Review 'Alice in Borderland': Live-Action Adaptasi Manga Terbaik Keluaran Netflix
20 March 2022 |
19:47 WIB
130
Likes
Like
Likes
Tak terhitung banyaknya korban live-action adaptasi dari manga yang berakhir mengecewakan, entah itu produksi Hollywood (Dragonball Evolution, Netflix's Death Note, Ghost in the Shell) maupun negara penciptanya sendiri (Attack on Titan, Lupin the 3rd, Fullmetal Alchemist). Apalagi nama Netflix yang acapkali menambah rentetan judul adaptasi yang semakin terjun bebas. Memang sih menyenangkan fans garis keras bukanlah perkejaan mudah, namun hadirnya Alice in Borderland bisa jadi pengecualian.
Saya berani mengatakan 'terbaik' semata-mata bukan karna akurat atau tidaknya pada materi asli, melainkan bagaimana serial ini dapat dinikmati bagi mereka yang awam dengan manga-nya tanpa terbeban kata 'adaptasi'. Tak lain karna 'kedekatan' yang menjadi tulang punggung cerita ini. Kedekatan dalam arti, melibatkan penonton untuk turut serta berpikir dan memecahkan segala teka-teki yang ada, seakan memposisikan diri kita terjun langsung dalam cerita tersebut. Hal itulah mengapa serial ini terasa berdiri sendiri tanpa bergantung diluar bahan utama.
Meskipun elemen pada serial ini terbilang tidak baru seolah menggabungkan beberapa film seperti: The Hunger Games, Battle Royale, Saw dan The Purge. Dimana premis tersebut mengharuskan para penyintas untuk mengikuti permainan mematikan agar selamat dan dapat bertahan hidup. Meski demikian, serial ini tetap memiliki cita rasa yang berbeda dari sejenisnya, yakni disebabkan; penokohan relatable, naskah padat anti filler, visual bak Hollywood, dan intensitas penceritaan yang ngebuat kita terus menebak-nebak.
Jadi, poin-poin apa aja sih yang ngebikin serial ini membagongkan? Yuk kita kupas satu per satu! (Perhatian: ulasan mengandung spoiler)
Penokohan Kesemua Karakter Begitu Kuat dan Detail
Percayalah, kita dibikin kesengsem oleh para pemeran yang sebegitu banyaknya disini. Semua karakter useful sekalipun yang jarang on-screen. Bahkan bisa dibilang nggak ada 'beban' karna kesemuanya saling berhubung pada plot utama. Pengenalan masing-masing karakter menjadi salah satu aspek terbaik yang ada di serial ini.
Karakterisasi Arisu menjadi yang terbaik disini. Dia merupakan contoh bagaimana cara ngebikin karakter dengan penokohan nan kuat. Mungkin dari kalian pasti sedikit bingung kok bisa sih dia secerdas itu? Padahal hari-harinya cuma dihabiskan untuk ngegim doang di dalam kamar. Memang sih, ada sisi positifnya bermain video game seperti melatih keterampilan analitis strategi ataupun mengambil keputusan cepat di situasi tertekan.
Namun dibeberapa kesempatan ia juga paham ilmu otomotif dan hitungan matematik pada saat berhadapan dengan permainan Borderland. Lho kok bisa? Ternyata hal itu udah di-notice jauh-jauh di menit awal episode pertama loh. Dimana saat Arisu bermain video game, kamera menyorot sekitarnya ada textbook geometri maupun majalah mobil dalam beberapa detik saja. Inilah alasan mengapa dia begitu mudah menyelesaikan permainan Borderland pertamanya. Luar biasa, hal kecil saja diperhitungkan detailnya guna menguatkan penokohan.
