film ini, contoh kegagalan menikah muda dibungkus begitu manis dengan sosok Suci. Suci yang menikah di bangku SMP dan harus mengalami keguguran hingga KDRT. Sosok Suci dibawakan Asmara Abigail dengan begitu ceria, nyeleneh dan sosok yang mencolek Yuni untuk sedikit tahu soal bertingkah “nakal”. Ini menjadi satu patokan besar buat Yuni yakin bahwa masa depannya jauh lebih terang daripada menikahi bapak-bapak yang memodalinya dengan uang dua puluh lima juta, dengan embel-embel buat Yuni ganti motor.
Yuni yang juga pandai di sekolahnya, bersikeras mengejar beasiswa dan yakin ia mampu melawan kata orang soal betapa pamali nya menolak lamaran hingga dua kali. Usaha Yuni digambarkan dengan gigihnya ia mendapat tambahan nilai dari guru idolanya—Damar. Dengan tutur kata halus, kepintarannya serta tampang lugu yang membuat teduh. Buat Yuni, Pak Damar adalah lelaki idamannya. Dari puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono, Yuni berangkat mencari nilai tambahan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yang dibawakan Damar. Hingga Yuni bertemu sosok yang mengaguminya sejak lama—Yoga. Dibawakan oleh Kevin Ardilova, ia berhasil membawa peran lugu Yoga yang mati-matian mengagumi Yuni yang kemudian juga melakukan berbagai cara untuk mendapat perhatian kakak kelasnya ini dengan cara membantu Yuni mengerjakan tugas dari puisi-puisi karya Sapardi.
Sosok kikuk yang berbeda drastis dari Damar pujaan hati Yuni, lucunya Yoga mampu ambil andil dalam Sebagian kisah Yuni. Kisah kenakalan remaja yang menjadi penyedap dalam film ini dibawakan begitu apa adanya oleh Yuni dan Yoga. Yoga juga yang menjadi saksi keluh kesah Yuni yang hangat jadi gunjingan karena aksi penolakannya pada dua lamaran yang amit-amit buat ia terima. Disini penonton akan dibuat menjadi semakin positif agar Yuni tetap mampu menjalani kehidupannya sebagai anak SMA biasa yang punya mimpi untuk melanjutkan studinya. Yoga rasanya dianggap mampu menjadikan kisah cinta Yuni menjadi normal-normal saja.
Tapi ada bencana besar yang rasanya buat saya sebagai penonton, seperti sambaran petir di siang bolong. Pintar. Hal yang bahkan sejak awal menonton—entah saya yang memang asik saja menikmati alurnya, atau memang semengejutkan itu konflik yang terbesar kemudian tak terduga malah terjadi karena Damar sang guru idola. Mengangkat sosok penyuka sesama jenis, Damar yang diperankan oleh Dimas Aditya ini dipergoki Yuni tengah mencoba berbusana bak perempuan. Sialnya Yuni yang harus menanggung semua perbuatan Damar karena terlalu bingung akan identitasnya sendiri.
Masih diikat dengan issue perjodohan karena Damar malah melamar Yuni atas dasar “mengunci” mulutnya. Lagi-lagi kita disuguhkan dengan perempuan yang menjadi korban. Entah saya sebagai perempuan atau memang begitu kenyataannya, tapi kita memang berada di lingkungan yang seolah-olah perempuan selalu dibuat terbatas dalam memiliki pilihan. Walau dalam Yuni garis besarnya seperti perempuan sudah mencapai garis finalnya sejauh mereka sudah mampu bereproduksi. Dari sekian banyak yang bisa dilakukan Yuni dan teman-teman perempuannya yang berakhir di situasi ini, tapi yang terjadi seolah kita dibatasi oleh ketidakmampuan kita untuk berani memilih.
Adegan kaburnya Yuni dari pernikahannya dengan Damar, dibuat gantung namun diyakini kalau Yuni tidak mengakhiri ceritanya dengan menikahi gurunya sendiri. Ada banyak pesan yang harusnya tersampaikan soal perempuan-perempuan berani seperti Yuni, Ibu Lies, atau bahkan Suci. Ada banyak pilihan yang seharusnya boleh dipilih perempuan termasuk soal apa yang mau mereka gariskan buat masa depan mereka sendiri. Walau latar film ini digambarkan bukan di kota besar, yang mungkin mayoritas penduduknya masih kekeh dengan culture yang ujungnya hanya bermuara pada pamali. Tapi semoga lewat film ini kita mampu sepenuhnya meninggalkan kesan bahwa perempuan terkesan dibatasi pada banyaknya pilihan dan kemampuan yang bisa mereka pilih, selain menjadi seorang istri.
