Review Film Yuni Karya Kamila Andini
18 March 2022 |
14:52 WIB
2
Likes
Like
Likes
Film ini tidak bercerita tentang perjodohan ala kisah Siti Nurbaya. Yuni yang masih remaja dan ingin mengenyam pendidikan tinggi untuk meraih mimpi-mimpinya itu dihadapkan pada “budaya” di lingkungan tempat tinggalnya, di mana anak perempuan dianggap lebih baik menikah muda daripada sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya kodrat perempuan hanya seputar sumur-dapur-kasur.
Yuni yang sudah menolak dua lamaran lantas menjadi bahan perbincangan. Konon jika ia menolak lamaran yang ketiga, maka nasibnya akan sial, dan jodohnya akan seret. Berbagai bentuk penolakan dan pemberontakan di dalam dirinya muncul satu per satu ke permukaan. Meski memiliki keluarga yang cukup suportif, ia tetap dirundung kegelisahan, yang tidak hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga soal perempuan-perempuan lain di sekitarnya dan di luar sana.
Karakter Yuni sangat kuat dan ikonik. Meski tidak ada latar belakang cerita kenapa ia tergila-gila pada semua hal berwarna ungu, film secara sabar menguraikan makna warna ungu tersebut. Ada dualisme makna, di mana ungu dianggap sebagai warna “janda” yang artinya sudah tidak perawan lagi atau “bekas” orang lain. Dan secara psikologi warna, ungu melambangkan kebijaksanaan, keberanian, keunikan, eksotis, kreativitas, dan kesedihan… yang kesemuanya itu ada dalam karakter Yuni.
Banyak banget isu sosial dan pesan yang ingin disampaikan film ini, terutama soal kesenjangan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Peran dan kedudukan perempuan selalu dianggap tidak lebih baik atau lebih tinggi dari laki-laki. Bahkan untuk disejajarkan pun agaknya sulit. Lewat karakter Yuni yang kuat dan pemberani, film ini berhasil mengkritisi dan melawan sistem patriarki yang sudah mengakar dalam tatanan sosial budaya kita. Selain soal gender, film ini juga berbicara tentang orientasi seksual yang masih tabu untuk diungkap sehingga menjadikan pernikahan sebagai solusi instan, dan persoalan KDRT yang menorehkan trauma pada diri perempuan.
Penulisan naskah dan penyutradaraan Kamila Andini kali ini terasa lebih mengalir dan mudah dicerna dibanding film-film beliau sebelumnya. Eksekusinya nggak terasa menggurui dan overwhelming meski durasi filmnya mencapai 122 menit. Dialognya yang 90% menggunakan bahasa Jaseng alias Jawa-Serang terasa sangat alami dan membumi. Kasual tapi berbobot. Pun sentilan atau satire-nya, nggak sekadar asal satire yang kopong, tapi benar-benar disertai statement yang utuh. Sehingga, meskipun diakhiri dengan cara yang puitis dan multitafsir, film ini sudah memiliki akhir dan penyelesaian yang cukup kuat bagi penonton.
Sebagai film drama fiksi realistis, YUNI memiliki plot penceritaan dinamis yang mengalir alami. Di awal-awal terasa agak membosankan, namun setelah diyakinkan dengan premisnya justru memantik rasa penasaran. Habis adegan ini, bakal ada kejadian apa lagi, ya? Dan di luar dugaan, ada letupan-letupan plot twist yang menambah kepuasan. Semakin mendekati akhir, emosinya terasa semakin dalam. Diperkuat dengan dialog-dialog yang sarat makna, membuat kita merenung, hingga tanpa sadar meneteskan air mata.
Kehadiran buku puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni dan beberapa puisi di dalamnya yang dinarasikan membuat film ini terasa semakin dalam, indah, dan kaya. Pemilihan puisinya pun benar-benar mewakili dan berdampak pada jalan ceritanya. Bukan sekadar tempelan. Tidak hanya itu, pemilihan lagu dan musik tema pun mampu membangun mood film dengan baik, memperkuat emosi yang ingin disampaikan.
Pemilihan para pemainnya juga benar-benar ciamik. Arawinda memerankan Yuni dengan sempurna tanpa cela. Marissa Anita sebagai Bu Lis dengan dialek Jaseng dan penampilannya yang sangat berbeda dari karakter-karakter yang pernah ia mainkan sebelumnya patut diapresiasi lebih. Asmara Abigail benar-benar pas memerankan karkater Susi Cu-Te yang ceria dan berwarna di luar tapi ternyata menyimpan trauma yang dalam. Neneng Wulandari yang menarik perhatian sejak film dan serial Imperfect semakin menunjukkan kualitas aktingnya di film ini. Begiu juga dengan Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Nova Eliza, dan nama-nama lainnya yang memeriahkan film ini. Semuanya tampil optimal dan mengagumkan. Ansamble cast yang solid.
Film yang memenangkan penghargaan di ajang Toronto International Film Festival dan menjadi perwakilan resmi dari Indonesia untuk ajang Piala Oscar 2022 ini digadang-gadang akan menjadi pemenang film terbaik FFI 2021 kemarin. Seperti yang sudah-sudah, film yang dijadikan submisi untuk ajang Academy Awards itu biasanya akan dinobatkan menjadi film terbaik ajang FFI. Sebut saja Perempuan Tanah Jahanam dan Kucumbu Tubuh Indahku. Namun ternyata, prediksi kita kali ini meleset. Yuni dikalahkan Penyalin Cahaya yang berhasil meraih dua belas piala Citra.