Mungkin yang cukup disayangkan adalah penampilan Usagi yang termasuk karakter utama, namun tidak bisa mengimbangi peran Arisu. Tidak ada emosional yang terpancar dari wajah Usagi selain hanya lihai di akrobatiknya saja. Padahal di awal kemunculannya mengisyaratkan heroine yang powerful, nyatanya semakin diujung semakin timpang ketika beradu akting dengan Arisu. Entah karna background yang tak sekompleks Arisu atau mungkin jam terbang berbicara mengingat nama Kento Yamazaki lebih dulu dikenal di circle per-dorama-an.
Hal itu juga lah yang menyebabkan kekosongan aspek romansa. Meski lekatnya kemistri mereka berdua melalui perjalanan panjang, tapi tak serta merta menjadi keterikatan love-line selain hanya sebatas teman yang peduli satu sama lain. Saya tidak tahu apakah di materi aslinya mereka berpasangan atau memang karna performa Usagi yang gagal memberi suntikan romantik kepada Arisu? Atau jangan-jangan kemistri mereka lebih dipersiapkan untuk season selanjutnya? Saya lebih berharap begitu.
Karakter ini mendapat tempat tersendiri di hati penonton ketika tampil puncak di episode 3; episode yang saya applause penuh karna habis-habisan buat mata saya berkaca-kaca. Bagaimana mungkin karakter yang baru saja diberi empati tapi malah dimatikan? Sebuah langkah yang berani, sebab hal ini diluar ekspektasi. Kita awalnya merasa "...Ahh mana mungkin ada karakter penting mati di awal". Mungkin bagi fans Game of Throne udah nggak asing lagi perasan kayak gini. Tapi buat pribadi masih ngeganjal, bahkan sejak episode 3 saya bakal ikhlas jika ada karakter favorit yang mati lagi. Setidaknya nggak separah fans The Walking Dead lah yang berhenti nonton ketika Gleen mati, dilansir Looper.
Nonton episode 3 bak naik roller coaster; membolak-balikkan perasaan dan emosi kita. Padahal pengenalannya hanya bermodalkan 3 episode dan flashback singkat lho. Nah, nyatanya sekuen flashback atau kilas balik inilah yang berperan besar dalam menunjang penokohan. Disajikan pada momen tepat sehingga nggak jenuh ditonton. Barangkali episode ini terbagi dua sisi; di satu sisi kesal akan kehilangan karakter. Sisi lainnya ada hal positif sebab di titik inilah Arisu mendapatkan klimaks dalam penokohannya, yang berhasil menggambarkan reaksi psikis akibat permainan. Nggak butuh waktu lama untuk menikmati perkembangan karakter yang begitu kokoh.
Kalimat 'Looks Aren't Everything' Cocok Menggambar Semua Karakter Disini
Sebab, penampilan disini semuanya menipu. Menyelipkan intrik, pengkhianatan, manipulasi, yang mana membuat manusia lebih menakutkan dari situasi anomali dalam cerita ini. Menariknya, pengenalan detail tak cuma berlaku kepada para karakter utamanya saja, karakter pendukung juga turut mendapat jatah flashback. Seperti yang saya katakan sebelumnya, aspek flashback sangat berperan besar. Penonton diajak untuk mengetahui bahwa orang-orang yang dikirim dalam dunia Borderland memiliki masa lalu yang pahit, hingga nantinya kita akan peduli dengan apa yang terjadi pada mereka di sepanjang episode. Contohnya pada saat adegan flashback yang memperlihatkan persahabatan Arisu, Chota, dan Karube sehingga kita jauh lebih paham bagaimana dampak dunia distopia terhadap hubungan mereka yang cukup mengoyak hati.
Bahkan peran sekecil Last Bost (Shuntarou Yanagi) juga diberi flashback. Kroco satu ini mengingatkan karakter Boba Feet pada franchise Star Wars, yang mana dengan penampilan nyentrik dan screentime sedikit, tetapi melakukan dampak besar pada plot. Mungkin kalau serial ini yang buat Hollywood, jelas karakter ini bakal dijadikan merchandise yang habis-habisan di-milking. Tampaknya hanya Chisiya (Nijiro Murakami), satu-satunya karakter yang menonjol namun tak diberi latar belakang. Sehingga kita dibuat tertarik dan penasaran akan bagaimana kecerdikannya yang melampaui siapapun, seakan menjadi pembeda diantara kesemua tokoh.
