Review The Batman (2022) - Menikmati Evolusi Elegi Dari Gotham City

12 March 2022   |   18:19 WIB

Like
Apakah kamu merasakan sensasi yang sama seperti saya, dimana di awal film kita sudah merasa bahwa film The Batman akan melebih ekspektasi yang kita punya? Banyak orang berspekulasi, apakah film ini berhasil mematahkan kutukan bahwa tidak ada film DC yang bisa menyaingi kualitas film Marvel? Saya pikir Matt Reeves berhasil melakukannya, dengan membuat Gotham City benar-benar hidup.

Dalam cerita Batman, Gotham City bersifat sebagai variabel makro yang menjadi alasan eksternal yang membuat seorang Bruce Wayne berubah menjadi Batman. Kota sarang penjahat dimana polisi tidak bisa menangani tingkat kejahatan yang sangat tinggi, tempat dimana para pejabat korup bebas melakukan apa saja yang mereka mau dan membiarkan para warga tersiksa di dalamnya.

Berkaca dari komiknya, Gotham adalah kota yang gelap dengan seribu ketidaknyamanan.
 

Sumber. DC Wiki

Sumber. DC Wiki

Saya selalu membayangkan Gotham City adalah tempat yang gelap, lembab, kotor, tidak terawat, sarang penjahat, terasa seperti lawless zone dimana orang-orang bebas melakukan kejahatan tanpa adanya hukum yang berjalan, karena semua pejabat dan polisi korup dan membiarkan kotanya membusuk dari dalam.

Dan ketika dibawa ke layar lebar, kita sudah melihat setidaknya tiga pendekatan modern visual kota Gotham dari 4 sutradara yang berbeda: Tim Burton, Joel Schumacher, Christopher Nolan, Todd Phillips dan Matt Reeves.

Di era Batman Returns dan Batman Forever, Tim Burton dan Joel Schumacher menggunakan pendekatan komikal ketika memperlihatkan Gotham City dan semua karakter yang hidup di dalamnya. Presisi alasan visual jadi prioritas utama.
 

Sumber: Wikipedia

Sumber: Wikipedia

Seting dan kostum karakter yang dibuat mirip dengan versi komiknya tentu akan terasa aneh dan ‘asing’ bagi penonton. Gotham City terasa sangat jauh dari realitas, batas antara dunia fiksi dan dunia nyata begitu jauh hingga membuat film minim intensitas drama.

Sedangkan jika melihat film karya Christopher Nolan, saya tidak mendapatkan Gotham sebagai kota yang kotor, kumuh dan penuh dengan ketidaknyamanan. Sebagian besar sudut kota Gotham selalu terasa resik dan bersih. Jika saya tinggal disana, sepertinya saya akan merasa nyaman-nyaman saja.

 

Sumber: Polygon.com

Sumber: Polygon.com

Hal ini terjadi menurut saya pribadi karena Christopher Nolan tidak menggunakan color grading khusus untuk mendapatkan atmosfir dan ambiens dari Gotham City, karena memang Nolan pada dasarnya memilih untuk fokus pada cerita dan karakter di dalamnya.

Kemudian, datanglah Todd Phillips dengan film Joker (2019)
 

Sumber: Twitter.com

Sumber: batmangothamcity.net

Sumber: Twitter.com

Sumber: batmangothamcity.net

Sumber: Twitter.com

Sumber: batmangothamcity.net

Sumber: Twitter.com

Sumber: batmangothamcity.net

Sumber: Twitter.com

Sumber: batmangothamcity.net

Untuk ukuran film spin-off dari franchise Batman, Todd Philips benar-benar memperhatikan setiap detail seting dan memperlihatkan secara nyata bagaimana Gotham City sebagai kota yang rusak dan disfungsional, baik secara visual maupun perilaku orang di dalamnya.

Dan untungnya, Matt Reeves menggunakan formula yang serupa di film The Batman dan melipat-gandakan semua elemennya. Dari trailer-nya saja kita bisa langsung tahu dan merasakan betapa ‘berat’ film The Batman hanya dari sepercik visual yang diberikan. 
 

Sumber: Youtube.com

Sumber: Youtube.com

Bagaimana Matt Reeves melakukannya? Bagaimana dia mampu membuat Gotham City sebagai setting film terasa begitu hidup dan mampu melebur menjadi salah satu bagian terpenting di film The Batman?

Yang pertama, tentu saja dari color grading yang dipakai. Jika kita bandingkan dengan film-film Batman karya Tim Burton, Joel Schumacher dan Christopher Nolan, kontras visual dapat kita lihat dan rasakan dengan begitu mudah. Color grading yang dipakai oleh Matt Reeves menciptakan atmosfir suspense dan ambiens yang intens, dalam, dan serius. Sangat pas untuk digunakan pada cerita slow burn drama yang menegangkan.

 

Sumber: Youtube.com

Sumber: Youtube.com

Yang kedua, seting cerita yang sangat detail. Dari awal hingga bagian akhir film, Gotham City diperlihatkan sebagai kota yang gelap, kotor, kumuh, lembab, dan selalu hujan deras. Jalanan terlihat kotor, gelap dan usang, tidak terawat dan seperti ditinggalkan oleh pemerintah setempat. Belum lagi ketika penonton diperlihatkan bagaimana korupnya para pejabat. Sebuah resep sempurna untuk memperlihatkan sebuah kota yang rusak luar dan dalam.

