The Hand of God: Mau Jadi Apa Nanti?

15 March 2022   |   08:00 WIB

Like
Sehabis menonton The Hand of God (2021) saya jadi kepikiran apa yang ingin saya lakukan di masa remaja sebenarnya. Mengenang ketika masa-masa SMA sudah berakhir dan yang terlintas, “Apa yang mau saya lakukan setelah ini.” Itu pertanyaan yang sering kita dengar ditanyakan kepada setiap remaja yang sudah selesai SMA: mau jadi apa nanti? Apa yang ingin kamu lakukan di masa depan?

Beberapa anak sudah menggenggam angan-angan ingin menjadi apa mereka, lewat dukungan orang-orang terdekat. Ada yang melanjutkan kuliah, memilih bekerja untuk membantu orang tua atau ada yang memutuskan menikah. Sebagian lagi tak tahu apa yang ingin mereka lakukan di masa depan. Jangankan berpikir untuk masa depan yang tak pasti itu, pertanyaan ingin jadi apa nanti itu saja sudah sebuah perjuangan.
 
Tapi, setiap kita tak pernah benar-benar tahu mau jadi apa nanti. Bisa jadi, ingin jadi apa kita di masa depan lebih sering ditentukan oleh momen-momen ajaib yang terjadi dalam hidup. Seperti Fabietto Schissa, karakter utama dalam The Hand of God karya Paolo Sorrentio, ketika melihat Maradona bertanding pada Piala Dunia 1986 dan mengubah hidupnya. Fabietto tergila-gila dengan Maradona, legenda sepekbola periode 80-an yang diboyong ke Napoli untuk bermain di klub Napoli FC.

Sebagai remaja akil baligh, Fabietto digambarkan selalu menyandang earphone di lehernya dan memakai anting-anting pada salah satu telinga, ikut tumbuh seiring kejadian di lingkungan keluarganya dan kota tempat ia tinggal, Napoli. Kota tempatnya tumbuh dan belajar hidup.

Ia tinggal bersama keluarga lengkap. Abang dan kakaknya Marchino dan Daniella dan kedua orang tuanya di kota Napoli, di tepi laut. Elemen laut begitu dekat dan berserakan dalam film ini. Banyak adegan yang memperlihatkan mereka sedang berenang atau kejar-kejaran kapal motor di laut. Paolo betul-betul menampilkan visual yang indah kehidupan tepi laut pada malam hari, ketika Fabietto berkendara bersama Arma, seorang penyelundup, “Aku tak tahu Napoli begitu indah dari sini.”   
Fabietto tumbuh di keluarga kelas menengah di Napoli. Bapaknya, Saverio (diperankan Toni Servillo) seorang bankir. Kehidupan rumahnya berlangsung menyenangkan untuk tumbuh kembang seorang anak remaja. Ibunya, Maria, suka iseng mengerjai tetangga dan senang mengolok-ngolok keluarga sendiri dan pandai memainkan lemparan jeruk atau sandi-sandi keluarga berupa siulan untuk saling berkomunikasi. Selera humor keluarga Fabietto membuat kita tersenyum melihat keluarga yang tampak bahagia itu. Sungguh sebuah komedi yang menyenangkan.

Pada satu jam pertama film, kita, seperti juga Fabietto, diajak untuk melihat kehidupan sebuah keluarga kelas menengah pada pertengahan 80-an di Napoli. Fabietto berlaku sebagai penyimak untuk setiap cerita-cerita di keluarga bergulir. Ada cerita tentang Baronessa, janda yang ditinggal mati suaminya. Sejak kematian suaminya ia tak membolehkan siapa pun masuk rumahnya. Cerita tentang keluarga Italia, yang suatu hari begitu girang karena seorang asisten Zaffireli meneleponnya untuk ikut casting sebagai aktris utama film yang akan digarap. Tentu saja itu tak terjadi, karena Maria dengan selera humor jahilnya, telah mengerjai tetangganya itu. Dan bagaimana Fabietto remaja ternyata menyukai bibinya, Patrizia yang divonis kurang sehat karena suatu kali pernah mengatakan bahwa ia pernah melihat pendeta kecil yang mengatakan bahwa ia akan segera hamil. 