Naskah Cerdas Tanpa Filler
Penokohan bagus, tak lepas dari naskah yang bagus pula. Penulisan naskah disini cukup cerdas, padat, dan subtansial. Naskah cerdas biasanya ditujukan pada dialog-dialog yang memiliki istilah ataupun referensi 'dalam', dimana mendapat kepuasan tersendiri ketika mengetahuinya. Naskah seperti ini kerap digunakan sineas Hollywood bahkan melekat jadi ciri khas mereka. Lain dari serial ini, narasi disini terbilang ringan bahkan nggak ada kalimat njelimet. Namun menjadi kontras karena isi narasinya yang subtansial, hanya menitikberatkan pada konflik utama. Disitulah yang membuat saya terkagum, bagaimana mungkin sebuah dialog yang hanya fokus pada masalah inti tapi sepaket dengan penokohan dan juga joke. Apalagi joke-nya menggunakan elemen rule of three, yang mana disela-sela serius, kita bisa dibuat tertawa tanpa sadar. Sungguh, naskah yang kelewat cerdas.
Tanpa maksud berlebihan, hal ini ngebuat saya jadi sering me-rewind hanya untuk mengulang percakapan mereka yang mana isinya poin-poin penting, sama sekali anti filler apalagi menye-menye. Jadi jangan coba-coba mengabaikan dialognya sedikitpun, jika mau terikat langsung dengan tokoh-tokohnya.
Visual Rasa Blockbuster Hollywood
Selain aspek penokohan dan penulisan, hal positif juga terletak pada efek visual yang sangat memukau. Pemandangan distrik Shibuya di kota Tokyo—dimana aslinya terkenal sebagai salah satu kota terpadat di dunia—bisa berhasil digambarkan sepi senyap tanpa penghuni bak kota mati. Momen yang melibatkan CGI juga dieksekusi dengan baik sehingga terlihat seperti nyata. Mulai dari efek ledakan, tembakan laser, gelombang air, hingga keberadaan binatang buas.
Meskipun dibeberapa momen terbilang kasar, tapi saya kagum dengan kecerdasan sutradara dalam menutupi kekurangan tersebut. Terutama CGI harimau kumbang di episode 4, mereka menyatukan tone latar dengan warna harimau yang sama, sehingga kasarnya tadi tertutupi dengan baik bahkan terlihat mengancam. Bisa dibilang, kualitas visual yang dihadirkan setara dengan film-film berbajet raksasa. Padahal hanya ukuran serial, tapi serasa menyaksikan blockbuster Hollywood.
Laga Mendebarkan Dengan Koreo Jempolan
Saya takjub pada aspek pertarungan yang kadarnya bisa dihitung jari tapi diperhitungkan koreografinya. Terutama pertarungan Karate vs Samurai di episode 7, yang melibatkan Hikari dan Last Boss. Menggunakan shot steadicam layaknya action Hongkong lawas yang ditenagai backsound 'jedag jedug' serta tambahan slow-mo menjadikan fight scene ini super duper keren. Hanya saja susupan flashback ditengah-tengah ngebikin intens yang tadinya tinggi malah drop. Saya tahu ini ciri khas Jepang, apalagi fans Naruto udah kenyang lihat semacam ini. Tetapi untuk kasus ini bener-bener disayangkan, sebab sekuen fight ini harusnya bisa memberi kesan memorable jika dijadikan satu adegan plek tanpa didistraksi.