Secara keseluruhan, Yuni merupakan salah satu film terbaik dalam sejarah perfilman Indonesia. Film dengan pesan moral yang padat sekaligus menghibur, bisa menjadi pembelajaran dan perenungan diri untuk para remaja, orang dewasa, dan orang tua.
Yuni yang sudah menolak dua lamaran lantas menjadi bahan perbincangan. Konon jika ia menolak lamaran yang ketiga, maka nasibnya akan sial, dan jodohnya akan seret. Berbagai bentuk penolakan dan pemberontakan di dalam dirinya muncul satu per satu ke permukaan. Meski memiliki keluarga yang cukup suportif, ia tetap dirundung kegelisahan, yang tidak hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga soal perempuan-perempuan lain di sekitarnya dan di luar sana.
Karakter Yuni sangat kuat dan ikonik. Meski tidak ada latar belakang cerita kenapa ia tergila-gila pada semua hal berwarna ungu, film secara sabar menguraikan makna warna ungu tersebut. Ada dualisme makna, di mana ungu dianggap sebagai warna “janda” yang artinya sudah tidak perawan lagi atau “bekas” orang lain. Dan secara psikologi warna, ungu melambangkan kebijaksanaan, keberanian, keunikan, eksotis, kreativitas, dan kesedihan… yang kesemuanya itu ada dalam karakter Yuni.
Banyak banget isu sosial dan pesan yang ingin disampaikan film ini, terutama soal kesenjangan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari. Peran dan kedudukan perempuan selalu dianggap tidak lebih baik atau lebih tinggi dari laki-laki. Bahkan untuk disejajarkan pun agaknya sulit. Lewat karakter Yuni yang kuat dan pemberani, film ini berhasil mengkritisi dan melawan sistem patriarki yang sudah mengakar dalam tatanan sosial budaya kita. Selain soal gender, film ini juga berbicara tentang orientasi seksual yang masih tabu untuk diungkap sehingga menjadikan pernikahan sebagai solusi instan, dan persoalan KDRT yang menorehkan trauma pada diri perempuan.
Penulisan naskah dan penyutradaraan Kamila Andini kali ini terasa lebih mengalir dan mudah dicerna dibanding film-film beliau sebelumnya. Eksekusinya nggak terasa menggurui dan overwhelming meski durasi filmnya mencapai 122 menit. Dialognya yang 90% menggunakan bahasa Jaseng alias Jawa-Serang terasa sangat alami dan membumi. Kasual tapi berbobot. Pun sentilan atau satire-nya, nggak sekadar asal satire yang kopong, tapi benar-benar disertai statement yang utuh. Sehingga, meskipun diakhiri dengan cara yang puitis dan multitafsir, film ini sudah memiliki akhir dan penyelesaian yang cukup kuat bagi penonton.
Sebagai film drama fiksi realistis, YUNI memiliki plot penceritaan dinamis yang mengalir alami. Di awal-awal terasa agak membosankan, namun setelah diyakinkan dengan premisnya justru memantik rasa penasaran. Habis adegan ini, bakal ada kejadian apa lagi, ya? Dan di luar dugaan, ada letupan-letupan plot twist yang menambah kepuasan. Semakin mendekati akhir, emosinya terasa semakin dalam. Diperkuat dengan dialog-dialog yang sarat makna, membuat kita merenung, hingga tanpa sadar meneteskan air mata.
Kehadiran buku puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni dan beberapa puisi di dalamnya yang dinarasikan membuat film ini terasa semakin dalam, indah, dan kaya. Pemilihan puisinya pun benar-benar mewakili dan berdampak pada jalan ceritanya. Bukan sekadar tempelan. Tidak hanya itu, pemilihan lagu dan musik tema pun mampu membangun mood film dengan baik, memperkuat emosi yang ingin disampaikan.
Pemilihan para pemainnya juga benar-benar ciamik. Arawinda memerankan Yuni dengan sempurna tanpa cela. Marissa Anita sebagai Bu Lis dengan dialek Jaseng dan penampilannya yang sangat berbeda dari karakter-karakter yang pernah ia mainkan sebelumnya patut diapresiasi lebih. Asmara Abigail benar-benar pas memerankan karkater Susi Cu-Te yang ceria dan berwarna di luar tapi ternyata menyimpan trauma yang dalam. Neneng Wulandari yang menarik perhatian sejak film dan serial Imperfect semakin menunjukkan kualitas aktingnya di film ini. Begiu juga dengan Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Nova Eliza, dan nama-nama lainnya yang memeriahkan film ini. Semuanya tampil optimal dan mengagumkan. Ansamble cast yang solid.
Film yang memenangkan penghargaan di ajang Toronto International Film Festival dan menjadi perwakilan resmi dari Indonesia untuk ajang Piala Oscar 2022 ini digadang-gadang akan menjadi pemenang film terbaik FFI 2021 kemarin. Seperti yang sudah-sudah, film yang dijadikan submisi untuk ajang Academy Awards itu biasanya akan dinobatkan menjadi film terbaik ajang FFI. Sebut saja Perempuan Tanah Jahanam dan Kucumbu Tubuh Indahku. Namun ternyata, prediksi kita kali ini meleset. Yuni dikalahkan Penyalin Cahaya yang berhasil meraih dua belas piala Citra.
Secara keseluruhan, Yuni merupakan salah satu film terbaik dalam sejarah perfilman Indonesia. Film dengan pesan moral yang padat sekaligus menghibur, bisa menjadi pembelajaran dan perenungan diri untuk para remaja, orang dewasa, dan orang tua.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.