Nyatanya kebahagiaan itu berusia pendek. Masalah datang, apalagi kalau bukan masalah sejuta topan badai sepasang suami istri: orang ketiga. Saverio ternyata selama ini memiliki istri kedua yang ia pendam selama delapan tahun. Hal yang membuat anak perempuannya tak pernah mau keluar kamar sejak mengetahuinya. Sebuah rahasia yang diketahui kakak Fabietto, tapi tak diketahuinya karena dianggap belum cukup umur untuk tahu persoalan rumah tangga.

Fabietto yang tak membayangkan skenario orang tuanya bertengkar terlihat tak siap namun ia memendam emosi tersebut dengan cukup baik. Tak ada air mata. Kita harus akui akting Filippo Scippo (yang memerankan Fabietto Schissa) sebagai aktor baru begitu meyakinkan menampilkan seorang remaja di ambang kebingungan, kemarahan, kesedihan, harapan, kekecewaaannya berhasil ditampilkan dalam close up wajah Fabietto yang menyimpan emosi itu. Fabietto sering memandang sesuatu hal dengan lama. Seperti seorang remaja yang mencoba mencerna apa-apa yang telah terjadi di hidupnya. 

Namun film ini juga banyak mengingatkan pada film-film lain seperti dialog Toto dan Alfredo yang memintanya untuk segera meninggalkan kampung halamannya dalam Cinema Paradiso (1988). Seperti adegan ketika Fabietto bercakap-cakap dengan seorang sutradara film Capuano di sebuah reruntuhan  bangunan kuno di tepi laut. “Apa mungkin kota ini tak memberimu inspirasi,” begitu Capuano mengatakan kepada Fabietto. Bau-bau 8 ½ (1963) Fellini sungguh terasa ketika adegan pembuka film dimana barisan mobil yang terjebak kemacetan sehingga tak bisa bergerak sama sekali waktu Patrizia sedang menunggu bus.

Dalam sebuah wawancara video, Francois Truffaut, sutradara new wave Perancis pernah ditanya apakah kisah hidup Antoine Doinel adalah kisah hidupnya. Antoine Doinel adalah karakter dalam lima film Francois Truffaut yang merentang panjang mulai dari The 400 Blows (1959), Antoine and Colette (1962), Stollen Kisses (1968), Bed and Board (1973) hingga Love on the Run (1979).

Kurang lebih Francois Truffaut menjawab dalam karakter Antoine Doinel memang ada bagian dari dirinya yang ikut masuk, sehingga membuat orang mengasosiasikan dengan kisah hidupnya, tapi itu bukan dirinya.

Wawancara itu seketika mengingatkan saya pada film ini yang juga bernapas autobiografi Paolo sendiri. Pertanyaannya seberapa menarikkah menonton kisah hidup seseorang di layar lebar?

Paolo Sorrentio sepertinya sadar akan hal ini. Karena itu ia berusaha membaurkan yang personal, yang ia petik dari kisah hidupnya semasa remaja di kota Napoli termasuk peristiwa bersejarah Maradona bergabung ke Napoli FC dengan konvensi bercerita film agar cerita tetap memikat secara tangga dramatik.

Dan satu jam film berikutnya kita melihat, Paolo sebagai juru kisah harus mengambil keputusan ketika kedua orang tua Fabietto meninggal. Selanjutnya kita melihat bagaimana Fabietto sebagai seorang remaja, harus tumbuh menjalani hidupnya sendiri karena melihat tragedi hidupnya dan pertanyaan apa yang mau saya lakukan setelah ini?

Jika di atas saya menyinggung soal The 400 Blows (1959) bukannya tanpa alasan. Secara cerita, dua karakter dalam dua film ini tampak memiliki kesamaan secara motif. Antoine Doinel, akhirnya memutuskan kabur dari rumah dan dari akademi rehabilitasi anak hingga mencapai laut dengan wajah menyiratkan kegamangan. Fabietto Schissa, juga kabur dari rumah dan memiliki kegamangan yang sama, apa yang ia ingin lakukan selanjutnya?

Tak salah, The Hand of God kisah pendewasaan akil-baligh yang matang dari segi bertutur dan beres dalam cerita yang berkisah tentang mimpi yang belum sampai, hasrat, memori, pelarian dari kisah-kisah tak mengenakkan, kegembiraan yang diceritakan dengan begitu indah dan meyakinkan.