Tapi tenang, sebelum kelamaan nunggu laga di episode 7, kalian lebih awal dimanjakan dengan episode 2 yang full action-packed. Meskipun bukan genre martial-arts, kita tetap disuguhi pertarungan jarak dekat yang hampir setara The Raid mengingat sama-sama berada di apart. Intens laga disini bener-bener terjaga dari awal sampai akhir, ngebuat penikmat hand-to-hand combat manapun bakal nge-hooked sama episode ini.
LGBT? Seks? SJW? Netflix Jagonya!
"Bukan Netflix namanya jika tanpa LGBT.." begitulah kira-kira para sinefil menyebutnya. Jujur saja, terkadang kita benci dengan keberadaan unsur tersebut. Bukan karna gayphobic atau semacamnya, tetapi karakter tersebut biasanya terkesan dipaksakan hadir tanpa ada latar belakang kuat. Alih-alih alibi diversity, tak ubahnya ujug-ujug you know lah, memuaskan hasrat SJW. Untungnya nggak berlaku disini, terkhusus karakter Hikari (Aya Asahina). Hanya muncul di sepertiga akhir saja kita langsung kepincut betapa kerennya karakter ini tanpa mempermasalahkan orientasi seksualnya. Inilah contoh bagaimana memasukkan unsur LGBT ke dalam industri ini dengan benar. Harusnya konten non-biner Netflix lainnya banyak-banyak sungkem dah sama serial ini.
Begitu juga dengan adegan seks sekalipun, disini semua adegan saling berkaitan. Biasanya dalam sinema barat adegan seks itu hanya sebagai bumbu penyedap tanpa berpengaruh pada plot line. Berbeda disini, adegan seks Chota (Yuki Morinaga) dengan Shibuki (Ayame Misaki) yakni memiliki tujuan yang berarti. Shibuki membutuhkan aliansi ketika tahu Karube membenci sikap individualistiknya dan juga takut yang lainnya terprovokasi. Disitu lah Shibuki memainkan otak liciknya yang segera memanipulasi Chota dengan seks agar kedepannya ia tak terpojok lagi.
Serial Kelewat Bagus yang Tak Dipandang
Pujian besar dilontarkan kepada sutradara Shinsuke Sato, dengan pengalaman matangnya dalam membuat karya manga menjadi 'hidup' seperti; I Am a Hero (2015), Death Note: Light Up the New World (2016), Bleach (2018), hingga Kingdom (2019). Beliau kini berhasil mengemas permainan survival usang menjadi menarik nan terasa baru. Penonton bisa merasakan kepanikan para karakter saat bermain sekaligus mengaduk-aduk sisi rasional akan kilas balik antar tokoh yang singkat dan tepat dijejelin. Dengan banyaknya permainan yang nggak itu-itu aja serta bervariatifnya kesulitan permainan yang disuguhkan, menimbulkan kesan tegang dan terkejut secara beriringan dalam diri kita, seakan pengen lanjut terus ke episode berikut dan menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Jangan harap ketegangan permainan disini layaknya film Saw yang brutal bikin rasa ngilu, tapi lebih baik dari itu, lebih menyesakkan karna memainkan sisi psikologis dalam diri.
Namun ironisnya, sehebat apapun serial ini dikata, malah berakhir underrated. Bayangin, di situs Rotten Tomatoes saja cuman hanya ada 6 kritikus loh yang nge-rate serial ini. Berbanding balik dengan film atau serial buatan Hollywood yang sekalipun jelek, para kritikus tetap kejar-kejaran untuk memberi rating. Sudah menjadi rahasia umum, industri sinema Asia selalu dipandang sebelah mata oleh audiens maupun kritikus barat. Terkecuali drakor yang emang punya fanbase seisi bumi. Jadi nggak guna heran kenapa serial ini kalah pamor dengan Sweet Home saat berbarengan perilisannya.
Verdict..