Penutup manis dari musikalisasi puisi Hujan di Bulan Juni sempat membuat saya menitikkan air mata. Entah saya sebagai penikmat yang terlalu terbawa atau memang sampai begitu saja pesan dari Yuni ke hati saya. Mungkin tujuan akhir film ini dibuat mengambang, adalah untuk dikembalikan lagi pada penonton. Bagaimana? Apa Yuni, teman-teman sebayanya, Suci dan tokoh lainnya sebagai perempuan berhak untuk menentukan pilihannya? Apakah perempuan boleh berani terlepas dari belenggu pamali dalam budaya kita? Jadi.. sebagai perempuan pun saya berada di sisi Yuni, merasa kita adalah yang paling andil dalam menentukan masa depan juga apa yang kita inginkan buat masa depan kita sendiri.
Raih penghargaan bergengsi di ajang Toronto International Film Festival (TIFF) 2021 karya Kamila Andini ini, berhasil membuat saya atau bahkan banyak penikmat film lainnya begitu penasaran tentang apa yang mereka coba ceritakan tentang Yuni.
Arawinda Kirana yang mulanya yakin hanya ingin berkarya saja dalam seni akting, malah benar-benar mengejutkan siapa saja yang sudah menyaksikan kebolehannya dalam beradu akting. Hal pertama yang begitu membuat semuanya terasa nyata dari film ini adalah pelafalan Bahasa Jawa Serang, yang Yuni dan kawan-kawannya sampaikan. Hal ini juga jadi moment kebanggaan buat warga Serang, untuk menampilkan Bahasa daerah mereka di kancah dunia.
Penonton akan dibuat terkekeh sejak awal bagian kisah Yuni di sekolah. Tentang kegiatan tes keperawanan yang tadinya di sekolah akan diselenggarakan, atas dasar pencegahan hal-hal yang katanya “tidak diinginkan”. Greget saya dengarnya. Yuni dan teman-teman polosnya bahkan tidak tahu menahu soal sakit atau tidak nya berhubungan seks. Alih-alih memberikan pemahaman pada siswa-siswinya tentang seks, ibu bapak guru dan pihak sekolah lainnya malah bertindak cepat untuk menghindarkan siswa-siswi mereka dari seks. Issue yang akrab rasanya didengar dikuping kita, bahwa Indonesia masih terbilang awam dan diberangkati dengan embel-embel “pamali” kalau kita mau bicara soal seks.
Sebenarnya ada beberapa issue menarik yang menjadi “daging segar” untuk dinikmati pada film Yuni. Boleh lah Yuni memang berlatar belakang di sebuah daerah kecil di Serang. Tapi issue yang terjadi rasanya membuat penonton juga cukup akrab dan sama merasakan geregetnya. Selain pengetahuan seks yang begitu minim di Indonesia, Yuni juga mengangkat tentang perempuan yang masih dianggap begitu mudah rasanya diakhiri masa depannya dengan menikah. Di usia belianya, Yuni digambarkan sebagai seorang gadis yang berani menolak dua lamaran dari pria-pria yang bahkan tak pernah terbayangkan untuk menjadi suaminya.
Memang berakhir masa depannya kalau menikah? Tidak juga sih. Dalam film ini, contoh kegagalan menikah muda dibungkus begitu manis dengan sosok Suci. Suci yang menikah di bangku SMP dan harus mengalami keguguran hingga KDRT. Sosok Suci dibawakan Asmara Abigail dengan begitu ceria, nyeleneh dan sosok yang mencolek Yuni untuk sedikit tahu soal bertingkah “nakal”. Ini menjadi satu patokan besar buat Yuni yakin bahwa masa depannya jauh lebih terang daripada menikahi bapak-bapak yang memodalinya dengan uang dua puluh lima juta, dengan embel-embel buat Yuni ganti motor.
