Drive My Car: Penyesalan yang Selalu Datang Terlambat

20 March 2022   |   06:40 WIB

Like

“Those who survive keep thinking about the dead. In one way or another, that will continue. You and I must keep living like that. We must keep on living. It'll be okay. I'm sure we'll be okay.”
– Yusuke Kafuku

Tiga tahun berturut-turut, film Asia masuk dalam daftar nominasi film terbaik di Oscar. Parasite (2020), Minari (2021), dan tahun ini ada film asal Jepang, Drive My Car. Tentu hal ini menjadi titik penting dalam industri perfilman Asia, setelah tahun-tahun sebelumnya film Asia dinominasikan dalam kategori Best Foreign Film. Tak lupa tahun lalu Golden Globes dikecam habis-habisan karena memasukkan Minari dalam kategori Foreign Language Film meskipun berlatar di Amerika, disutradari oleh orang Korea—dan diperankan oleh orang Korea—yang  berdomisili di Amerika.

Beruntung, Oscar tak mengikuti jejak Golden Globes dalam memperlakukan film-film Asia, hal ini sangat terlihat semenjak Parasite menjadi film Asia pertama yang memenangkan Best Picture di Oscar tahun 2021. Dan tentu, keputusan tahun ini pun tak kalah menarik karena ada Drive My Car asal Jepang yang masuk dalam nominasi Best Picture. Sutradaranya, Ryusuke Hamaguchi, menghasilkan dua film dalam tahun yang sama. Selain Drive My Car, ia juga merilis Wheel of Fortune and Fantasy. Keduanya lolos dalam berbagai festival internasional dan mendapatkan certified fresh di Rotten Tomatoes.
 
Diadaptasi dari cerita pendek Haruki Murakami dengan judul yang sama, Drive My Car dibuka dengan adegan sepasang kekasih berbincang di ranjang. Oto—perempuan Jepang yang misterius—menceritakan sebuah kisah absurd tentang seorang perempuan yang naksir teman kelasnya bernama Yamaga dan melampiaskannya dengan cara menyusup ke dalam rumahnya, berdiam diri di ranjang, mengambil barang-barang kecil seperti bolpoin, lalu meninggalkan barang pribadinya, celana dalam misalnya. Obrolan Oto dan suaminya, Yusuke, berjalan satu arah dengan Yusuke yang hanya bertanya soal apa yang kemudian terjadi.
           
Oto selalu melanjutkan ceritanya di saat yang tidak biasa, yaitu saat mereka berhubungan seks. Kisahnya selalu berhenti setelah ia orgasme, lantas lupa keesokan harinya. Yusuke tak lupa selalu mencatat dan menceritakan Kembali kepada istrinya. Hubungan yang absurd namun nampak baik-baik saja. Mengingat Yusuke adalah sutradara teater ternama, dan Oto adalah penulis acara televisi. Keduanya ada dalam hubungan yang melengkapi satu sama lain.
           
Yusuke adalah seorang sutradara teater yang unik. Ia memakai berbagai macam bahasa dalam pementasannya. Bahasa Jepang, Korea, Taiwan, Malaysia, bahkan Indonesia. Penonton pun selalu penuh sesak. Ia selalu terlibat sebagai aktor dalam pementasannya sendiri, sampai di suatu gladi bersih ia tak bisa menahan emosi yang selama ini ia simpan karena sebuah konflik yang muncul di durasi awal film ini.

Konflik dimulai dengan Yusuke yang suatu hari mendapati istrinya berhubungan seks dengan seorang aktor pemula, Koji, di rumah mereka. Tak ada konfrontasi, Yusuke hanya melihat sejenak tanpa istrinya tahu, lantas keluar dan menyalakan rokoknya. Pun sampai dua minggu kemudian, masalah itu tak pernah sekalipun ia bahas, dan hubungan mereka tetap baik-baik saja. Sampai keesokan paginya, Oto menanyakan pada Yusuke apakah boleh nanti malam ia berbicara sesuatu yang serius dengannya. Malam hari tiba, Yusuke datang terlambat dan melihat istrinya tergeletak di lantai tak bernyawa karena pendarahan otak.

Tak ada air mata, maupun kesedihan yang berlarut-larut, Yusuke melanjutkan hidupnya, dengan sebuah proyek besar dua tahun kemudian—ia menjadi sutradara dalam pementasan drama berjudul Uncle Vanya, sebuah naskah pementasan asal rusia karya Anton Chekov. Dalam prosesnya, Yusuke bertemu banyak orang baru. Salah satu yang terpenting ialah Misaki, seorang remaja perempuan dengan figur cuek, nihil ekspresi, yang ditugaskan menjadi sopir pribadinya selama residensi di Hiroshima. Yusuke awalnya menolak karena ia selalu mengendarai mobilnya sendiri, dan ia menikmati setiap perjalanan panjang. Bahkan di Hiroshima, ia memilih hotel yang berjarak satu jam dari tempat pementasan. Mau tak mau Yusuke harus menerima Misaki sebagai sopirnya karena regulasi residensi yang tak bisa diubah. Meskipun diawali dengan canggung, pada akhirnya mereka berbagi masa lalu yang sama, kehilangan yang sama, juga penyesalan yang sama.