Secara keseluruhan, serial ini menyajikan kenikmatan di seluruh episode hingga detik terakhir. Alih-alih sebagai eskapisme mendebarkan, tak lepas pula sematan kritik sosial akan egoisme manusia yang mengingatkan kita terhadap realitas. Menjadikannya sebuah live-action adaptasi manga terbaik yang secara mengejutkan dihadirkan oleh Netflix.
SKOR TOTAL: 9/10
Saya berani mengatakan 'terbaik' semata-mata bukan karna akurat atau tidaknya pada materi asli, melainkan bagaimana serial ini dapat dinikmati bagi mereka yang awam dengan manga-nya tanpa terbeban kata 'adaptasi'. Tak lain karna 'kedekatan' yang menjadi tulang punggung cerita ini. Kedekatan dalam arti, melibatkan penonton untuk turut serta berpikir dan memecahkan segala teka-teki yang ada, seakan memposisikan diri kita terjun langsung dalam cerita tersebut. Hal itulah mengapa serial ini terasa berdiri sendiri tanpa bergantung diluar bahan utama.
Meskipun elemen pada serial ini terbilang tidak baru seolah menggabungkan beberapa film seperti: The Hunger Games, Battle Royale, Saw dan The Purge. Dimana premis tersebut mengharuskan para penyintas untuk mengikuti permainan mematikan agar selamat dan dapat bertahan hidup. Meski demikian, serial ini tetap memiliki cita rasa yang berbeda dari sejenisnya, yakni disebabkan; penokohan relatable, naskah padat anti filler, visual bak Hollywood, dan intensitas penceritaan yang ngebuat kita terus menebak-nebak.
Jadi, poin-poin apa aja sih yang ngebikin serial ini membagongkan? Yuk kita kupas satu per satu! (Perhatian: ulasan mengandung spoiler)
Penokohan Kesemua Karakter Begitu Kuat dan Detail
Percayalah, kita dibikin kesengsem oleh para pemeran yang sebegitu banyaknya disini. Semua karakter useful sekalipun yang jarang on-screen. Bahkan bisa dibilang nggak ada 'beban' karna kesemuanya saling berhubung pada plot utama. Pengenalan masing-masing karakter menjadi salah satu aspek terbaik yang ada di serial ini.
- Arisu (Kento Yamazaki)
(sumber gambar: Youtube.com)
Namun dibeberapa kesempatan ia juga paham ilmu otomotif dan hitungan matematik pada saat berhadapan dengan permainan Borderland. Lho kok bisa? Ternyata hal itu udah di-notice jauh-jauh di menit awal episode pertama loh. Dimana saat Arisu bermain video game, kamera menyorot sekitarnya ada textbook geometri maupun majalah mobil dalam beberapa detik saja. Inilah alasan mengapa dia begitu mudah menyelesaikan permainan Borderland pertamanya. Luar biasa, hal kecil saja diperhitungkan detailnya guna menguatkan penokohan.
- Usagi (Tao Tsuchiya)
(sumber gambar: Youtube.com)
Mungkin yang cukup disayangkan adalah penampilan Usagi yang termasuk karakter utama, namun tidak bisa mengimbangi peran Arisu. Tidak ada emosional yang terpancar dari wajah Usagi selain hanya lihai di akrobatiknya saja. Padahal di awal kemunculannya mengisyaratkan heroine yang powerful, nyatanya semakin diujung semakin timpang ketika beradu akting dengan Arisu. Entah karna background yang tak sekompleks Arisu atau mungkin jam terbang berbicara mengingat nama Kento Yamazaki lebih dulu dikenal di circle per-dorama-an.
Hal itu juga lah yang menyebabkan kekosongan aspek romansa. Meski lekatnya kemistri mereka berdua melalui perjalanan panjang, tapi tak serta merta menjadi keterikatan love-line selain hanya sebatas teman yang peduli satu sama lain. Saya tidak tahu apakah di materi aslinya mereka berpasangan atau memang karna performa Usagi yang gagal memberi suntikan romantik kepada Arisu? Atau jangan-jangan kemistri mereka lebih dipersiapkan untuk season selanjutnya? Saya lebih berharap begitu.