Yuni yang juga pandai di sekolahnya, bersikeras mengejar beasiswa dan yakin ia mampu melawan kata orang soal betapa pamali nya menolak lamaran hingga dua kali. Usaha Yuni digambarkan dengan gigihnya ia mendapat tambahan nilai dari guru idolanya—Damar. Dengan tutur kata halus, kepintarannya serta tampang lugu yang membuat teduh. Buat Yuni, Pak Damar adalah lelaki idamannya. Dari puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono, Yuni berangkat mencari nilai tambahan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yang dibawakan Damar. Hingga Yuni bertemu sosok yang mengaguminya sejak lama—Yoga. Dibawakan oleh Kevin Ardilova, ia berhasil membawa peran lugu Yoga yang mati-matian mengagumi Yuni yang kemudian juga melakukan berbagai cara untuk mendapat perhatian kakak kelasnya ini dengan cara membantu Yuni mengerjakan tugas dari puisi-puisi karya Sapardi.
Sosok kikuk yang berbeda drastis dari Damar pujaan hati Yuni, lucunya Yoga mampu ambil andil dalam Sebagian kisah Yuni. Kisah kenakalan remaja yang menjadi penyedap dalam film ini dibawakan begitu apa adanya oleh Yuni dan Yoga. Yoga juga yang menjadi saksi keluh kesah Yuni yang hangat jadi gunjingan karena aksi penolakannya pada dua lamaran yang amit-amit buat ia terima. Disini penonton akan dibuat menjadi semakin positif agar Yuni tetap mampu menjalani kehidupannya sebagai anak SMA biasa yang punya mimpi untuk melanjutkan studinya. Yoga rasanya dianggap mampu menjadikan kisah cinta Yuni menjadi normal-normal saja.
Tapi ada bencana besar yang rasanya buat saya sebagai penonton, seperti sambaran petir di siang bolong. Pintar. Hal yang bahkan sejak awal menonton—entah saya yang memang asik saja menikmati alurnya, atau memang semengejutkan itu konflik yang terbesar kemudian tak terduga malah terjadi karena Damar sang guru idola. Mengangkat sosok penyuka sesama jenis, Damar yang diperankan oleh Dimas Aditya ini dipergoki Yuni tengah mencoba berbusana bak perempuan. Sialnya Yuni yang harus menanggung semua perbuatan Damar karena terlalu bingung akan identitasnya sendiri.
Masih diikat dengan issue perjodohan karena Damar malah melamar Yuni atas dasar “mengunci” mulutnya. Lagi-lagi kita disuguhkan dengan perempuan yang menjadi korban. Entah saya sebagai perempuan atau memang begitu kenyataannya, tapi kita memang berada di lingkungan yang seolah-olah perempuan selalu dibuat terbatas dalam memiliki pilihan. Walau dalam Yuni garis besarnya seperti perempuan sudah mencapai garis finalnya sejauh mereka sudah mampu bereproduksi. Dari sekian banyak yang bisa dilakukan Yuni dan teman-teman perempuannya yang berakhir di situasi ini, tapi yang terjadi seolah kita dibatasi oleh ketidakmampuan kita untuk berani memilih.
Adegan kaburnya Yuni dari pernikahannya dengan Damar, dibuat gantung namun diyakini kalau Yuni tidak mengakhiri ceritanya dengan menikahi gurunya sendiri. Ada banyak pesan yang harusnya tersampaikan soal perempuan-perempuan berani seperti Yuni, Ibu Lies, atau bahkan Suci. Ada banyak pilihan yang seharusnya boleh dipilih perempuan termasuk soal apa yang mau mereka gariskan buat masa depan mereka sendiri. Walau latar film ini digambarkan bukan di kota besar, yang mungkin mayoritas penduduknya masih kekeh dengan culture yang ujungnya hanya bermuara pada pamali. Tapi semoga lewat film ini kita mampu sepenuhnya meninggalkan kesan bahwa perempuan terkesan dibatasi pada banyaknya pilihan dan kemampuan yang bisa mereka pilih, selain menjadi seorang istri.
Penutup manis dari musikalisasi puisi Hujan di Bulan Juni sempat membuat saya menitikkan air mata. Entah saya sebagai penikmat yang terlalu terbawa atau memang sampai begitu saja pesan dari Yuni ke hati saya. Mungkin tujuan akhir film ini dibuat mengambang, adalah untuk dikembalikan lagi pada penonton. Bagaimana? Apa Yuni, teman-teman sebayanya, Suci dan tokoh lainnya sebagai perempuan berhak untuk menentukan pilihannya? Apakah perempuan boleh berani terlepas dari belenggu pamali dalam budaya kita? Jadi.. sebagai perempuan pun saya berada di sisi Yuni, merasa kita adalah yang paling andil dalam menentukan masa depan juga apa yang kita inginkan buat masa depan kita sendiri.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.