Audisi untuk pementasan Uncle Vanya dimulai. Berbagai kandidat dari negara pun datang, salah satu yang menonjol adalah Lee Yoon-a, perempuan bisu asal Korea yang diperankan dengan sangat baik oleh Yoo-rim Park. Sepanjang film, kehadirannya memikat kita dalam keheningan yang emosional. Namun sial, Koji—selingkuhan mendiang istri Yusuke—juga hadir dalam audisi tersebut. Marah? Tentu tidak. Yusuke justru memberinya peran sebagai Vanya, tokoh utama dalam pementasan tersebut. Dari momen inilah konflik bermunculan perlahan. Profesionalitas Yusuke sebagai sutradara dan sebagai suami yang tersakiti diuji. Percayalah, keputusan-keputusan yang diambilnya tak akan pernah bisa kita tebak.

Pemilihan naskah Uncle Vanya dalam pementasan teater di film ini bukan hanya sebagai unsur tak penting yang membuat panjang durasi. Justru keputusan ini terasa begitu cerdas. Mengingat naskah pementasan ini membahas tentang seorang pria bernama Vanya yang terjebak dalam masalah-masalah hidupnya, pun begitu ia harus tetap hidup. Naskah Uncle Vanya dan cerita yang diusung Drive My Car menjadi begitu relevan.

Mobil Saab 900 dengan warna merah menyala menjadi tempat Yusuke menghabiskan waktunya. Mobil tersebut adalah tempat aman baginya, juga tempat pelarian dari masalah-masalah yang dihadapinya. Rutinitasnya adalah menyetel sebuah kaset berisikan suara istrinya yang membaca dialog pementasan teater yang ditulis dan disutradarai oleh Yusuke. Dan hal ini tak berubah meskipun di Hiroshima ia tak lagi mengendarai mobilnya sendiri. Perlahan, Yusuke dan Misaki bertukar kisah hidupnya. Lama kelamaan mobil ikonik ini menjadi semacam ruang untuk saling mengaku dan berbagi. Semua tokoh dalam Drive My Car seakan memiliki masalahnya sendiri-sendiri namun masih berada dalam irisan yang sama—bagaimana masa lalu menjadi hal yang tak pernah tuntas. Dan penyesalan adalah satu-satunya yang tertinggal.

Tak hanya menyoal penyesalan yang selalu datang terlambat, Drive My Car juga menampar kita yang seringkali egois dalam menjalin hubungan. Hal ini digambarkan lewat sikap Yusuke yang selalu diam melihat hal-hal yang menyakiti hatinya, seperti saat Oto berselingkuh misalnya. Ia bersikap demikian karena kegoisannya yang takut kehilangan istrinya jika ia membesarkan-besarkan masalah. Pada akhirnya, sikap terebut menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Narasi-narasi tersirat seperti ini terselip dalam setiap adegan Drive My Car. Kita akan serasa ditampar berkali-kali dengan masalah-masalah yang terasa dekat apabila kita dengan sabar mengikuti jalan ceritanya.

Diimbangi dengan visual yang tak muluk-muluk namun tetap indah dengan lanskap Jepang yang ditampilkan apa adanya, Hidetoshi Shinomiya selaku sinematografer berhasil menjadikan film ini membumi. Salah satu scene yang menjadi favorit saya adalah ketika Yusuke dan Misaki merokok bersama di mobil untuk pertama kalinya, tangan mereka berdampingan memegang rokok di atap mobil. Durasinya yang hampir tiga jam menjadi perjalanan panjang yang tak membosankan. Apresiasi lebih juga patut diberikan kepada Ryusuke Hamaguchi. Ia mengadaptasi sebuah cerita pendek 30 halaman menjadi film dengan durasi yang begitu panjang namun indah, misterius, juga puitis. Drive My Car hadir seperti lukisan yang dibuat tanpa tergesa-gesa, dan memukau kita lewat proses panjangnya.

Dibangun dengan sangat pelan dan misterius, Drive My Car mengikat penontonnya dengan narasi yang selalu membuat kita penasaran akan dibawa ke mana. Sepanjang film, mobil Saab 900 warna merah itu tak pernah penuh dengan penumpang, seakan-akan menyisakan tempat duduk untuk kita. Tugas kita hanyalah mendengarkan. Dan tentu saja, pendengar yang baik akan bersimpati pada cerita yang disampaikan.