- Karube (Keita Machida)
"AARRRIIISSSUUUUU!!!" - Karube (sumber gambar: Youtube.com)
Karakter ini mendapat tempat tersendiri di hati penonton ketika tampil puncak di episode 3; episode yang saya applause penuh karna habis-habisan buat mata saya berkaca-kaca. Bagaimana mungkin karakter yang baru saja diberi empati tapi malah dimatikan? Sebuah langkah yang berani, sebab hal ini diluar ekspektasi. Kita awalnya merasa "...Ahh mana mungkin ada karakter penting mati di awal". Mungkin bagi fans Game of Throne udah nggak asing lagi perasan kayak gini. Tapi buat pribadi masih ngeganjal, bahkan sejak episode 3 saya bakal ikhlas jika ada karakter favorit yang mati lagi. Setidaknya nggak separah fans The Walking Dead lah yang berhenti nonton ketika Gleen mati, dilansir Looper.
Nonton episode 3 bak naik roller coaster; membolak-balikkan perasaan dan emosi kita. Padahal pengenalannya hanya bermodalkan 3 episode dan flashback singkat lho. Nah, nyatanya sekuen flashback atau kilas balik inilah yang berperan besar dalam menunjang penokohan. Disajikan pada momen tepat sehingga nggak jenuh ditonton. Barangkali episode ini terbagi dua sisi; di satu sisi kesal akan kehilangan karakter. Sisi lainnya ada hal positif sebab di titik inilah Arisu mendapatkan klimaks dalam penokohannya, yang berhasil menggambarkan reaksi psikis akibat permainan. Nggak butuh waktu lama untuk menikmati perkembangan karakter yang begitu kokoh.
Kalimat 'Looks Aren't Everything' Cocok Menggambar Semua Karakter Disini
Sebab, penampilan disini semuanya menipu. Menyelipkan intrik, pengkhianatan, manipulasi, yang mana membuat manusia lebih menakutkan dari situasi anomali dalam cerita ini. Menariknya, pengenalan detail tak cuma berlaku kepada para karakter utamanya saja, karakter pendukung juga turut mendapat jatah flashback. Seperti yang saya katakan sebelumnya, aspek flashback sangat berperan besar. Penonton diajak untuk mengetahui bahwa orang-orang yang dikirim dalam dunia Borderland memiliki masa lalu yang pahit, hingga nantinya kita akan peduli dengan apa yang terjadi pada mereka di sepanjang episode. Contohnya pada saat adegan flashback yang memperlihatkan persahabatan Arisu, Chota, dan Karube sehingga kita jauh lebih paham bagaimana dampak dunia distopia terhadap hubungan mereka yang cukup mengoyak hati.
Bahkan peran sekecil Last Bost (Shuntarou Yanagi) juga diberi flashback. Kroco satu ini mengingatkan karakter Boba Feet pada franchise Star Wars, yang mana dengan penampilan nyentrik dan screentime sedikit, tetapi melakukan dampak besar pada plot. Mungkin kalau serial ini yang buat Hollywood, jelas karakter ini bakal dijadikan merchandise yang habis-habisan di-milking. Tampaknya hanya Chisiya (Nijiro Murakami), satu-satunya karakter yang menonjol namun tak diberi latar belakang. Sehingga kita dibuat tertarik dan penasaran akan bagaimana kecerdikannya yang melampaui siapapun, seakan menjadi pembeda diantara kesemua tokoh.
