The Science of Fictions: Perjalanan Panjang Siman Menuju Bulan

20 March 2022   |   06:40 WIB

Like
Bagaimana jadinya jika pendaratan manusia pertama di Bulan sebenarnya direkam dan direkayasa di Pantai Parangtritis? Segila itulah Yosep Anggi Noen memberi ide dasar pada film terbarunya, The Science of Fictions. Penantian panjang semenjak tahun lalu akhirnya terbayarkan juga. Bagaimana tidak tergiur, saya membaca banyak berita gembira dari film tersebut atas prestasinya di festival-festival film kancah internasional. Salah satu yang paling bergengsi, film ini mendapatkan Special Mention di Locarno International Film Festival 2019. Lantas di negaranya sendiri? The Science of Fictions mendapatkan pemeran utama pria terbaik di Festival Film Indonesia 2020 atas penampilan Gunawan Maryanto dan Silver Hanoman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2019.
           
The Science of Fictions adalah film panjang ketiga Anggi Noen. Sebelumnya ia merilis Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012), lalu namanya mulai dikenal ketika ia membuat film biopik tentang Wiji Thukul yang berjudul Istirahatlah Kata-Kata (2016). Saya mengikuti filmografi Anggi Noen semenjak ia konsisten membuat film pendek. Saya menangkap satu hal yang terus-menerus diselipkan oleh Anggi Noen di dalam filmnya, yakni kritik sosial dan politik. Sebut saja salah satu film pendeknya, A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One (2013), ia membahas soal penggusuran lahan sawah yang hendak dijadikan lapangan golf. Tak hanya di segi cerita, Anggi Noen juga memiliki ciri khas soal bagaimana ia mengemas filmnya—pelan, abstrak, multi-tafsir, juga indah.
           
Sedikit berbeda dengan film Anggi Noen lainnya, The Science of Fictions memiliki premis paling absurd dan dimulai dengan adegan yang mencekam. Dibuka dengan warna hitam putih, seorang warga desa bernama Siman terlihat sedang bersembunyi di semak-semak, menyaksikan hal yang mengejutkan—barangkali juga super-rahasia—di Pantai Parangtritis, sedang berlangsung syuting manipulasi pendaratan pertama manusia di Bulan. Karena itulah, Siman mendapatkan ganjarannya. Lidahnya dipotong, ia pun menjadi bisu dan gila sepanjang hidupnya—berjalan dan melakukan aktivitas apapun secara lambat, seperti menirukan seorang astronot.
           
Lantas, di mana poin politik yang diselipkan Anggi Noen di filmnya ini? The Science of Fictions tak pernah secara gamblang menunjukkan latar waktunya. Namun, salah seorang tokoh menyebut tahun 1966, di mana pada masa itu adalah masa transisi ke Orde Baru dan terjadi pembantaian massal di Indonesia. Tak heran, ada sosok yang sangat mirip dengan Soekarno terlihat beberapa kali muncul di film ini. Tak hanya itu, pembantaian PKI pun juga digambarkan dengan implisit.
           
Transisi pun terjadi, dari beberapa adegan awal yang dikemas hitam putih dengan latar suara yang terkesan dibuat sedemikian mengganggu, kini menjadi berwarna dengan grading yang cenderung kebiruan. Diawali dengan lagu Orang Miskin Dilarang Mabok yang ditulis oleh Kill the DJ, dan dibawakan oleh Sirin Farid Stevy (FSTVLST), mengiringi adegan Siman yang berjalan di pasar dengan sangat lambat. The Science of Fictions mendadak menimbulkan tawa. Seperti itulah Anggi Noen, ia selalu memberikan unsur dark-comedy di setiap filmnya sekalipun sedang membahas isu yang berat.
           
Mengandalkan simbol yang bertebaran di mana-mana, persoalan yang dibahas di film ini tak hanya sebatas satu masalah, melainkan dua atau lebih—bahkan bisa jauh lebih banyak lagi tergantung penafsiran setiap penonton. Menurut saya, ada tiga hal inti yang dibahas, yakni trauma sejarah, kritik sosial, dan kebohongan yang kian lama kian dianggap fakta. Trauma sejarah digambarkan lewat sosok Siman yang menjadi gila tanpa melakukan kesalahan apa-apa selain menjadi saksi suatu kebohongan besar. Ia berjalan lambat dan terlihat sangat terobsesi dengan astronot, ada satu momen ketika ia membayangkan menjadi astronot palsu yang dipercaya menjadi tokoh utama dalam syuting pendaratan di Bulan. Pernah juga ia menyewa jasa fogging hanya untuk melihat rumahnya seakan-akan lepas landas. Seperti menggambarkan keadilan yang tak kunjung datang, Siman melakukan segala aktivitasnya dengan lambat pula. Makan, minum, berjalan, semua dilakukan seperti tanpa gravitasi—terombang-ambing dan tak jelas ujungnya.
           