Yang ketiga, sinematografi dan pemilihan shots yang sangat apik. The Batman benar-benar memaksimalkan elemen visual ketika muncul momen spesial, dan memperlihatkan shot-shot yang tidak hanya kreatif, tapi juga terasa begitu simbolik dan sangat berkelas. Siapa yang mengira kalau kita bisa merasakan sensasi poetic cinema di film superhero dari awal hingga akhir film?
 

Sumber: Youtube.com

Sumber: Youtube.com

Sumber: Youtube.com

Sumber: Youtube.com

The Batman berhasil memvisualisasikan elegi dari Gotham City dengan sangat indah.

Nah sekarang, izinkan saya untuk bertanya: ketika kamu mendengar kata Batman, apa yang terlintas di kepalamu?

Kalau saya pribadi, saya melihat seorang pria alpha yang berdiri di puncak rantai makanan dengan tingkat intelegensi yang sangat tinggi, kontrol emosi yang sempurna, dan mampu melakukan apapun yang dia mau dengan sumber daya miliknya yang tidak terbatas. 

Formula inilah yang digunakan oleh para sutradara film Batman sebelum Matt Reeves, dimana mereka ingin memperlihatkan bahwa Batman adalah puncak gunung dari segala kehebatan manusia. Christopher Nolan bahkan memperlihatkan dengan detail bagaimana proses A sampai Z seorang Bruce Wayne berubah dan bertransformasi menjadi seorang Batman. 

Untungnya, Matt Reeves tidak menggunakan formula yang sama. Dengan menggunakan nama Batman yang sangat besar, dia melewatkan proses bagaimana Bruce Wayne membentuk diri menjadi seorang Batman untuk pertama kalinya, karena semua orang sudah tahu  bagaimana ceritanya. Matt Reeves justru mengambil perspektif yang segar dan belum pernah dilakukan sebelumnya: memperlihatkan Batman muda yang masih belajar menjadi seorang Batman.

Alih-alih memperlihatkan Batman yang sudah mature, Matt Reeves memperlihatkan Batman sebagai karakter yang masih rentan dan belum matang, baik itu secara skill, prinsip, dan ideologi. Satu timeline ketika Bruce Wayne belum bertransformasi dan menjelma menjadi The Dark Knight of Gotham, satu momen yang belum pernah dieksplorasi dengan fokus sebelumnya, apalagi dibuat menjadi sebuah film.

Bagaimana cara Matt Reeves melakukannya?

Yang pertama, dengan memperlihatkan bahwa Batman masih belum terpoles dengan sempurna. Seperti yang kita tahu, Batman selalu mengejutkan lawan dengan strategi yang cerdas. Dia mengalahkan musuhnya dengan intelegensi dan kontrol emosinya yang sempurna. Tidak ada perkelahian yang sia-sia, gaya bertarungnya pun sangat efisien. Batman yang kita tahu, adalah Batman yang benar-benar bergerak seperti bayangan.
 

Sumber: Quora.com

Sumber: Quora.com


Tapi apa yang kita dapatkan di film The Batman? Seorang Batman yang mengetuk pintu sebuah bar dengan kostum lengkap dan menyombongkan dirinya dengan berkata:

"Do you know who I am?"

Inilah perspektif unik yang diberikan The Batman yang membuat film ini terasa begitu segar. Penonton diberikan versi mentah dari seorang Batman yang masih berkelahi dengan kasar dan penuh dengan emosi serta amarah. Seorang Batman yang belum menguasai rasa takut yang dimilikinya dengan sempurna, berkelahi bahkan menantang dengan petugas polisi, serta masih melakukan kesalahan dan sering terluka.

Eksplorasi karakter Batman yang unik dan segar ini juga turut didukung dengan bagaimana Matt Reeves membuat plot film. Saya pribadi merasa bahwa film The Batman bukanlah film superhero, tapi lebih seperti film thriller misteri layaknya film Se7en (1995), dimana sang protagonis berusaha menangkap sang antagonis dengan membedah dan memecahkan petunjuk-petunjuk yang ada. Hanya saja, tokoh utamanya adalah Batman.

Jalan cerita benar-benar menjadi fokus primer film, dan Batman hanyalah pelengkapnya. Berbeda dengan film-film sebelumnya, dimana fokus primer film adalah karakter Batman itu sendiri.

Dengan menggunakan pendekatan ini, penonton bisa melihat dengan jelas kalau Batman belum pantas menyandang gelar sebagai The World Greatest Detective, karena dia selalu kalah langkah dari musuh utamanya, The Riddler. 

Batman seakan-akan masih menjadi mangsa yang dikejar dan dipermainkan oleh pemburu.
 

Sumber: Youtube

Sumber: Youtube.com

Melalui The Batman, Matt Reeves berhasil menciptakan film genre superhero dengan rasa dan sensasi yang baru, mulai dari eksplorasi evolusi karakter Batman yang segar, shots yang kreatif dan belum pernah kita lihat sebelumnya, hingga pemilihan plot cerita yang membuka banyak peluang untuk cerita-cerita baru. 

Sebuah reboot yang sempurna dan menjanjikan.