Nijiro Murakami berperan sebagai Chisiya (sumber gambar: Youtube.com)
Naskah Cerdas Tanpa Filler
Penokohan bagus, tak lepas dari naskah yang bagus pula. Penulisan naskah disini cukup cerdas, padat, dan subtansial. Naskah cerdas biasanya ditujukan pada dialog-dialog yang memiliki istilah ataupun referensi 'dalam', dimana mendapat kepuasan tersendiri ketika mengetahuinya. Naskah seperti ini kerap digunakan sineas Hollywood bahkan melekat jadi ciri khas mereka. Lain dari serial ini, narasi disini terbilang ringan bahkan nggak ada kalimat njelimet. Namun menjadi kontras karena isi narasinya yang subtansial, hanya menitikberatkan pada konflik utama. Disitulah yang membuat saya terkagum, bagaimana mungkin sebuah dialog yang hanya fokus pada masalah inti tapi sepaket dengan penokohan dan juga joke. Apalagi joke-nya menggunakan elemen rule of three, yang mana disela-sela serius, kita bisa dibuat tertawa tanpa sadar. Sungguh, naskah yang kelewat cerdas.
Tanpa maksud berlebihan, hal ini ngebuat saya jadi sering me-rewind hanya untuk mengulang percakapan mereka yang mana isinya poin-poin penting, sama sekali anti filler apalagi menye-menye. Jadi jangan coba-coba mengabaikan dialognya sedikitpun, jika mau terikat langsung dengan tokoh-tokohnya.
Visual Rasa Blockbuster Hollywood
Selain aspek penokohan dan penulisan, hal positif juga terletak pada efek visual yang sangat memukau. Pemandangan distrik Shibuya di kota Tokyo—dimana aslinya terkenal sebagai salah satu kota terpadat di dunia—bisa berhasil digambarkan sepi senyap tanpa penghuni bak kota mati. Momen yang melibatkan CGI juga dieksekusi dengan baik sehingga terlihat seperti nyata. Mulai dari efek ledakan, tembakan laser, gelombang air, hingga keberadaan binatang buas.
Meskipun dibeberapa momen terbilang kasar, tapi saya kagum dengan kecerdasan sutradara dalam menutupi kekurangan tersebut. Terutama CGI harimau kumbang di episode 4, mereka menyatukan tone latar dengan warna harimau yang sama, sehingga kasarnya tadi tertutupi dengan baik bahkan terlihat mengancam. Bisa dibilang, kualitas visual yang dihadirkan setara dengan film-film berbajet raksasa. Padahal hanya ukuran serial, tapi serasa menyaksikan blockbuster Hollywood.
CGI yang secara teknikal masih kasar, namun bisa terlihat bagus karna perpaduan tone latar. (sumber gambar: Youtube.com)
Laga Mendebarkan Dengan Koreo Jempolan
Saya takjub pada aspek pertarungan yang kadarnya bisa dihitung jari tapi diperhitungkan koreografinya. Terutama pertarungan Karate vs Samurai di episode 7, yang melibatkan Hikari dan Last Boss. Menggunakan shot steadicam layaknya action Hongkong lawas yang ditenagai backsound 'jedag jedug' serta tambahan slow-mo menjadikan fight scene ini super duper keren. Hanya saja susupan flashback ditengah-tengah ngebikin intens yang tadinya tinggi malah drop. Saya tahu ini ciri khas Jepang, apalagi fans Naruto udah kenyang lihat semacam ini. Tetapi untuk kasus ini bener-bener disayangkan, sebab sekuen fight ini harusnya bisa memberi kesan memorable jika dijadikan satu adegan plek tanpa didistraksi.
Salah satu fight sequence yang apik (sumber gambar: Youtube.com)
Tapi tenang, sebelum kelamaan nunggu laga di episode 7, kalian lebih awal dimanjakan dengan episode 2 yang full action-packed. Meskipun bukan genre martial-arts, kita tetap disuguhi pertarungan jarak dekat yang hampir setara The Raid mengingat sama-sama berada di apart. Intens laga disini bener-bener terjaga dari awal sampai akhir, ngebuat penikmat hand-to-hand combat manapun bakal nge-hooked sama episode ini.
LGBT? Seks? SJW? Netflix Jagonya!