Tak sampai di situ nasib buruk Siman, setelah ia berhasil menabung untuk membuat pakaian astronotnya sendiri, ia justru dipaksa bergabung dengan acara jathilan—semacam grup tari tradisional­—sampai maskot acara nikahan. Di titik itulah Anggi Noen menyampaikan kritik sosialnya bahwa kesedihan bisa dieksploitasi sedemikian rupa demi kepentingan pribadi, tanpa peduli kejadian apa yang menimpanya dulu. Bahkan seringkali tokoh lain dalam film ini menganggap Siman hanya gila dan bisu, tanpa tahu lidahnya telah terpotong.
           
Ada momen di mana Siman berjalan dengan normal, bahkan berlari. Pertama, ketika uangnya dicuri oleh penjahit kostumnya. Kedua, selepas ia berhubungan intim dengan seorang perempuan bernama Nadiyah (diperankan oleh Asmara Abigail). Dari situ ada poin yang bisa dipetik, manusia akan lepas kendali atas tubuhnya ketika dihadapakan pada dua hal, uang dan seks. Sekalipun seorang Siman dengan traumanya yang sedemikian berat.
           
Hal ketiga yang menurut saya adalah persoalan paling utama dan berusaha disampaikan oleh Anggi Noen adalah kebohongan yang kian lama kian dianggap sebagai fakta. Dalam artian begini, sebenarnya Anggi Noen sudah cukup baik hati memberi judul filmnya dengan poin inti yang berusaha ia bahas, The Science of Fictions dengan kata fiksi dalam bentuk jamak (fiction-s). Di film ini pun yang menjadi sorotan adalah Siman, saksi bisu suatu kebohongan. Sampai akhir film, kebohongan itu pun menjadi suatu kebenaran yang sekalipun tak pernah dibahas lagi. Tak hanya soal pendaratan di bulan, ia juga menjadi saksi ketika temannya hilang ketika terakhir bersembunyi di rumah Siman karena sedang diburu oleh warga desa yang mengincar PKI. Poin ini seperti berkaca pada sebuah kalimat—yang sebenarnya klise—soal sejarah, bahwa sejarah dirancang oleh pemenang, tak mungkin oleh saksi yang dibisukan.
           
Dialog paling menarik muncul ketika toko Nadiyah baru selesai bercinta dengan Siman. Temannya menganggap Siman hanya pura-pura bisu, dengan alasan Siman bisa mendengar dengan baik tapi tak bisa berbicara. Nadiyah hanya menyangkalnya dengan ucapan iso krungu ning ra iso nyatakke, yang artinya “bisa mendengar tapi tidak bisa menyampaikan”. Hal ini menjadi sangat menarik karena secara sejarah nyata adanya. Berapa banyak Siman yang dibisukan, dihilangkan, bahkan dimusnahkan di masa lalu?
           
Di segi visual, The Science of Fictions memukau dengan warnanya yang dominan kebiruan dan gerak kamera yang seringkali hanya still tanpa perlu teknis yang muluk-muluk. Aspek itulah yang membuat film ini nampak melankolis dan penonton dibuat bersimpati terhadap nasib Siman. Tak lupa juga peran Gunawan Maryanto sebagai Siman yang sangat memukau tanpa perlu dialog. Seperti di film-film Anggi Noen sebelumnya—terutama Istirahatlah Kata-Kata—ia lihai dalam membangun karakter sedemikian rupa sehingga kita sebagai penonton akan merasa menjadi bagian dari kehidupan tokoh utamanya.
           
Ada hal yang janggal di The Science of Fictions, yaitu tokoh Siman yang tidak terlihat menua meskipun terjadi transisi waktu, dan ada satu orang yang sama memerankan dua tokoh berbeda, di masa lalu ia berperan sebagai dukun dan di masa yang baru ia menjadi pemimpin grup jathilan. Sebagaimana yang dijelaskan ketika sesi tanya jawab di Tokyo International Film Festival 2019, rupanya Anggi Noen sengaja menggunakan kejanggalan tersebut untuk mempertanyakan pada penonton, bagian mana yang kalian anggap fiksi? Bagaian mana juga yang kalian anggap fakta? Aspek itulah juga yang membuat film ini spesial, ada andil sutradara dalam mendistorsi waktu, sehingga timbul pendapat yang berbeda-beda di setiap benak penonton. Atau Anggi Noen sedang berusaha memainkan peran sebagai pengarang sejarah? Ia berkuasa menuliskan apa saja yang tidak masuk akal dan kita semua dipaksa menonton, dipaksa bersimpati. Seperti yang terjadi pada sejarah kita barangkali?