"Bukan Netflix namanya jika tanpa LGBT.." begitulah kira-kira para sinefil menyebutnya. Jujur saja, terkadang kita benci dengan keberadaan unsur tersebut. Bukan karna gayphobic atau semacamnya, tetapi karakter tersebut biasanya terkesan dipaksakan hadir tanpa ada latar belakang kuat. Alih-alih alibi diversity, tak ubahnya ujug-ujug you know lah, memuaskan hasrat SJW. Untungnya nggak berlaku disini, terkhusus karakter Hikari (Aya Asahina). Hanya muncul di sepertiga akhir saja kita langsung kepincut betapa kerennya karakter ini tanpa mempermasalahkan orientasi seksualnya. Inilah contoh bagaimana memasukkan unsur LGBT ke dalam industri ini dengan benar. Harusnya konten non-biner Netflix lainnya banyak-banyak sungkem dah sama serial ini.
Begitu juga dengan adegan seks sekalipun, disini semua adegan saling berkaitan. Biasanya dalam sinema barat adegan seks itu hanya sebagai bumbu penyedap tanpa berpengaruh pada plot line. Berbeda disini, adegan seks Chota (Yuki Morinaga) dengan Shibuki (Ayame Misaki) yakni memiliki tujuan yang berarti. Shibuki membutuhkan aliansi ketika tahu Karube membenci sikap individualistiknya dan juga takut yang lainnya terprovokasi. Disitu lah Shibuki memainkan otak liciknya yang segera memanipulasi Chota dengan seks agar kedepannya ia tak terpojok lagi.
Serial Kelewat Bagus yang Tak Dipandang
Pujian besar dilontarkan kepada sutradara Shinsuke Sato, dengan pengalaman matangnya dalam membuat karya manga menjadi 'hidup' seperti; I Am a Hero (2015), Death Note: Light Up the New World (2016), Bleach (2018), hingga Kingdom (2019). Beliau kini berhasil mengemas permainan survival usang menjadi menarik nan terasa baru. Penonton bisa merasakan kepanikan para karakter saat bermain sekaligus mengaduk-aduk sisi rasional akan kilas balik antar tokoh yang singkat dan tepat dijejelin. Dengan banyaknya permainan yang nggak itu-itu aja serta bervariatifnya kesulitan permainan yang disuguhkan, menimbulkan kesan tegang dan terkejut secara beriringan dalam diri kita, seakan pengen lanjut terus ke episode berikut dan menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Jangan harap ketegangan permainan disini layaknya film Saw yang brutal bikin rasa ngilu, tapi lebih baik dari itu, lebih menyesakkan karna memainkan sisi psikologis dalam diri.
It was at this moment he knew, he F**KED UP. (sumber gambar: Youtube.com)
Namun ironisnya, sehebat apapun serial ini dikata, malah berakhir underrated. Bayangin, di situs Rotten Tomatoes saja cuman hanya ada 6 kritikus loh yang nge-rate serial ini. Berbanding balik dengan film atau serial buatan Hollywood yang sekalipun jelek, para kritikus tetap kejar-kejaran untuk memberi rating. Sudah menjadi rahasia umum, industri sinema Asia selalu dipandang sebelah mata oleh audiens maupun kritikus barat. Terkecuali drakor yang emang punya fanbase seisi bumi. Jadi nggak guna heran kenapa serial ini kalah pamor dengan Sweet Home saat berbarengan perilisannya.
Verdict..
Secara keseluruhan, serial ini menyajikan kenikmatan di seluruh episode hingga detik terakhir. Alih-alih sebagai eskapisme mendebarkan, tak lepas pula sematan kritik sosial akan egoisme manusia yang mengingatkan kita terhadap realitas. Menjadikannya sebuah live-action adaptasi manga terbaik yang secara mengejutkan dihadirkan oleh Netflix.
SKOR TOTAL: 9/10
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.